DUA AURA PADA KARYA SENI: PEMBACAAN AWAL KONSEP AURA KARYA SENI MENURUT WALTER BENJAMIN

Tukan, Dua Aura Pada Karya Seni: Pembacaan Awal Konsep Aura Karya Seni Menurut Walter Benjamin. hal 121-127

DUA AURA PADA KARYA SENI:

PEMBACAAN AWAL KONSEP AURA KARYA SENI

MENURUT WALTER BENJAMIN

Berto Tukan

berto.tukan@gmail.com | ruangrupa - Jurnal Karbon

Abstrak

Pemikiran Walter Benjamin tentang “Karya Seni di Masa Kemungkinan Reproduksi Teknisnya” (“The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility” merupakan pemikirannya di periode kedua. Kemunculan “Karya Seni” berlandaskan pada dua hal yakni pertama, perubahan material dari karya seni itu sendiri dan kedua, keadaan politik Eropa di zaman itu. Dua hal ini memicu perdebatan Benjamin dengan Adorno serta mewarnai perubahan-perubahan atas tulisan itu sendiri yang terdiri dari tiga versi yang perubahannya dipicu oleh polemik dan perdebatan Benjamin dengan para koleganya kala itu serta perkembangan politik. ‘Aura’, merupakan konsep penting Benjamin dalam hal seni dan budaya. Media baru yang dibawa oleh perkembangan teknologi berkemampuan mengubah aparatus kognisi manusia persis karena ia punya kemampuan menghilangkan ‘aura’ tersebut. Aura adalah medium sehingga ia tidak melekat pada sebuah presentasi karya tertentu tetapi terletak pada ada subyek (pemirsa) dan obyek (karya seni). Aura, tidak terletak terutama pada tradisi tetapi hantu masa lalu yang terproyeksikan ke masa kini. Dengan demikian tentulah tidak serta merta karya seni reproduksi mekanis, yang menghilangkan batas-batas presentasinya yang kaku, menghilangkan unsur historis yang bisa digali dari sebuah karya seni. Disimpulkan bahwa ada dua jenis aura; katakanlah aura singular dan aura partikular.

Kata Kunci : aura, subyek, obyek, singular, partikular

Abstract

Walter Benjamin’s idea of “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility” was his second period of thought. The emergence of “Artwork” is based on two things: first, the material change of the artwork itself and secondly, the political state of Europe at the time. These two things sparked Benjamin’s debate with Adorno and colored the changes to the writing itself consisting of three versions whose changes were sparked by the polemic and debate of Benjamin with his colleagues at the time and the political development. ‘Aura’ is an important concept of Benjamin in terms of art and culture. The new media brought about by technological development is capable of altering the apparatus of human cognition precisely because it has the ability to eliminate the ‘aura’. Aura is the medium so that it is not attached to a particular presentation of the work but lies in the subject (audience) and object (artwork) Aura, is not located primarily in tradition but the ghost of the past projected into the present. Thus surely not necessarily a mechanical reproduction art, which removes the limits of rigid presentation, removes the historical elements that can be extracted from a work of art. It is concluded that there are two types of auras; a


singular aura and a particular aura.

Keywords : aura, subject, object, singular, particular

PENDAHULUAN

“Karya Seni di Masa Kemungkinan  Reproduksi Teknisnya” (“The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility”—selanjutnya disebut “Karya Seni” saja) termasuk karya Benjamin periode kedua. Pemikiran Walter Benjamin sendiri kerap dibagi dalam dua periode. Terkhusus untuk pemikiran seputar kebudayaan dan estetika, dua  periode ini terbagi menjadi dua yaitu pertama, sastra romantik Jerman dengan penekanan pada metafisika dan kedua, teknologi dan bentuk- bentuk seni baru dengan penekanan pada marxisme. Setelah 1920-an, Benjamin banyak menaruh perhatian pada media modern (modern media) yang mencakup media massa yang ber hubungan dengan persepsi manusia, teknik display baru yang berhubungan dengan komoditi kapitalistik masyarakat urban dan juga media artistik seperti film, lukisan, fotografi. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan kedekatan Benjamin dengan seniman avant-garde Prancis dan Soviet yang berdatangan di Berlin pada dekade 1920-an serta perkenalannya dengan Marxisme via karya Gregory Lukas dan persahabatannya dengan

Institut Penelitian Sosial Frankfurt. Pada era ini juga Benjamin terlibat dalam grup Seniman G yang berk onsentrasi pada perbincangan seputar bentuk teknologi baru dan praktik industri yang membuka kemungkinan baru dalam produksi kebudayaan (Jennings dlm Benjamin, 2008:1-6).

Pada “Karya Seni” dan juga beberapa tulisan lain di periode kedua ini Benjamin berkonsen trasi pada dua pertanyaan berikut: pertama  kapasitas karya seni sebagai penyimpan informasi tentang  periode s ejarah dari masa tertentu dan kedua genre-genre karya seni dalam hubungannya  dengan media  modern. Kedua hal ini, menurut Benjamin, berdampak pada perubahan aparatus sensor manusia. Ketertarikan Benjamin terhadap seni dan  perubahan teknologi (media modern) ini tidak membuatnya jatuh pada penganut determinisme teknologis. Di dalam “The Author as  Producer” ia menyatakan bahwa t endensi politik karya seni  bukan pertama-tama terletak pada  bentuk karya seni itu. Dengan demikian, tidak serta merta  teknologi tertentu membuat sebuah karya seni punya tendensi politik tertentu pula (Jennings dlm Benjamin, 2008, 13-15).

PEMBAHASAN

Sekelumit Tentang “Karya Seni”

“Karya Seni” sebenarnya muncul sebagai tangg apan Walter Benjamin atas dua hal. Pertama, ke munculan fotografi dan film, sebagai contoh dari  teknologi reproduksi mekanis, sebagai b entuk  media baru seni di zaman itu. Kedua, kemunc ulan fasisme yang menurut Benjamin menggunakan dengan sungguh- sungguh teknologi baru dalam seni untuk mencapai tujuan-tujuan politik nya. Jadi bisa dikatakan bahwa kemunculan “Karya Seni” berlandaskan pada dua hal yakni pertama, perubahan material dari karya seni itu sendiri dan kedua, keadaan politik Eropa di zaman itu. Dua hal inilah yang  nantinya memicu perdebatan  Benjamin  dengan Adorno serta mewarnai perubahan- perubahan—“Karya Seni” terdiri dari tiga versi—atas tulisan itu sendiri.

Ada tiga versi dari “Karya Seni” yang perubahan dari satu versi ke versi yang lainnya dipicu oleh polemik dan perdebatan Benjamin dengan para koleganya kala itu serta perkembangan politik. “Karya Seni” ditulis Benjamin dalam masa pelarian di Prancis lantaran Jerman sudah tidak lagi kondusif untuk intelektual Yahudi seperti dirinya. Kala itu memang Partai Nazi sedang “berkuasa-berkuasanya” di Jerman dan propaganda Anti Semitisme dari Hitler sudah mulai gencar dijalankan. Versi kedua “Karya Seni” diselesaikan Benjamin pada 1936 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Pierre Klossowski. Versi kedua ini memicu perdebatan antara Adorno dan Benjamin. Adorno menyerang posisi emansipasi seni serta posisi marxisme Benjamin yang lebih dekat dengan Bertolt Brecht (Bloch, dkk, 1980: 110-140).

Dipicu oleh perdebatan tersebut serta kek ece waan atas kebijakan suntingan redaktur jurnal Zeitschrift für Sozialforschung—jurnal milik Institut Penelitian Sosial Frankfurt—Benjamin menulis versi  ketiga “Karya Seni” dengan penekanan pada teori Marx serta apresiasi yang positif pada posisi estetik Bertolt Brecht. Penyuntingan yang dilakukan oleh  redaktur Zeitschrift für Sozialforschung bertujuan untuk menjaga jurnal tersebut dari debat politik dan lebih berkonsentrasi pada debat saintifik (Leslie, 2000: 130-132).

Seorang komentator Benjamin, Paulo Domenech Oneto, melihat “Karya Seni” sebagai tulisan berbentuk pamflet. Hal ini lantaran, menurut  Oneto, “Karya Seni” merupakan tanggapan atas penggunaan estetika oleh fasisme yang mana sudah  mulai muncul pada manifesto kaum Futuris Italia sebelum Perang Dunia II. Kelompok ini, antara lain, menyatakan bahwa perang merupakan seni yang paling paripurna. Benjamin, menurut Oneto, juga tetap menekankan pertama, otonomi dari seniman dan kedua, bagaimana teknik seni yang cocok untuk membangunkan kritisisme pada pemirsanya. Seni fotografi dan film tidak revolusioner pada diri nya. Yang terpenting pada fotografi dan film  adalah  kemungkinannya untuk menghilangkan ‘aura’ ( Oneto, 2003: 5-4).

Futuris Italia memang punya antusiasme yang  tinggi pada teknologi. Kelompok ini sangat tergila-gila dengan bisingnya putaran mesin dan kecepatan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi kala itu. Hal tersebut tampak dalam “Manifesto Futuristime” yang ditulis oleh Fillipo Tommaso Marinetti:

Dunia yang mentereng kini diperkaya dengan keindahan yang baru. Mobil balap...ibarat naga dengan napas yang menderu-deru... Kita berdiri di tepi semenanjung abad! Apa gunanya menoleh ke belakang...? Ruang waktu sudah mati ... di mana-mana kita sudah menciptakan kecepatan abadi. Tahun Futuris melahirkan  Moralitas-agama kecepatan... Energi manusia yang berlipat ganda akan menguasai Waktu dan Ruang (Supelli, 2013: 3).

Antusiasime pada teknologi dari kaum futuris ini bahkan membuat mereka tak mempermasalahkan perihal perang dan senjata-senjata termutakhir yang dimungkinkan oleh teknologi. Kaum ini bahkan melihat penghancuran museum, historisisme, dan hal-hal dari masa lalu sebagai sesuatu yang patut dimaklumi. Seni bagi mereka perlu dibangun dari nol dengan landasan teknologi (Supelli, 2013: 3-4). Sekelumit Tentang Aura

‘Aura’, seperti yang sudah dibicarakan sekilas di atas, merupakan konsep penting Benjamin dalam hal seni dan budaya. Hilangnya ‘aura’ sebagaimana yang digambarkannya di dalam “Karya Seni” adalah juga penghancuran atas tradisi. Media baru yang dibawa oleh perkembangan teknologi berkemampuan mengubah aparatus kognisi manusia persis karena ia punya kemampuan menghilangkan ‘aura’ tersebut. Aura ini di gambarkan Benjamin sebagai: A strange tissue of space and time: the unique  apparation of a distance.... To follow with the eye—while resting on a summer afternoon—a mountain range on the horizon or a branch that casts is shadow on the beholder is to breathe the aura of those mountanins, of that branch” (Benjamin, 2008: 23).

atau versi terjemahan bebasnya sebagai berikut: Sebuah jaringan aneh ruang dan waktu: penampakan unik kejauhan... Mengikuti dengan mata—saat beristirahat pada sore hari musim panas—pegunungan pada horison atau ranting pohon yang melemparkan bayangan pada yang melihatnya adalah untuk menghirup aura dari pegunungan itu, dari cabang itu.

Dari penggambaran ini maka aura itu adalah kesan yang timbul ketika manusia berhadapan dengan sebuah fenomena tertentu; kesan yang timbul itu adalah sebuah kesan yang unik dan aneh.

Untuk menggambarkan bagaimana unsur aura tik karya seni bisa bekerja, berikut akan saya gambarkan dalam pengalaman seseorang yang  menyaksikan lukisan bertajuk Guernica dari  Pablo Picasso. Sang penikmat lukisannya bisa merasa tergetar lantaran yang ada di dalam kepalanya adalah ‘klaim-klaim’ tentang sejarah lukisan tersebut, hubungannya dengan Perang Sipil Spanyol, serta bagaimana Guerrnica (Gambar 1) menghiasi pavil ium Republik Spanyol di Expo Paris 1937. R ussell Martin, seorang sarjana sejarah seni, berkat pen ge tahuan sejarah seninya dapat berkomentar  demikian ketika menyaksikan lukisan tersebut:

Saya terpukau pula oleh kualitas tiga dimensional yang tak pernah tampak dalam reproduksinya;....oleh gerak menakjubkan bulu tengkuk kuda yang tersentak oleh gurat-gurat tubuhnya yang seakan menjumlah korban tewas di Gernika. Dan saya tergetar oleh gambargambar itu dalam suatu cara yang membuat saya terpaku sekaligus tergerak oleh kepastian emotif  bahwa lukisan monumental ini dengan sempurna menggemakan zaman nya yang tragis  (Martin, 2015: 217).

Gambar 1: Guernica karya Pablo Picasso sumber: http://www.museoreinasofia.es/

Aura karya seni kerapnya dibangun di atas klaim akan sejarah karya tersebut, kejeniusan sang seniman nya, cara dan ruang presentasi karya  tersebut, serta mitos-mitos lain yang terbangun di sekitar karya tersebut. Lebih jauh, kerapnya klaim tersebut berasal dari pemilik tradisi; dari kelas  penguasa yang paling berkepentingan dengan klaim tersebut. Dengan cara itu mereka melestarikan posisi mereka. Seorang Martin bisa menikmati, bahkan hingga terharu di hadapan Guernica, hanya karena ia mempelajari sejarah seni. Sedangkan bagi mereka yang tidak berkesempatan untuk itu, belum tentu bisa begitu terharu dan mampu menikmati Guernica sebagaimana Martin menikmatinya.

Hal ini tampak dari pengakuan seorang Spanyol akan pandangan anak-anaknya terhadap  Guernica itu:

Mereka pelajari Guernica di sekolah dan ya,  mereka paham bahwa ini lukisan sejarah yang penting. Tapi bagi mereka, sifatnya tidak  emosional, tidak bermakna secara mendalam. Bagiku, sedikit menyedihkan bahwa anak-anakku tidak bisa memandangnya sebagai bukti  bahwa  Spanyol telah menjalani transisi luar  biasa  (Martin, 2015:215).   

Dari kutipan ini kita melihat bahwa bagi seorang tua Spanyol yang mengalami masa-masa Perang Sipil Spanyol, Guernica menjadi penting. Sedangkan untuk Russell Martin, seorang pakar sejarah seni dari Amerika yang tidak punya pengalaman langsung sebagaimana orang-orang tua Spanyol, Guernica adalah sebuah karya yang begitu adiluhung sebagaimana kutipan pernyataannya di atas. Sedangkan bagi anak-anak Spanyol yang hanya mendapatkan sejarah perihal Guernica di sekolah biasa, menganggap karya itu biasa-biasa saja.

Itu berarti, lukisan Guernica ini menjadi penting  untuk mereka yang benar-benar memahaminya dalam konteks sejarahnya dan sejarah seninya dan yang hidup di dalam dunia seni itu dengan serius. Namun hal itu tidak tampak pada mereka yang tidak berada di dalam hal yang sama. Aura karya seni yang demikian itu menurut Benjamin sangat  mungkin dihancurkan dengan munculnya bentuk baru karya seni akibat adanya teknologi r eproduksi mekanis, aura karya seni yang d emikian sangat mungkin untuk dihancurkan (Benjamin, 2008:  2324).

“Karya Seni” merupakan eksplorasi yang radikal dan pergumulan teoretis akan permasalah hubungan antara teknologi, media dan aparatus sensorik manusia. Teknologi sebagai esensinya dan aparatus sensorik manusia serta bentuk karya seni itu bertopang di atas basis teknologi ini. Dengan  demikian—menggunakan perspektif Marxisme bahwa basis (penopang) mengkondisikan suprastruktur (yang bertopang)—bisa dikatakan bahwa perubahan pada teknologi mengubah dua hal yang bertopang di atasnya itu. Di dalam “Karya Seni” dengan demikian tampaklah pada kita bahwa Benjamin menunjukkan essensi, serta potensi politis dan epistemologis dari karya seni yang dimungkinkan oleh teknologi baru reproduksi.

 

Memeriksa Lebih Lanjut Aura

Sebelum muncul pada “Karya Seni”, konsep aura sebenarnya kerap muncul di dalam tulisan-tulisan Benjamin yang tidak semuanya membicarakan perihal karya seni; terkadang tidak secara langsung disebut dengan aura (Hansen, 2012: 106) Meski pun demikian, kerapnya perbincangan perihal aura di dalam pemikiran Benjamin dilekatkan hanya pada perbincangan perihal karya seni. Hal ini akan  kerap kita temukan di dalam tulisan dari banyak komentator Benjamin. Miriam Bratu Hansen punya pendapat yang cukup berbeda tentang ini. Hansen merujuk pada tulisan Benjamin perihal pengalamannya menghisap ganja. Demikian tulis Benjamin:

“Everything I said on the subject [the nature of aura] was directed polemically against the theosophists, whose inexperience and ignorance I find highly repugnant… First, genuine aura appears in all things, not just in certain kinds of things, as people imagine.” (Miriam Bratu Hansen, “Benjamin’s Aura”, Critical Inquiry 34 (Winter 2008), hlm. 336)

atau terjemahan bebasnya sebagai berikut: Segala yang kukatakan tentang subyek [sifat aura] secara langsung merupakan polemik  melawan para teosofi yang tak berpengalaman dan kebodohannya menjijikkan…Pertama, aura yang asli muncul dalam segala hal, bukan  dalam hal-hal tertentu saja, sebagaimana yang dibayangkan orang-orang.

Pada kutipan di atas, jelaslah bahwa menurut Benjamin, aura muncul pada segala hal dan bukan  hanya pada beberapa hal tertentu. Dengan demikian, t entu saja aura tidak muncul pada karya seni s emata. Menurut Hansen, kenyataan literer ini menyangkal banyak pemahaman tentang aura dari Benjamin yang sekadar melihatnya sebagai sebuah kategori estetika semata. Yang dimaksud dengan aura pada pemahaman seperti itu adalah aura sebagai sebuah kualitas tertentu pada seni tradisional yang kemungkinan akan menghilang pada era modern.

Lebih jauh, jika melihat sejarah perkembangan atau sejarah kemunculan konsep aura di dalam tulisantulisan Benjamin, kira-kira ada tiga pemahaman umum perihal aura ini. Dari ketiga definisi itu tidak ditemukan secara langsung bahwa aura  merupakan kategori dari seni semata. Dua pemahaman cukup mirip satu dengan yang lainnya sedangkan satunya lagi agak berbeda. Dua pemahaman yang mirip tersebut, yang disarikan di bawah ini. muncul pada tulisan-tulisan yang lebih belakangan:

Aura dipahami sebagai “sebuah jaringan aneh  ruang dan waktu: penampakan unik kejauhan, betapapun dekatnya ia (atau “betapap un dekat benda yang memanggilnya ke luar”); dan (2) aura dipahami sebagai bentuk persepsi yang “menanamkan” atau sokon gan fenomena  dengan “kemampuan untuk melihat kembali kepada kita,” untuk membuka matanya atau “mengangkat tatapannya”. (Hansen, 2008: 339)

Selain kedua pemahaman tersebut, ada pula pemahaman lain yakni aura sebagai substansi fenomena yang sukar dipahami, eter, atau halo yang mengelilingi seseorang atau sebuah obyek persepsi yang membungkus keindividualan dan keotentikan m ereka (Hansen, 2008: 340). Inilah pemahaman Benjamin perihal aura yang muncul pertama kali di dalam tulisannya Ganja di Merseille dan nanti nya akan lebih terstruktur muncul pada Sejarah Kecil Fotografi.

Di dalam Sejarah Kecil Fotografi tersebut, Benjamin membahas aura dari mantel Schelling. Aura mantel tersebut bukan muncul dari “keunikan” material—desainnya, warnanya, dan lain-lain— tetapi muncul dari hubungan yang kuat secara fisik dengan yang mengenakannya. Dengan demikian bisa dikatakan hal penting di dalam konsep aura adalah adanya unsur jejak (trace). Aura yang demikian ini dibahasakan Benjamin sebagai ‘aura dari kebiasaan’ (aura of the habitual) yang dipahami sebagai “…pengalaman yang menorehkan dirinya selama mung kin  secara repetitif” (Hansen, 2008: 340). Isi atau konten aura ini bukan sekadar kontinuitas, melainkan hantu masa lalu yang hadir dalam proyeksi masa kini dan ‘melukai’ yang melihatnya. Demikian Hansen, “…dimensi indeksikal hubungan aura pada masa lalu belum tentu perihal kontinuitas atau tradisi; lebih kerapnya, ia merupakan hantu masa lalu yang penampakannya terproyeksikan ke masa kini dan “melukai” yang melihatnya”  (Hansen, 2012: 107).

Dari penjelasan Hansen ini, tampaklah bahwa pada Benjamin, aura begitu dekatnya dengan sejarah. Sebab, bagi Benjamin, tulisnya dalam Tesis VI “On the Concept of History”, makna masa lalu secara historis bukanlah mengenalinya “sebagaimana ia adanya”, melainkan “merampas ingatan yang  seakan berkedip di saat bahaya”. Ilustrasi perihal aura sebagai jejak yang dengan demikian bertalian erat dengan pemahaman Benjamin perihal sejarah tampak pada pembahasannya akan potret dari Karl Dauthendey, Self Potrait with Fiancee. Kekasih Dauthendey di dalam foto ini (Gambar 2) di kemudian hari bunuh diri dengan memotong urat nadinya sendiri setelah melahirkan anak ketujuh mereka. Benjamin melihat potret ini dan baginya dari  potret ini sudah tampak aura sebagai ramalan akan bencana yang akan datang di kemudian hari.

Hansen lantas menyimpulkan bahwa aura bukanlah properti yang inheren pada subyek atau pun obyek. Aura adalah medium dari persepsi atau struktur tertentu dari penglihatan (Hansen, 2008: 342).  Demikian lengkapnya Hansen sembari  mengutip  Benjamin:

…aura sendiri merupakan medium yang mendefinisikan kehadiran manusia. “Ada aura

Gambar 2: Self Portrait with Fiancee karya Karl Dauthendey sumber:https://i.pinimg.com/originals/c9/68/2f/ c9682f1acca0952d30eadadc6d0ff8f5.jpg

 tentang mereka, medium yang meminjamkan kepenuhan dan kenyamanan untuk tatapan mereka dan karenanya mempenetrasi medium tersebut”… Dengan kata lain, aura menyiratkan struktur fenomenal yang memungkinkan manifestasi dari tatapan, yang tak terhindarkan dan terputus-putus, dan membentuk kemungkinan maknanya. (Hansen, 2008: 342)

SIMPULAN

Aura adalah medium perantara. Ada hal lain di luar aura itu sendiri yang memungkinkan aura itu ada. Sejarah misalnya atau sesuatu pada potret yang ‘menghadirkan’ manusia yang lantas mengejawantahkan jejak-jejak mereka pada yang melihat mereka. Jejak-jejak tersebut ‘ter sampaikan’ melalui medium aura.

Jika aura adalah medium dan urusannya adalah persepsi serta dialektika antara obyek yang ditatap dengan subyek yang ditatap dan sebaliknya, apakah masih bisa diterima bahwa aura karya seni hilang pada era teknologi reproduksi mekanis atas karya seni itu? Pasalnya, jika aura adalah medium maka ia tidak melekat pada sebuah presentasi karya tertentu tetapi terletak pada ada subyek (pemirsa) dan obyek (karya seni). Lebih lagi, aura, sebagaimana kita lihat sebelumnya, tidak terletak terutama pada tradisi tetapi hantu masa lalu yang terproyeksikan ke masa kini. Dengan demikian tentulah tidak serta merta karya seni reproduksi mekanis, yang menghilangkan batas-batas presentasinya yang kaku, menghilangkan unsur historis yang bisa digali dari sebuah karya seni.

Pertanyaan lebih lanjutnya kemudian apakah ada dua jenis aura yang berbeda di dalam pemikiran Walter Benjamin; mengapa Benjamin  seperti  ambigu ketika membicarakan aura? Bagi saya  elaborasi lebih lanjut pada pertanyaan-pertanyaan di muka sangat mungkin sampai pada kesimpulan bahwa ada dua jenis aura; katakanlah aura singular dan aura partikular.

RUJUKAN

Benjamin, Walter, Brigid Doherty, Michael  William. Jennings, Edmund Jephcott, and Thomas Y. Levin. 2008. Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility, and Other Writings on Media. Harvard University Press: Massachusetts.

Bloch, Ernst, and Fredric Jameson. 1980. Aesthetics and Politics. Verso: London & New York.

Hansen, Miriam Bratu. “Benjamin’s Aura.”  Critical Inquiry 34, no. 2 (01 2008): 336-75.

doi:10.1086/529060.

Hansen, Miriam. 2012. Cinema and Experience: Siegfried Kracauer, Walter Benjamin, and  Theodor W. Adorno. University of California Press: California.

Leslie, Esther. 2000. Walter Benjamin:  Overpowering Conformism. Pluto: London.

Martin, Russell. 2015. Perang Picasso: Hancurn ya Sebuah Kota dan Lahirnya Sebuah Mahakarya. Penerjemah: Ronny Agustinus. Atmamedia:  Tangerang.

Supelli, Karlina. 2013. Suara Jernih Dari Cikini:  Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta: Jakarta.