Topic outline
Sejarah Perkembangan Filsafat dari Zaman Yunani Kuno Hingga Masa Kini
Dalam istilah bahasa Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani yaitu “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan.
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun. Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya adalah semua yang ada.
Karena filsafat bukanlah suatu disiplin ilmu maka sesuai dengan definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya filsafat berkembang melalui beberapa zaman yaitu diawali dari Zaman Yunani Kuno, Zaman kegelapan (Abad 12-13 M), Zaman Pencerahan (14-15 M), Zaman awal Modern dan Modern (Abad 16-18 M), dan Zaman Pos Modern (Abad 18-19) hingga saat ini. Dalam karya ilmiah ini akan dibahas mengenai sejarah dan perkembangan filsafat dari Zaman Yunani Kuno hingga saat ini.
1. Zaman Yunani Kuno
Periode filsafat Yunani merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris yaitu pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam. Pada saat itu, gempa bumi bukanlah suatu fenomena biasa melainkan suatu fenomena di mana Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.
Pada periode ini muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam yaitu Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Sedangkan Heraklitos berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau asap. Sehingga Heracllitos menyimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Selain Heraclitos ada pula permenides. Permenides lahir di kota Elea. Ia merupakan ahli filsuf yang pertama kali memikirkan tentang hakikat tentang ada. Menurut pendapat Permenides apa ang disebut sebagai realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada itu ada, yang ada dapat hilang menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan. Dengan demikian, yang ada itu satu, umum, tetap, dan tidak dapat di bagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.
Zaman keemasan atau puncak dari filsafat Yunani Kuno atau Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates merupakan anak dari seorang pemahat Sophroniscos, ibunya bernama Phairmarete yang bekerja sebagai seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang terkenal galak dan keras.
Socrates adalah seorang guru. Setiap kali socrates mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak pernah memungut bayaran kepada murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis menuduh dirinya memberikan ajaran baru yang merusak moral dan menentang kepercayaan negara kepada para pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yakni pada tahun 399 SM. Pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.
Plato lahir di Athena, dengan nama asli Aristocles. Ia belajar filsafat dari Socrates, Pythagoras, Heracleitos, dan elia. Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama yakni mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenidas). Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya sebagai pengetahuan indera dan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal. Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide.
Menurut Plato ada beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas jika manusia tidak mengetahuinya, masalah tersebut adalah:
a. Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia.
c. Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-laian.
d. Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Sebagai puncak pemikiran filsafatnya adalah pemikiran tentang negara, yang tertera dalam polites dan Nomoi. Konsepnya mengenai etika sama seperti Socrates yakni tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well being). Menurut Plato di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan, antara lain:
a. Golongan yang tertinggi (para penjaga dan para filsuf).
b. Golongan pembantu (prajurit yang bertugas untuk menjaga keamanan negara).
c. Golongan rakyat biasa (petani, pedagang, dan tukang).
Plato mengemukakan bahwa tugas seorang negarawan adalah mencipta keselarasan semua keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis. Apabila suatu negara telah mempunyai undang-undang dasar maka bentuk pemerintahan yang tepat adalah monarki. Sementara itu, apabila suatu negara belum mempunyai undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah demokrasi.
Filsafat Plato dikenal sebagai idealisme dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/ bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Aristoteles lahir di Stageira, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Karya-karya Aristoteles meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi, ilmu alam, Retorica dan poetika, politik dan ekonomi. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut ini beberapa pemikiran Aristoteles yang terdiri dari:
a. Ajarannya tentang logika
Suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi dan aksidensia. Dan dari dua golongan tersebut terurai menjadi sepuluh macam kategori, yaitu :
1) Substansi (manusia, binatang).
2) Kuantitas (dua, tiga).
3) Kualitas (merah, baik).
4) Relasi (rangkap, separuh).
5) Tempat (di rumah, di pasar).
6) Waktu (sekarang, besok).
7) Keadaan (duduk, berjalan).
8) Mempunyai (berpakaian, bersuami).
9) Berbuat (memmbaca, menulis).
10) Menderita (terpotong, tergilas). Sampai sekarang, Aristoteles dianggap sebagai Bapak logika tradisional.
b. Ajaranya tentang sillogisme.
c. Ajarannya tentang pengelompokkan ilmu pengetahuan. Aritoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan.
d. Ajarannya tentang potensia dan dinamika. Hule adalah suatu unsur yang menjadi permacaman. Sementara itu, morfe adalah unsur yang menjadi dasar kesatuan.
e. Ajarannya tentang pengenalan.
f. Ajarannya tentang etika.
g. Ajarannya tentang negara.
2. Jaman Kegelapan (Abad 12-13 M)
Jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan. Filsafat pada jaman ini dikuasai oleh pemikiran keagamaan yaitu Kristiani. Puncak dari filsafat Kristiani adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik. Skolastik Patristik dibagi menjadi dua yaitu Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani antara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254). Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis. Ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari plotinos.
Pada jaman Skolastik pengaruh Ploinus diambil alaih oleh Aristoteles. Pada masa ini, pemikiran-pemikiran Aristoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam yaitu melalui Avicena Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles sangatlah besar sehingga ia disebut sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian ordo Dominikan dan Fransiskan.
3. Jaman Pencerahan (Abad 14-15 M)
Pada Abad Petengahan ini muncullah seorang astronom berkebangsaan Polandia. Astronom tersebut bernama N. Copernicus. Pada saat itu, N. Copernicus mengemukakan temuannya bahwa pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme). Namun temuan N. Copernicus ini tidak disambut baik oleh otoritas Gereja sebab mereka menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh N. Copernicus bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus. Oleh karena itulah, N. Copernicus dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja.
Galilieo Galilei adalah seorang penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia mnemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola, bukan gerak horisontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan telekospnya, ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri. Karena pandangannya yang bertentangan dengan tokoh Gereja akhirnya di hukum mati.
4. Jaman Awal Modern (Abad 16 M)
Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Pada masa ini muncullah berbagai pemikiran Yunani antara lain rasionalisme, empirisrme, dan kritisme. Selain itu, masa ini juga memunculkan seorang intelektual yang bernama Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, “The canon of medicine”. Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa saat itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Pada masa ini, para filsuf jaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari diri mereka sendiri. Kemudian, terjadilah perbedaan pendapat dalam memahami aspek tersebut. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio yakni kebenaran pasti berasal dari (akal). Berbeda dengan aliran rasionalisme, aliran empirisme meyakini bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Kemudian, muncullah aliran kritisisme yang mencoba untuk memadukan kedua pendapat tersebut. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discouse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar yang kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya secara metodis. Pelopr kaum rasionalis disebut Descartes. Kaum rasionalis ini percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Sedangkan pelopor aliran empirisme adalah David Hume (1711-1776). David Hume memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan sebab pengalaman dapat bersifat lahiriyah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun aliran kritisisme di pelopori oleh Imanuel Kant (1724-1804). Imanuel Kant mencoba untuk mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang betentangan tersebut. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.
5. Jaman Modern (Abad 17-18 M)
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut sebagai para empirikus, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia. Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776), di Perancis JJ.Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804).
Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason) yang terbit tahun 1781, memberi arah baru mengenai filsafat pengetahuan. Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri.
6. Jaman Pos Modern (Abad 18-19 M)
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi. Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap, yaitu
1 . teologis.
2 . Metafisis.
3 . Positif-ilmiah.
Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research).
Pada periode ini juga muuncul aliran “Pragmatisme”. Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Tokohnya William James (1842-1910) lahir di New York, memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi dan filsafat.
Selain itu juga muncullah filsafat analitis. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Josef Johan Wittgenstein (1889-1951). Ilmu yang ditekuninya adalah ilmu penerbangan yang memerlukan studi dasar matematika yang mendalam. Filsafat analitis ini berpengaruh di Inggris dan Amerika sejak tahun 1950. Filsafat ini membahas mengenai analisis bahasa dan analisis konsep-konsep.
PENUTUP
Filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam di Zaman Yunani Kuno adalah Thales (624-546 SM). Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Selain Thales, terdapat pula beberapa ahli filsuf yang lain diantaranya adalah Heracleitos, Permenides, Plato dan lain-lain. Puncak keemasaan pada masa Yunani Kuno dicapai pada masa Sokrates dan Aristoteles.
Jaman kegelapan di mulai dari abad 12-13 M. Pada masa ini terjadi pertentangan antara gereja yang diwakili oleh pastur dan para raja yang pro dengan para ulama filsafat. Pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah mati. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja lah yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Pada zaman modern,perkembangan filsafat mulai ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran-pemikiran yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisme. Aliran rasionalisme di pimpin oleh Rene Descartes dan aliran empirisme dipimpin oleh David Hume. Sedangkan alira kritisme dipimpin oleh Imannuel Kant.
Kemudian, perkembangan filsafat tidak berhenti pada zaman modern namun filsafat berkembang hingga zaman post modern. Zaman Post Modern ini terjadi pada abad 18-19 M. Pada abad ini banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neo-tomisme fenomenologi, Hedonisme dan Capitalism . Tokoh-tokoh filsafatyang terlahir di zaman ini antara lain: A. Comte, William James, Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Sejarah Filsafat. http://gezafa.blogspot.com.
Billy Yanuar Wijaya. 2010. Sejarah dan Perkembangan Filsafat dari Masa ke Masa. [online].
Budi Setiawan. Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat : Suatu Pengantar ke Arah Filsafat Ilmu. [online]
SENI YANG ABSOLUT MENURUT G.W.F. HEGEL (1770-1831)
Sunarto
Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang sunartounnes@gmail.com
Abstrak
Ungkapan Hegel “yang benar itu yang menyeluruh (absolut)” berlaku juga dalam seni. Seni mengungkapkan seluruh realitas yang fenomena, suatu kesatuan rasional dan realitas, kesatuan bentuk dan materi. Persepsi Hegel tentang seni tidak lepas dari konsep historisitas. Hegel memperlihatkan realitas sejarah seni dalam suatu tiga garis besar historis: Seni Timur (yang memperlihatakan kesan simbolis); Seni Klasik (seni Yunani dan Romawi, yang menampilkan suatu harmoni dan keseimbangan antara bentuk dan materi); Seni Romantik (kondisi seni ketika zaman Hegel, di sini Hegel mengatakan bahwa apa yang tersembunyi [batin] mempunyai kekuatan lebih daripada yang tampak [lahir]). Hegel memberikan contoh: Seni Timur yang simbolis diperlihatkan dalam bentuk arsitektur; Seni Klasik menampilkan keseimbangan bentuk dan materi yang tertuang dalam karya lukis; dan puncak dari itu semua adalah Seni Romantik, yang diperlihatkan dalam musik.
Kata Kunci: Hegel, filsafat, Seni, Absolut
Abstract
Hegel’s statement saying that “the right is absolute” can also be aplicable in art, too. Art expresses the whole phenomenal reality, a unity of rationality and reality, or a form and material unity. Thus, it can be said that art is an absolute unity. It shows the beauty comprehensively, that is the natural reality. Hegel’s perception about art could not be separated from the historical concept. Hegel shows art history in the three big lines of history: east art, showing symbolic impression; classic art (Gracee and roman), showjng a certain harmony and balance between form and material; and romantic art, showing that something hidden (inner) has more power than something visible (external). Hegel gave examples of how the symbolic east art is shown in the form of architecture, how the classic art shows the balance between the forms and the materials in paintings, and above all how romatic art is shown in music.
Keywords : Hegel, Philosophy, art, absolute
Click https://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/download/4050/3505 link to open resource.DIALEKTIKA HEGEL
Sejarah merupakan peristiwa atau kejadian pada masa lampau. Inilah pengertian yang biasa kita ketahui sejak kita mulai mengenal sejarah. Namun, apabila kita memandang sejarah bukanlah hanya masa lampau saja, tetapi sejarah pun menjadi unsur perubahan dari masa ke masa. Sejarah merupakan salah satu pencerminan perubahan dalam kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya itu, sejarah juga dapat menjadi sebagai subjek kajian dalam aktivitas manusia dan sesuatu yang signifikan terhadap sosial melalui sejarah dari sudut pandang filasafat, yang mana disebut dengan fisafat sejarah.Filsafat sejarah adalah komponen yang secara umum tidak dapat dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat. Karena kajian sejarah yang dipahami merupakan bagian integral dari sudut pandang filsafat itu sendiri.
Abad ke-19 adalah abad ketika filsafat sejarah metafisika yang paling kaya warna mampu berkembang sepenuhnya dan membawa seluruh hasil yang dipetik teori-teori besar tentang hakikat perkembangan sejarah dan nasib manusia.Pada abad ini filsafat menjadi sesuatu yang semarak, eksplosif, dan revolusioner dalam pemikiran formal sejak terjadi benturan antara rasionalisme dan kristianitas tradisional. Pada masa ini,terjadi pembongkaran secara sistematis atas metode dan pandangan filsafat tradisional. Meskipun demikian, karakteristik filsafat pada abad ke-19 yang cenderung mengangkat filsafat-filsafat besar tentang sejarah dan hukum-hukum perkembangan sejarah.
Dalam filsafat sejarah ini bertujuan memperjelas dan menganalisis gagasan-gagasan tentang sejarah. .Dengan demikian, beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah, dan Hegel adalah salah satu yang termasuk didalamnya. Untuk selanjutnya kita akan membahas tentang Hegel, filsafat yang berkaitan dengan sejarah.
Bagi Hegel, Roh yang memikirkan dirinya sendiri adalah realitas yang terdapat proses pengenalan diri yang terjadi melalui kesadaran diri manusia. Filsafat hegel umumnya dianggap titik puncak perkembangan idealism pasca Kantian di Jerman. Filsafatnya jelas merupakan salah satu dari sistem-sistem pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-19. Tanpa Hegel, Marxisme tak akan terbayangkan. Karena itu, tanpanya konflik-konflik ideologi pada zaman sekarang pun akan sulit dibayangkan. Selain itu, Hegel juga telah menimbulkan banyak pengaruh lain yang luas jangkauannya terhadap pemikiran modern, yang bukan hanya mencakup filsafat, namun juga teori sosial, sejarah dan hukum.
BIOGRAFI
Tokoh Filsafat Dialektika Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman yang lahir di Stuttgart, Wurttemberg. Pengaruhnya sangat luas terhadap para penulis dari berbagai posisi, termasuk para pengagumnya antara lain F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx, dan yang menentangnya antara lain, Kierkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, Schelling. Dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali memperkenalkan gagasan dalam filsafat, bahwa Sejarah dan hal yang konkret adalah penting untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya yang lain dalam proses pencapaian kesadaran diri. Hegel dilahirkan di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Di masa kecilnya, ia suka membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca,disebabkan oleh ibunya yang luar biasa progresif dan aktif mengasuh perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel adalah sebuah keluarga kelas menengah yang mapan di Stuttgart. Ayahnya seorang pegawai negeri dalam administrasi pemerintahan di Wurttemberg. Hegel adalah seorang anak yang sakit-sakitan dan hampir meninggal dunia karena cacar sebelum mencapai usia enam tahun. Hubungannya dengan kakak perempuannya, Christiane, sangat erat, dan tetap akrab sepanjang hidupnya. Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi. Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata sehari-hari, spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis, dan konseptual. Pengertian tersebut diterangkan secara radikal agar dalam proses pemikirannya kehilangan ketegasan dan mencair. Pengingkaran adalah konsep pengertian pertama (pengiyaan) dilawan artikan, sehingga muncul konsep pengertian kedua yang kosong, formal, tak tentu, dan tak terbatas. Menurut Hegel, dalam konsep kedua sesungguhnya tersimpan pengertian dari konsep yang pertama. Konsep pemikiran kedua ini juga diterangkan secara radikal agar kehilangan ketegasan dan mencair. Kontradiksi merupakan motor dialektika (jalan menuju kebenaran) maka kontradiksi harus mampu membuat konsep yang bertahan dan saling mengevaluasi. Kesatuan kontradiksi menjadi alat untuk melengkapi dua konsep pengertian yang saling berlawanan agar tercipta konsep baru yang lebih ideal. Karya utama : Phenomenology of Spirit pada tahun 1807. Dan contoh masalah yang dihadapi Hegel adalah ketika para penerjemah Inggris dari buku Phanomenologie des Geistes tidak pasti apakah mereka harus menerjemahkan “Geist” dengan “Roh” atau “Pikiran”, meskipun istilah “Roh” dan “Pikiran” sangat berbeda dalam bahasa Inggris.Dan karya lainnya adalah Science of Logic pada tahun 1812–1816, Encyclopedia of the Philosophical Sciences pada tahun 1817–1830, Elements of the Philosophy of Right pada tahun 1821.
PEMIKIRAN
Karya-karya pemikirannya menunjukkan ketajaman serta keseimbangan daya berpikir yang luar biasa. Bagi Hegel tugas utama filsafat adalah memahami kenyataan sebagaimana adanya. Dia berkeyakinan bahwa kebenaran secara menyeluruh atau bagian-bagian dari kebenaran dapat ditelaah melalui penalaran yang wajar serta dimengerti.
Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right, negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan negara sebagai sintesis.
Dialektika itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak. Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga mengandung antitesis yaitu ketika individu-individu (anak-anak) dalam keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan masuk dalam kelompok individu-individu yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat subyektif.
Meskipun logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak bermaksud demikian. Hegel memaksudkan bahwa dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan dari negara.
Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme. Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan Civil Society terpisahkan. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional.
Dibawah ini merupakan peta pemikiran Hegel, diantaranya:
METAFISIKA DAN RUH ABSOLUT
Filsafat Hegel sering disebut sebagai puncak idealisme Jerman. Filsafatnya banyak diinspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat ilmunya ( filsafat dualisme), Kant melakukan pengkajian terhadap kebuntuan perseteruan antara Empirisme dan Rasionalisme, keduanya bagi Kant terlalu ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan. “Revolusi Kantian” kemudian berhasil menemukan jalan keluarnya.
Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh filsafat Kant tersebut kemudian menemukan jalan keluarnya melalui kontemplasi yang terus menerus. Ketertarikan Hegel sejak awal pada metafisika, meyakinkannya bahwa ada ketidak jelasan bagian dunia, bagi Bertrand Russell pemikirannya kemudian merupakan Intelektualisasi dari wawasan metafisika
Pada dasarnya filsafat Hegel mematahkan anggapan kaum empiris seperti John Lock, Barkeley dan David Hame. Mereka ( kaum empiris ) mengambil sikap tegas pada metafisika, bagi Lock metafisika tidak mampu menjelaskan basis fundamental filsafat atau Epistimologi ( bagaimana realitas itu dapat diketahui ) dan tidak dapat mencapai realitas total, pendapat ini diteruskan kembali oleh David Hume bahwa metafisika tidaklah berharga sebagai ilmu dan bahkan tidak mempunyai arti., baginya metafisika hanya merupakan ilusi yang ada diluar batas pengertian manusia.
Dengan metafisika kemudian Hegel mencoba membangun suatu sistem pemikiran yang mencakup segalanya baik Ilmu Pengetahuan, Budaya, Agama, Konsep Kenegaraan, Etika, Sastra, dll. Hegel meletakkan ide atau ruh atau jiwa sebagai realitas utama, dengan ini ia akan menyibak kebenaran absolut dengan menembus batasan-batasan individual atau parsial. Kemandirian benda-benda yang terbatas bagi Hegel dipandang sebagai ilusi, tidak ada yang benar nyata kecuali keseluruhan (The Whole).
Hegel memandang Realitas bukanlah suatu yang sederhana, melainkan suatu sistem yang rumit. Ia membangun filsafat melalui metafora pertumbuhan biologis dan perubahan perkembangan atau bisa disebut dengan organisme. Pengaruh konsep organisme pada diri Hegel, membuatnya memandang bahwa organisme merupakan model untuk memahami kepribadian manusia, masyarakat, institusi, filsafat dan sejarah. Dalam hal ini organisme dipandang sebagai suatu hirarki, kesatuan yang saling membutuhkan dan masing-masing bagian memiliki peran dalam mempertahankan suatu keseluruhan.
Segala sesuatu yang nyata adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah nyata (all that is real is rational and all that is rational is real) adalah merupakan dalil yang menegaskan bahwa luasnya ide sama dengannya luasnya realitas. Dalil ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh keum empiris tentang realitas, “yang nyata” bagi kaum empiris secara tegas ditolak oleh Hegel, sebab baginya itu tidaklah rasional, hal tersebut terlihat rasional karena merupakan bagian dari aspek keseluruhan.
Hegel meneruskan bahwa keseluruhan itu bersifat mutlak dan yang mutlak itu bersifat spiritual yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya sendiri. Jadi realitas pada kesendiriannya bukanlah hal yang benar-benar nyata, tetapi yang nyata pada dirinya adalah partisipasinya pada keseluruhan.
Dalam bukunya Phenomenologi of Mind (1807), Hegel menggambarkan tentang “yang mutlak” sebagai bentuk yang paling sempurna dari ide yang selanjutnya menjadi ide absolut. Ide absolut menurut Bertrand Russell adalah pemikiran murni, artinya adalah bahwa ide absolut merupakan kesempurnaan fikiran atau jiwa yang hanya dapat memikirkan dirinya sendiri. Pikirannya dipantulkan kedalam dirinya sendiri melalui kesadaran diri.
DIALEKTIKA
Dialektika merupakan metode yang dipakai Hegel dalam memahami realitas sebagai perjalanan ide menuju pada kesempurnaan. Menelusuri meteri baginya adalah kesia-siaan sebab materi hanyalan manifestasi dari perjalanan ide tersebut. Dengan dialektika, memahami ide sebagai realitas menjadi dimungkinkan. Dialektika dapat dipahami sebagai “The Theory of the Union of opposites” (teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan). Terdapat tiga unsur atau konsep dalam memahami dialektika yaitu pertama, tesis, kedua sebagai lawan dari yang pertama disebut dengan antitesis. Dari pertarungan dua unsur ini lalu muncul unsur ketiga yang memperdamaikan keduanya yang disebut dengan sinthesis. Dengan demikian, dialektika dapat juga disebutsebagai proses berfikir secara totalitas yaitu setiap unsur saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Untuk memahami proses triadic itu (thesis, Antitesis, dan sithesis), Hegel menggunakan kata dalam bahsa Jerman yaitu aufheben Kata ini memiliki makna “menyangkal”, “menyimpan” dan “mengangkat”. Jadi dialektika bagi Hegel bukanlah penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan salah satunya tetapi lebihdari itu. Proposi atau tesis dan lawannya antitesis memiliki kebenaran masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi. Tj. Lavine menerangkan proses ini sebagai berikut:
1. Menunda klonflik antara tesis dan antitesis.
2. Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.
3. Memgungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.
Hegel memberikan contoh sebagai berikut “yang mutlak adalah yang berada murni (pure being)” yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun yang berada murni tanpa kualitas apapun adalah “yang tiada (nothing)” ini merupakan regasi dari proposi atau tesis, oleh sebab itu kita terarah pada antitesis “yang mutlak adalah yang tiada”. Penyatuan antara tesis dan antitsis tersebut menjadi sinthesis yaitu apa yang disebut menjadi (becoming) maka “yang mutlak adalah yang menjadi”, sinthesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.
Dialektika Hegel merupakan alternatif tradisional yang mengasumsikan bahwa proposi haruslah terdiri dari subjek dan predikat. Logika seperti ini bagi Hegel tidaklah memadai. Berikut contoh yang bisa sedikit menerangkan tentang hal tersebut, dalam logika tradisional terdapat proposi sebagai berikut Heru adalah seorang paman”, kata paman disini merupakan predikat yang dinyatakan begitu saja benar (benar dengan sendirinya), Heru tidak perlu mengetahui keberadaannya sebagai paman, maka dalam hal ini logika tradisional mengandung cacat. Hegel menggantinya dengan dialektika untuk menuju pada kebenaran mutlak, paman bagi Hegel tidaklah benar dengan sendirinya, sebab eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan eksistensi orang lain sebagai keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitsis maka tidaklah memungkinkan kebenaran parsial atau individual, kesimpulannya adalah kebenaran terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan akan mencap[ai kebenaran absolut yang mencakup keseluruhan.
Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang belakangan mengandung semua tahap terdahulu. Sebagaimana larutan, tak satupun darinya yang secara keseluruhan digantikan, tetapi diberi tempat sebagai suatu unsur pokok di dalam keseluruhan.
FILSAFAT SEJARAH
Setelah Hegel menyatakan bahwa yang sejati adalah rasional dan kemudian menerangkan tentang dialektika yang membawa ruh kepada titik absolut, maka kita kemudian akan di bawa pada pemahaman hakekat sejarah. Sejarah bagi Hegel dapat dipahami sebagai proses dialektika ruh. Filsafat sejarah Hegel merupakan perwujudan atau pengejewantahan dari ide universal menuju pada absolutisme dengan menjelaskan semua yang terjadi sebagai proses.
Bagi Hegel, sejarah berlaku pada kelompok bukan dalam individu. Searah berkaitan dengan jiwa manusia dan seluruh budayanya bukan dengan Ilmu dan tekhnologi seperti yang di jelaskan oleh para pemikir pencerahan. Hegel mengangap sejarah tidakah bergerak secara lurus terhadap kemajuan, namun ia bergerak secara dialektis melalui jalan melingkar.
Dalam The Philosophy of History Hegel mengatakan bahwa Esensi dari ruh adalah kebebasan, maka kebebasan adalah tujuan dari sejarah. Sejarah baginya merupakan gerak kearah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Hegel kemudian merumuskan perkembangan historis ruh, yang terbagi dalam tiga tahap: Pertama, Timur. Kedua, Yunani dan Romawi dan Ketiga, Jerman. Pada fase pertama kita akan temui bahwa yang bebas hanyalah satu orang, seperti yang kita lihat dalam monarki Cina dan Timur Tengah , lalu sejarah bergerak pada masa Yunani Kuno dan Romawi dimana yang bebas menjadi beberapa orang sebab masih ada pembedaan antara tuan dan budak maka bentuk yang sempurna adalah Jerman dimana yang bebas adalah semuanya Pemikiran Hegel mengarahkan kita pada pemahaman bahwa sejarah merupakan pergerakan penuh tujuan atas cita-cita Tuhan untuk kemanusiaan. Hegel pun memahami bahwa sejarah memang merupakan meja pembantaian dimana kesengsaraan, kematian , ketidakadilan dan kejahatan menjadi bagian dari panggung dunia. Namun Filsafat sejarah merupakan teodisi atau usaha untuk membenarkan tuhan dan mensucikan tuhan data tuduhan bahwa tuhan membiarkan kejahatan berkuasa di dunia. Dia menunjukkan anggapan yang salah tentang sejarah di sebabkan karena merekan hanya melihat permukaanya saja, tetapi mereka tidak melihat aspek Laten serta potensial dalam sejarah yaitu jiwa absolut dan esensi jiwa yaitu kebebasan.
NEGARA
Negara merupakan tema sentral dalam pembahasan tentang kehidupan dalam masyarakat politik. Sebagai seorang filosof, Hegel kemudian merumuskan bentuk negara ideal baginya, pandangannya tentang negara tersebut dapat dilihat pada dua karyanya yaitu The Philosopy of History dan The Philosopy of Law. Tentu saja pandangannya tentang negara tidak lepas dari sistem filsafat yang dibangunnya.
Hegel menunjukkan bahwa hakekat manusia dimasukkan dan diwujudkan dalam kehidupan negara-bangsa. Menurutnya, negara-bangsa merupakan totalitas organik (kesatuan organik) yang mencakup pemerintahan dan institusi lain yang ada dalam negara termasuk keseluruhan budayanya. Hegel juga menyatakan bahwa totalitas dari budaya bangsa dan pemerintahannya merupakan individu sejati. “Individu sejarah dunia adalah negara-bangsa”, maksudnya negara merupakan individu dalam sejarah dunia.
Negara merupakan manifestasi dari ide universal. Sedangkan individu (orang per orang) merupakan penjelmaan dari ide partikular yang tidak utuh, dan merupakan bentuk kepentingan yang sempit. Negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, memperjuangkan/merealisasikan ide besar. keinginan negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang, karenanya negara harus dipatuhi dan negara dapat memaksakan keinginannya pada warganya. Negara adalah “penjelmaan dari kemerdekaan rasional, yang menyatakan dirinya dalam bentuk objektif”.
Karena itulah negara yang dibentuk Hegel adalah absolut. Negara baginya bukan apa yang di gambarkan John Lock atau teoritisi-teoritisi kontrak sosial yang dibentuk dari kesepakatan bersama dari rakyatnya, Hegel berpendapat sebaliknya ,negaralah yang membentuk rakyatnya. Hegel memang mensakralkan negara sampai ia menganggap bahwa sepak terjang negara di dunia ini sebagai “derap langkah Tuhan di bumi.
Dalam perspektif ini individu tidaklah dimungkinkan untuk menjadi oposisi negara sebab ia membawa kepentingan parsial. Negara adalah sumber budaya, kehidupan institusional dan moralitas. Hegel menyatakan dalam Reason of History: segala yang ada pada manusia, dia menyewa pada negara, hanya dalam negara dia mendapatkan jati dirinya. Maka tidak seorang pun bisa melangkah di belakang negara, dia mungkin bisa memisahkan diri dari individu lain namun tidak dari jiwa manusia.
Lalu dimanakah existensi individu ketika ia tidak lagi memiliki kekuasaan dan kebebasan? Hegel menjawabnya dengan membedakan kebebasan formal dan kebebasan substansial. Berikut ini penjelasanya:
1. Kebebasan formal merupakan kebebasan yang diasumsikan oleh kaum atomis di masa pencerahan, dimana individu terisolasi, kebebasan ini diraih dari sifat alamiah seperti: kehidupan, kebebasan dan properti (hak milik), kebebasan ini bersifat abstrak dan negatif. Bagi Hegel, inilah kebebasan dari penguasa yang menindas.
2. Kebebasan substansial adalah merupakan kebebasan ideal bagi Hegel, hal ini cita-cita moral masyarakat yang berasal dari kehidupan spiritual masyarakat tertentu. Kebebasan ini hanya dapat diraih dari negara, di sinilah cita-cita etika dan jiwa fundamental orang-orang dalam hukum-hukum dan institusi-institusinya dapat dicapai.
Dalam pandangan Hegel, jika kita membenci budaya kita dan tidak sependapat dengan cita cita dan institusi masyarakat kita maka kita berada dalam keterasingan. Keterasingan merupakan terdiri dari banyak komponen yaitu: perasaan menjadi asing diri, terputus dari perasaan sendiri ataupun identitasnya sendiri; perasaan tidak memiliki norma; tidak memiliki arti; lemah dan lain lain.Keterasingan yang dipahami Hegel merupakan kegagalan kehendak individu untuk beradaptasi dengan yang lebih besar yaitu kemauan masyarakat. Keterasingan merupakan kondisi dimana seseorang tidak bisa mengidentifikasikan diri dengan moralitas publik dan institusi masyarakat
PENUTUP
Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Dalam filsafat hegel, kebenaran hakiki pelan-pelan akan terkuak seiring rentang evolusi sejarah perjalanan pemikiran filsafat.
Demikian pembahasan tokoh filsafat Hegel dalam makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yuana, Kumara. 2010. The Greatest Philosophers. Jogyakarta:Andi Offset.
D.Aiken, Henry. 2009. Abad Ideologi. Jogjakarta:Relief.
Hadiwiyono, Sari Harun.2005.Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius.
1. Buatlah rangkuman "Perkembangan Filsafat dari Zaman Yunani Kuno Hingga Masa Kini"
2. Buatlah resume pemikiran HEGEL!
Garis besar filsafat Schopenhauwer
Pelajari e-book Schopenhauwer dengan baik
Buatlah resume Garis Besar Filsafat Schopenhauwer! Bisa diperkaya dengan sumber bacaan lainnya!
pemikiran Nietzsche tentang seni dan keindahan
Pemikiran filosofis bersifat konseptual yaitu berpikir dalam filsafat tidak hanya sekedar berpikir, tapi mempunyai konsep secara umum. Konsepsi (rencana kerja) merupakan hasil kerja pengumuman dan abstraksi dari pengalaman tentang berbagai hal dan proses individual. Filsafat merupakan pemikiran tentang hal dan proses dalam hubungan yang umum. Seorang filsuf tidak hanya membicarakan dunianya sendiri ataupun dunia sekitarnya, melainkan juga mengenai perbuatan berpikir itu sendiri. Melalui ciri ini maka berpikir kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-hari. Agar dapat berpikir filosofis seseorang harus mengubah mindset atau pola berpikirnya. Ia tidak segan bahkan berani untuk mempertanyakan keyakinannya. Keyakinan yang dimaksud tidak hanya soal agama tetapi hal-hal yang sebelumnya sudah dianggap benar oleh dirinya dan masyarakat umum. Hal ini yang dilakukan oleh orang-orang seperti Nietzsche dan Descartes. Bagi seorang filosof tidak ada keyakinan yang tidak dipertanyakan. Semua keyakinan dipertanyakan secara serius dan dicari pembuktiannya. Tujuannya bukan untuk membebaskan seseorang atau masyarakatterbebas dari nilai-nilai. Namun, agar keyakinan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, atau memiliki validitas secara logis. Intinya, segala pertanyaan yang mendasar harus sampai kepada sebuah jawaban yang menyeluruh. Dalam filsafat terdapat tujuan agar kita dapat menjelaskan berbagai pertanyaan tersebut hingga pada hal yang mendasar serta berlaku untuk fenomena keseluruhannya. Berpikir secara filosofis tidak hanya cukup dibuktikan dengan data-data semata, melainkan juga seorang filosof harus mampu berpikir secara spekulatif, bahkan menciptakan konsep-konsep yang bersifat secara abstrak untuk menjelaskan realitas secara total. Segala pertanyaan ini dijawab tidak dengan mengaitkan dengan kekuatan mistik atau mitos-mitos, melainkan dengan nalar (Sipayung, 2010:35-39). Friedrich Nietzsche hidup pada tahun 1844 dan meninggal pada tahun 1900 Masehi. Nietzsche mulai mempelajari filsafat setelah ia membaca uraian-uraian Schopenhauer. Schopenhauer memang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pandangan filsafat Nietzsche. Keduanya, Schopenhauer dan Nietzsche mempunyai pandangan filsafat yang sama. Keduanya mendasarkan filsafat pada kehendak. Meskipun demikian terdapat pula perbedaan antara keduanya, bila Schopenhauer mendasarkan pandangan filsafatnya pada kehendak untuk hidup (Wille zum Leben), sedangkan Nietzsche mendasarkan pada kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) (Sunardi, 2012:3-23).
Pengetahuan merupakan salah satu wujud nyata dari kehendak untuk berkuasa. Nietzsche menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat untuk mencapai kekuasaan. Kehendak untuk mendapatkan pengetahuan, atau kehendak untuk tahu, tergantung akan besar kecilnya kehendak untuk berkuasa. Tujuan mendapatkan pengetahuan bukanlah semata-mata untuk tahu, dalam arti menguasai kebenaran dari suatu ilmu, tetapi juga untuk tujuan kebenaran. Antara tahun 1800-an hingga 1900 Masehi negara-negara Barat sedang mengalami puncak revolusi. Revolusi yang terjadi di negara-negara Barat ditandai dengan perkembangan teknologi yang berkembang dengan pesat, sehingga wajar apabila pada tahun-tahun ini disebut dengan era modern. Ketika era modern berlangsung, filsafat berkembang mengarah pada kekuatan rasio. Hampir seluruh filsuf Barat mendewakan rasio sebagai dalil-dalil dalam filsafatnya. Nietzsche adalah tokoh pertama yang sudah menyatakan ketidakpuasannya terhadap dominasi atau pendewaan rasio pada tahun 1880-an. Melihat dari pernyataan ketidakpuasannya terhadap pendewaan rasio maka Nietzsche dikatakan sebagai tokoh pertama filsafat dekonstruksi dan karena Nietzsche mengkritik teori-teori filsafat modern, maka Nietzsche juga dikenal dengan tokoh atau filsuf Postmodern. Kritik filsafat postmodern yang diungkapkan Nietzsche terhadap filsafat modern terungkap dalam istilah dekonstruksi. Dekonstruksi yang dilakukan oleh Nietzsche ialah merombak kegairahan orang akan rasionalisme ketika itu.
Mengapa filsafat Rasionalisme perlu didekonstruksi? Karena ia merupakan filsafat yang keliru dan juga keliru cara menggunakannya. Kekeliruan ini muncul dari suatu warisan kultural renaissans yang mencerminkan kelemahan manusia modern. Kelemahan manusia modern nampak pada sikap mendewakan rasio secara berlebihan. Pendewaan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan nilai dan norma dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistik ini cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Mereka juga menolak adanya hari akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi,sebagai konsekuensinya lahir trauma kejiwaan dan ketidakstabilan hidup. Akibat rasionalisme seperti inilah dan kekeliruan dalam menggunakan rasionalisme budaya Barat hancur (Tafsir, 2009:258).
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran'atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme dari sisi lain. Nietzsche mendasarkan kehendak untuk berkuasa sebagai titik pusat etika. Disebabkan pandangan etikanya Nietzsche menjadi terkenal sebagai ahli filsafat. Nietzsche juga dikenalsebagai "sang Pembunuh Tuhan" dalam Also Sprach Zarathustra. Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan. Keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya paradigma tersebut ialah paradigma yang anti dan pesimis terhadap kehidupan (Aiken, 1960:253-282). Nietzsche juga sangatterkenal dengan Nihilismenya. Tuhan sudah mati (bahasa Jerman: "Der Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang sangat terkenal dari Nietzsche. Hal ini menyebabkan Nietzsche disebut sebagai sang Pembunuh Tuhan dan dikenal sebagai orang yang ateis. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam The Gay Science, juga ditemukan dalam The Madman dan menjadi salah satu tema mayor dalam buku Also Sprach Zarathustra. Dalam The Madman dinyatakan sebagai berikut:"Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata supaya layak akan hal itu [pembunuh Tuhan]"? (Kaufmann, 1974 : 125) Dalamkonteks ini, Tuhan sudah mati tidak boleh ditanggapi secara harfiah, bahwa Tuhan kini secara fisik sudah mati; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah "kaki"nya. Moralitas ini sama sekali tidak terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya, tak ada satupun yang tinggal di tangannya. Inilah sebabnya mengapa dalam buku Also Sprach Zarathustra diceritakan mengenai seorang nabi Zarathustra yang menyebarkan ajarannya. Karena masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apa pun di tengah ketiadaan tatanan Ilahi. Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu memercayai tatanan kosmis apa pun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Tuhan yang dibunuh Nietzsche bukanlah Tuhan dalam pemahaman yang spiritualis, transedental, absolute, melainkan Tuhan yang menjerumuskan manusia pada dehumanitas seperti Tuhan-tuhan pagan yang dikerangkeng dalam kotak-kotak dikomotis, termasuk model keagamaan monoteisme-politeistik mayoritas kita. Dalam porsi ini Nietzsche jelas berbeda dengan ateisme Barat sebagaimana Sartre, Kant, Camus dan Armstrong yang membangun paradigm eksistensialis hanya dalam rangka eksplorasi kebebasan manusia, bukan indterminisme dari eksistensi Tuhan. Nietzsche tidak pernah menampik Tuhan dalam pemahamannya yang inheren dan koheren dengan dimensi ini (Levine, 2002: x-xii). Cara pemahaman Nietzsche mengenai Tuhan ini membawa kita pada nihilisme, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini. Walaupun demikian, dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung) dan memosisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) (Maksum, 2008 : 169). Pemahaman "Kehendak" pertama kali didapat Nietzsche ketika ia membaca buku karya Schopenhauer. Dalam buku karya Schopenhauer disebutkan kehendak untuk hidup(der Wille zum Leben). Dari sinilah Nietzsche menemukan bahwa unsur essensial dari diri manusia (Das Ding an Sich) yang hadir ketika berada di manapun adalah "Kehendak". Kemudian ia menyempurnakan "Kehendak" dari Schopenhauer yang semula hanya kehendak untuk hidup(der Wille zum Leben) menjadi kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) sehingga dalam pengertian ini orang-orang yang dapat menggunakan kehendaknya tidak hanya orang kuat atau orang yang berkuasa, tetapi orang lemah atau tidak memiliki kuasa dapat menggunakan kelemahannya untuk mengendalikan orang yang berkuasa (Tafsir, 2010 : 171). Pengertian kehendak untuk berkuasa bermula daripenegasan Nietzsche mengenai wujud (Sein). Ia menegaskan hal ini dengan menggunakan pandangan eksistensialis bahwa tindakan manusia benar-benar nyata, dan dari setiap tindakan yang terjadi kita memasukkan sebuah diri fiksional sebagai penyebabnya, sehinggahal ini berarti bahwa sebuah kebaikan atau keburukan tidak akan terjadi pada manusia tersebut jika ia tidak melakukan suatu tindakan yang mengundang kebaikan atau membawa keburukan. Inti dari pandangan ini, segala yang terjadi dalam kehidupan ini bergantung pada pilihan yang kemudian dilakukan oleh manusia itu sendiri (Levine, 2002 : 9). Paham-paham Nietzsche merupakan suatu produk dari pemikirannya. Pemikiran Nietzsche begitu erat dengan pengalaman hidupnya. Hampir tak ada filsuf yang riwayat hidupnya dikaitkan begitu erat dengan pemikirannya seperti halnya Nietzsche. Riwayat hidup Nietzshe begitu sarat dengan berbagai pengalaman dan kesepian yang akhirnya memberikan corak khas pada seluruh pemikirannya. Sesungguhnya Nietzsche ingin menjadi seperti ayahnya, menjadi pendeta. Tetapi keputusannya ini mendapat perlawanan keras dari hidupnya. Pada umur empat belas tahun, Nietzsche pindah ke sekolah sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Selama di Pforta Ia belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Di Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat(Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami. Pemikiran Nietzsche juga banyak dipengaruhi oleh pendidikan dari sekolahnya, Pforta. Pola pemikiran Nietzsche mengikuti suatu pola yang secara kasar dapat diringkas dalam lima tahap (Levine, 2002:7):(1) Historisisme, atau pengakuan terhadap keragaman nilai-nilai dan ide-ide tentang waktu, (2) Historisisme-Weltanschauung,atau kepercayaan bahwa kompleksitas organik dari ide-ide dan nilai-nilai menjadi dasar setiap kebudayaan, yang menentukan perjalanan kehidupan dan pemikiran manusia, (3) relativisme atau teori bahwa ide-ide hanya benar dan atau baik di dalam Weltanschauung khusus, (4)nihilisme atau kehilangan semua ide tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruan; kemudian proposisi relativisme berubah melawan dirinya-bahkan relativismesemata-mata bersifat relatif, (5) filsafat Dionysian, atau perjalanan kreatif melampaui kebudayaan dan rasionalitas. Pola pemikiran ini terbukti dalam awal sejarah ide-ide Nietzsche, kemudian tertuang pada buku-buku yang terpublikasikan. Ketika buku The Birth of Tragedy selesai ditulis oleh Nietzsche, pemikirannya telah sampai pada tahap yang terakhir, karena Nietzsche bergerak melampaui tahap relativisme di dalam belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Di Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat(Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.Pemikiran Nietzsche juga banyak dipengaruhi oleh pendidikan dari sekolahnya, Pforta. Pola pemikiran Nietzsche mengikuti suatu pola yang secara kasar dapat diringkas dalam lima tahap (Levine, 2002:7):(1) Historisisme, atau pengakuan terhadap keragaman nilai-nilai dan ide-ide tentang waktu, (2) Historisisme-Weltanschauung,atau kepercayaan bahwa kompleksitas organik dari ide-ide dan nilai-nilai menjadi dasar setiap kebudayaan, yang menentukan perjalanan kehidupan dan pemikiran manusia, (3) relativisme atau teori bahwa ide-ide hanya benar dan atau baik di dalam Weltanschauungkhusus, (4)nihilisme atau kehilangan semua ide tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruan; kemudian proposisi relativisme berubah melawan dirinya-bahkan relativismesemata-mata bersifat relatif, (5) filsafat Dionysian, atau perjalanan kreatif melampaui kebudayaan dan rasionalitas.Pola pemikiran ini terbukti dalam awal sejarah ide-ide Nietzsche, kemudian tertuang pada buku-buku yang terpublikasikan. Ketika buku The Birth of Tragedyselesai ditulis oleh Nietzsche, pemikirannya telah sampai pada tahap yang terakhir, karena Nietzsche bergerak melampaui tahap relativisme di dalam belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Di Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya, Ohne Heimat(Tanpa Kampung Halaman), ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami.Pemikiran Nietzsche juga banyak dipengaruhi oleh pendidikan dari sekolahnya, Pforta. Pola pemikiran Nietzsche mengikuti suatu pola yang secara kasar dapat diringkas dalam lima tahap (Levine, 2002:7):(1) Historisisme, atau pengakuan terhadap keragaman nilai-nilai dan ide-ide tentang waktu, (2) Historisisme-Weltanschauung,atau kepercayaan bahwa kompleksitas organik dari ide-ide dan nilai-nilai menjadi dasar setiap kebudayaan, yang menentukan perjalanan kehidupan dan pemikiran manusia, (3) relativisme atau teori bahwa ide-ide hanya benar dan atau baik di dalam Weltanschauungkhusus, (4)nihilisme atau kehilangan semua ide tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruan; kemudian proposisi relativisme berubah melawan dirinya-bahkan relativismesemata-mata bersifat relatif, (5) filsafat Dionysian, atau perjalanan kreatif melampaui kebudayaan dan rasionalitas.Pola pemikiran ini terbukti dalam awal sejarah ide-ide Nietzsche, kemudian tertuang pada buku-buku yang terpublikasikan. Ketika buku The Birth of Tragedyselesai ditulis oleh Nietzsche, pemikirannya telah sampai pada tahap yang terakhir, karena Nietzsche bergerak melampaui tahap relativisme di dalam karyanya. Walau tidak sepenuhnya benar menyebutnya seorang relativis, meskipun dia tentu menginginkan menggunakan alasan-alasan relativis untuk melawan dogma-dogma masa lalu. Tetapi juga tidak benar mengatakan bahwa dia mempertahankan sebuah keyakinan terhadap Weltanschauung, karena semua konsep metafisika semacam ini tidak sesuai dengan pandangankritis yang diwakili oleh tahap nihilisme (Levine, 2002:7-8).Teori bahwa masing-masing kebudayaan yang memiliki 'Pandangan Dunia'nya sendiri, ungkap Nietzsche, teori tersebut hanya produk arbitrerdari 'Pandangan Dunia' kebudayaannya. Namun demikian, Nietzsche tergantung kepada konsep Weltanschauungpada tahap awal perkembangannya; tanpa tahap ini, tidak akan berlanjut ke tahap-tahap berikutnya. Dari sudut pandang filsafat Dionysian, langkah-langkah yang dimulai dari Historisisme, Historisisme-Weltanschauunghingga Relativisme yang telah menyebabkan Nietzsche melampaui akal, moral dan kebudayaan yang sekarang tampak tidak berdaya dan bersifat arbitrer, semata-mata produk kontingen dari kebudayaan Eropa abad kesembilan belas. Namun demikian, langkah-langkahini adalah tahap menuju nihilisme aktif yang telah dicapai Nietzsche. Kemudian pemikiran Nietzsche mengarah pada kesimpulan yang tidak begitu saja membuat premis-premisnya sendiri. Nietzsche membuat klaim historis: dia menganggap bahwa penemuan Barat terhadap relativisme kultural adalah menentukan kepercayaan terhadap kebenaran objektif yang mengantarkan pada tempat pertamanya. Pola pemikiran inilah yang membuat Nietzsche menjadi seorang kritikus tangguh dan berpengaruh terhadap ilmu-ilmu humaniora modern (Levine, 2002 : 9). Di sisi lain Nietzsche mengungkapkan sebuah pengakuan terhadap nihilisme. Yang dimaksud nihilisme olehnya yakni adalah suatu peristiwa membebaskan orang-orang yang mempunyai kekuatan untuk bertindak secara kreatif meskipun mereka mengetahui bahwa tidak ada kebenaran dan kekeliruan, kebaikan dan kejahatan. Nietzsche menyebut masyarakat semacam ini Übermensch. Seperti Manusia Terakhir, Übermenschmelampaui kebudayaan, tetapi mereka mampu menggali kebudayaan sebagai suatu faedah. Misalnya, Nietzsche merasakan bahwa nihilisme telah membebaskannya dari penyempitan rasional konvensional dan memberikannya izin untuk menciptakan filsafat baru dan ahistoris yang dengan sendirinya tidak sesuai dengan temuan-temuan ahli filologi. Filsafat ini mewakili penegasan übermenschlichnya, sebuah perjuangan nihilistik secara aktif melawan nihilisme Manusia Terakhir yang pasif (Levine, 2002 : 6-7). Pengalaman membaca buku karya Schopenhauer dan buku berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seinerBedeutung in der Gegenwartkarya Friedrich Albert Lange adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektualnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner juga memberi warna terhadap pemikirannya. Wagner juga seorang pengagum Schopenhauer, sejakitu Nietzsche menggabungkan antara Wagner dengan Schopenhauer , menjadi agama barunya.Tema dasar gagasan atau filsafat Nietzsche ditemukan dalam opus magnum yang direncanakannya, yaitu Der Wille zur Macht: Versuch einer Umwertung aller Werte(The Will toPower: Attempt at a Revolution of All Values; Kehendak untuk Berkuasa: Suatu Usaha Transvaluasi Semua Nilai). Dalam buku itu, ia dengan ambisius mau mengadakan penelitian dan kritik tentang nilai. Lebih dari separuh buku ini dipakai untuk membahas nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik ini berakhir dengan apa yang disebut dengan nihilisme. Kedudukan nihilisme dalam pemikiran Nietzsche begitu penting. Apa itu nihilisme? Secara singkat dan sederhana nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia menjawab persoalan "untuk apa"? Dengan runtuhnya nilai-nilai, orang dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tak bermakna dan tak ternilai. Setelah mengajukan persoalan nihilisme, Nietzsche mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat nilai baru.Sejak awal karya-karyanya memperlihatkan minatnya pada bidang seni sebagai pengganti bidang moral yang selama ini membelenggu manusia. Belenggu yang kedua datang dari kesadaran yang berlebihan akan sejarah. Nietzsche ingin membebaskan orang dari beban moral dan beban sejarah.
Sumber : http://eprints.uny.ac.id/21530/1/Nurita%20Meliana%2007203241006.pdf, hal 37 - 47- Buatlah paper mini research pemikiran Nietzsche dari berbagai sumber, utamakan dari jurnal !
Martin Heidegger
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA
MENURUT MARTIN HEIDEGGER
Oleh: Sindung Tjahyadi[1]
Abstract
Heidegger viewed “freedom” and “transcendence”
(retrospective consciousness) as the element that determines “the way of human existence” and also the human understanding of “history” radically. Philosophy of history is the main point of Heidegger’s philosophy. It is showed by his most fundamental concept of “temporality”. Heidegger so far developed the basic characteristic of relationship of “Being” (reality) and “time” (horizon) as a dialectical relationship. Because of his “poetic” nuance, Heidegger often makes someone confused for his called for “Being” as a “person”, e.g., it as “the giver of blessing”. Heidegger brings to the “true” understanding that all philosophical inquiries start and end in the understanding of human being.
Keywords: the way of being, being, history, human being
A. Pendahuluan
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di sebuah kota kecil Messkirch (Bertens, 1981: 141). Keluarganya merupakan keluarga sederhana, dan ayahnya bekerja sebagai koster pada Gereja Katolik Santo Martinus di kota kecil tersebut. Ia menjalani sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgrau. Pada tahun 1909 ia masuk Fakultas Teologi di Universitas Freiburg, walau tidak bertahan lama. Setelah empat semester ia beralih perhatian dan mengarahkan diri kepada studi filsafat dan mengikuti kuliah tentang ilmu alam dan ilmu kemanusiaan.
Heidegger memperoleh gelar "doktor filsafat" pada tahun 1913 dengan desertasi tentang "Die Lehre vom Urteil im Psycologismus" (Ajaran tentang Putusan dalam Psikologisme). Dua tahun kemudian, ia mempertahankan "Habilitationsschrift"-nya yang berjudul "Die Kategorein und Bedeutungslehere des Duns Scotus" (Ajaran Duns Scotus tentang Kategori dan Makna), yang kemudian digubah di bawah bimbingan Rickert dan diterbitkan pada tahun 1916.
Pada Tahun 1916 pula, Edmund Husserl datang ke Freiburg untuk mengganti Henrich Rickert sebagai profesor filsafat di sana (Heidegger, 1972: 78). Kehadiran Husserl di universitas tersebut membawa berkah tersendiri bagi Heidegger, karena melalui pertemuan langsung dengan Husserl, ia dapat memahami dan menguasai benar-benar maksud dan jangkauan cara berfilsafat fenomenologi, satu hal yang telah menarik perhatiannya sejak lama. Kecerdasan Heidegger telah menarik perhatian yang akhirnya sangat dihargai oleh Husserl. Hal ini terbukti dari pengangkatan Heidegger sebagai asistennya. Husserl menaruh harapan agar di kemudian hari Heidegger akan menggantinya sebagai pemimpin fenomenologi.
Pada tahun 1923, Heidegger diundang di Marburg untuk menjadi profesor (Bochenski, 1974: 161). Di kota itu pula ia bersahabat dengan seorang teolog protestan yang ternama, Rudolf Bultmann. Pengaruh kuat Heidegger atas Bultmann setidaknya terlihat pada apa yang disebut sebagai "demitologisasi" teologi Perjanjian Baru (Spiegelberg, 1971: 272). Satu hari di musim dingin pada semester 1925-1926 datang Dekan Fakultas Filsafat untuk memintanya membuat sebuah karya tulis untuk dipublikasikan. Pada bulan Prebuari karya tulis lengkap dari "Being and Time" (asli: Sein und Zeit, yang artinya Ada dan Waktu) dipublikasikan dalam "Jahrbuch" (buku tahunan) volume kedelapan sebagai satu publikasi tersendiri (Heidegger, 1972: 80). "Jahrbuch" tersebut terbit tahun 1927 di bawah pimpinan Husserl. Tahun 1928 ia kembali ke Freiburg untuk menggantikan posisi Husserl, dan mengajar di sana sampai tahun 1946 (Bochenski, 1974: 161).
Zaman Nasional-sosialisme merupakan periode yang membawa "kegetiran" dalam hidupnya. Hal itu terjadi karena dalam beberapa lama ia terbukti "terlibat" Nazisme Hitler, terutama dengan terpilihnya dia sebagai rektor Universitas Freiburg pada masa kekuasaan Hitler. Banyak murid dan sahabatn menyesalkan keterlibatan itu. Puncak dari "kegetiran" itu adalah memburuknya hubungan Heidegger dengan Husserl, terlebih setelah keluarnya pernyataan dari Nyonya Husserl bahwa hubungan antara dua keluarga mereka terputus. Ketika Husserl sakit berat dan akhirnya meninggal, hubungan itu tetap buruk, walau sebenarnya Heidegger telah menyadari kekeliruannya yang pada akhirnya mengundurkan diri dari jabatan rektor pada tahun 1935 (Jones, 1975: 285).
Pada akhir perang, Heidegger dikenakan kerja paksa oleh pemerintah nasional-sosialis. Seusai perang ia tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah sekutu di Jerman Selatan sampai tahun 1951. Setelah itu, ia diperbolehkan memberikan beberapa kuliah dan seminar sampai tahun 1958. Hingga meninggalnya ia hidup dalam kesepian di sebuah pondok yang dibangun di Todtnauberg di daerah Schwarzwald (Hutan Hitam). Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1976 dan dikebumikan di sebelah makam orang tuanya di kota asalnya, Messkirch.
Karya Heidegger cukup banyak, baik yang berasal dari ceramah maupun kuliah. Di antaranya yang penting adalah Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Halle, 1927; Kant und das Problem der
Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika), Bonn, 1929; Was ist Metaphysik? (Apa itu Metafisika?), Bonn, 1929; Platons Lehre von der Wahrheit (Ajaran Pato tentang kebenaran), Berne, 1942; Brief Über den Humanismus (Surat tentang Kemanusiaan), Frankfurt,
1950; Einführung in die Metaphysik (Pengantar ke dalam Metafisika), Tubingen, 1953; dan beberapa karangan lain (Edward, 1967: III-464-465). Setelah tahun 1962 karya Heidegger yang dipublikasikan sedikit. Dari yang sedikit itu dapat disebut Zur Sache des Denkens, yang dalam bahasa Inggris menjadi "On Time and Being" (alih bahasa oleh: Joan Stambaugh), Tubingen, 1969. Satu tahun berikutnya terbit Phaenomenologie und Theologie (Fenomenologi dan Teologi). Ada juga usaha untuk menerbitkan secara lengkap semua karangan Heidegger seperti yang dikerjakan oleh Penerbit Klostermann di Frankfurt am Main. Seluruh edisi akan meliputi 70 jilid yang masing-masing berisi 400 halaman. Jilid pertama diterbitkan tahun 1975 dengan judul Die Grundprobleme der Phaenomenologie (Problem-problem dasar Fenomenologi) (Bertens, 1981: 146).
B. Pokok-Pokok Filsafat Heidegger
Tema pokok filsafat Heidegger adalah "ada" dari manusia (human being) yang menurutnya mempunyai tiga aspek, yakni: faktisitas (bahwa manusia telah ada-di-dalam-dunia), eksistensialitas (manusia mengambil tempat dalam dunia), dan keruntuhan (Edward, 1967: III: 459-460). Oleh Sartre konsep Heidegger tentang kesadaran eksistensial sebagai ada-dalam-dunia diambil untuk membangun filsafatnya di samping pemikiran Sartre yang lain (Lavine, 1984: 341). Heidegger juga membicarakan tematema khas eksistensialis, yaitu kecemasan dan kematian (Bertens, 1981: 148). Karena tema yang tersebut, Heidegger sering dimasukkan sebagai salah seorang eksistensialis. Heidegger tidak setuju dengan anggapan tersebut. Ini terbukti dari surat yang dia kirim kepada Prof. Jean Breaufret, dan juga pada "Sein und Zeit", dia telah mengemukakan bahwa usahanya bertujuan untuk "dengan cara baru mengajukan pertanyaan akan makna kata ada" (Bertens, 1981: 149). Heidegger agaknya tetap setia pada tujuannya, yang dibuktikan dalam karyanya yang banyak itu.
Metode yang digunakan Heidegger untuk usahanya adalah metode fenomenologi. Sekalipun tetap muncul "perdebatan" tentang posisi "metode fenomenologi Heidegger", fakta sejarah bahwa Husserl mewariskan jabatannya di Freiburg kepada Heidegger, banyak dirujuk oleh para ahli sebagai petunjuk bahwa filsafat Heidegger merupakan perkembangan yang "benar" dari fenomenologi Husserl, walau Heidegger dinilai telah menyimpang dari fenomenologi "ortodoks" (Spiegelberg, 1971: 275). Dengan metode fenomenologi, Heidegger bermaksud "membaca" struktur "Ada", "Ada" yang menampakkan diri sebagai "yang tidak bersembunyi". Bagi fenomenologi, objek kesadaran adalah fenomen dalam arti: apa yang menampakkan sejauh dalam relasi dengan kesadaran (Bakker, 1984: 112). Dengan "posisi berdiri" Heidegger yang demikian, Heidegger mendudukkan diri sebagai "pembaca" makna kata "ada" yang terdapat dalam perkembangan pemikiran tentang "ada" sejak zaman Yunani Kuno. Dengan kedudukan yang demikian pula Heidegger membaca sejarah. Berikut diulas secara singkat pokok pikiran Heidegger tentang (1) "Ada" dari manusia dalam dunia; (2) Ada dan Waktu; dan (3) Keprihatinan sebagai esensi Dasein.
1. "Ada" dari manusia dalam dunia
Dalam membeberkan pertanyaan tentang "ada", Heidegger berangkat dari "ada"-nya satu-satunya makhluk yang bertanya tentang "ada", yaitu manusia. Namun Heidegger menilai bahwa dalam merumuskan pertanyaan tentang manusia, filsafat cenderung "salah". Pertanyaan "Apa manusia itu?" meskinya diganti dengan pertanyaan "Siapa manusia itu?". Dapat terjadi demikian karena Heidegger melihat bahwa manusia pada dirinya sendiri merupakan makhluk historis, sehingga pertanyaan tentang diri manusia itu sendiri meski dirumuskan kembali (Heidegger, 1959: 121). Dengan kata lain, untuk menjawab "apa 'Ada' itu?" meski dijawab terlebih dahulu "siapa manusia itu?" Gambaran tentang hakikat manusia akan membimbing kepada sebuah pemahaman tentang "ada" dari manusia; dan satu pemahaman tentang "ada" dari manusia pada akhirnya akan membimbing kepada satu pemahaman tentang "Ada" (Jones, 1975: 294).
Terkait dengan konsep tentang "Ada", Heidegger membedakan tiga istilah ontologis. Pertama, "Being as such" atau "Ada murni" atau "Ada absoulut", yakni das Sein, yakni "ç• îvài". Kedua, ada konkret, yakni das Seiende, yakni "ç• •v". Dan ketiga, ada dari Manusia, yakni Dasein, yakni berada-di-sana (Dinkler, dalam Michalson, ed., 1956: 103). Hanya kita manusia yang mempunyai hak istimewa untuk bertanya tentang "Ada sebagaimana adanya" (Being as such) karena hanya manusia yang mampu memahami dirinya sendiri sebagai yang berhubungan dengan "Being as such". Manusia merupakan makhluk yang mampu berefleksi terhadap keberadaannya sendiri, dan persoalan tentang "ada-secara umum" merupakan satu cara berada manusia itu sendiri (Luijpen, 1960: 331). Keberadaan restropektif ini oleh Heidegger juga disebut sebagai "transendensi" (Richardson, 1974: 35).
"Ada" manusia dalam "dunia" disebut dengan "eksistensi" (Heidegger, dalam: Jones, 1975: 294). Gagasan Heidegger tentang "dunia" merupakan jabaran dari konsep "lingkungan dunia hidup"
Husserl (Jones, 1975: 293). Yang dimaksud dengan "dunia' adalah "adaan-adaan" dan "Dasein" yang lain. "Ada" dari manusia disebut juga "eksistensi" karena dalam ber-"ada"-di-dalam-dunia, Dasein harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri mengambil tempat didalam-dunia. "Adaan-adaan" pada dirinya sendiri tidak mewujudkan satu "dunia". "dasein" pun kadang-kadang dapat menjadi satu "adaan". Ini terjadi bila "Dasein" terseret oleh "adaanadaan" yang berada di luar dirinya. Kejatuhan (Verfallen, fallenness) merupakan "ketidak-otentikkan" (inauthenticity), karena manusia tenggelam dan didominasi oleh dunia (Jones, 1975: 313). Dengan kata lain, manusia yang terseret oleh "adaan" yang lain tidak bereksistensi secara sungguh-sungguh, ia tidak keluar dari dirinya sendiri dan menempatkan diri "berhadapan" dengan yang lain dalam "dunia". Eksistensi yang larut dalam yang lain adalah eksistensi semu. "To be man is to-be-in-the-world" atau Dasein (Luijpen, 1960: 19).
2. Ada dan Waktu
Setelah melihat "ada" manusia, muncul persoalan tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "Ada" itu sendiri, karena pada satu kesempatan "Ada" disebut sebagai penyebab segala sesuatu yang ada, pada sisi lain "Ada" merupakan tempat "berada"nya "Dasein" dan "das Seiende". Oleh van Peursen pemikiran Heidegger tentang "Ada" disebutnya "sukar diikuti". Dalam hal ini van Peursen menunjuk pada penjelasan yang diberikan Heidegger, bahwa "Ada" itu merupakan satu "peristiwa" yang menyebabkan beradanya segala sesuatu (van Peursen, 1980:
96).
Berkenaan dengan hal di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa yang memungkinkan pengertian akan "Ada"? Menurut Heidegger yang memungkinkan pengertian tentang "Ada" adalah waktu, yang diartikan sebagai satu horizon yang memungkinkan tiap-pengertian-tentang-"Ada" (Bertens, 1981: 149). Dengan demikian segala sesuatu yang "Ada" baru dapat dimengerti di dalam cakrawala waktu, sedangkan cakrawala waktu sebagai horizon baru nampak apabila segala yang "Ada" berdiri-di-depan horizonnya. Dengan demikian "Ada" dan "Waktu" saling berkaitan (van Peursen, 1980: 245). Hubungan "melingkar" antara "Ada" dan "Waktu" sedikit banyak identik dengan hubungan antara "filsafat" dan "praanggapan". Pada satu sisi, "filsafat" merupakan rangkuman dari praanggapan; namun pada sisi lain analisis terhadap praanggapan akan semakin menjelaskan atau membentangkan
"filsafat" (Richardson, 1974: 41-42).
Karena keterkaitan itu pula maka yang menjadi masalah dasar metafisika bukanlah "Ada" itu sendiri, ataupun "waktu" saja, melainkan relasi antara keduanya. Oleh Heidegger, korelasi antara Ada dan Waktu bukan merupakan penemuannya sendiri, tetapi ditangkap secara samar-samar dan tidak menentu dalam kenyataan bahwa pengertian pra-konseptual tentang "Ada" keluar dari semua hal yang menimbulkan metafisika. Korelasi antara "Ada" dan "waktu" ditemukan Heidegger atas dasar analisis terhadap kata Yunani "æîi •v", yang menurut Heidegger "æîi" secara tidak langsung menyatakan satu ketetapan dan stabilitas dalam waktu (Richardson, 1974: 85-86).
3. Keprihatinan sebagai Esensi Dasein
Dengan pemahaman tentang "Ada" dari Dasein di-dalamdunia dan pemahaman tentang interpretasi waktu sebagai cakrawala, kiranya dapat ditelusuri lebih jauh "hakikat" Dasein. Karena akar "filsafat sejarah" adalah "antropologi metafisis", maka dengan penelusuran terhadap "hakikat", Dasein akan sangat membantu pemaparan pandangan "spekulatif" Heidegger tentang
"sejarah".
Dari analisis terhadap struktur "Ada" yang berpijak pada kenyataan faktis yang dihadapi oleh Dasein, terdapat tiga hal asasi, yaitu kepekaan (Befindlichkeit), pemahaman (Verstehen), dan wacana (Rede) (Bochenski, 1974: 165). Dengan adanya kepekaan dalam diri Dasein, Dasein mendapatkan dirinya telah "terlempar" di situ yang diterimanya sebagai nasib (Jones, 1975: 307). Namun demikian, Dasein tidak menerima begitu saja (jawa: narima-pasif), melainkan aktif membangun kembali kemungkinannya sendiri. Hal ini terjadi karena sejak semula —yakni sejak "terlempar"—Dasein telah mempunyai "pengertian" tentang keterlemparannya, yaitu tidak bisa memilih terlempar pada tempat yang dikehendaki. Dengan adanya "kesadaran historis" tersebut Dasein lalu mulai membuka kemungkinannya sendiri dan mengusahakan supaya terealisasi. Pembukaan kemungkinan diri ini dibimbing oleh "kata hati" (conscience) (Luijpen, 1960: 341). Namun demikian dalam kenyataan sehari-hari Dasein telah dan sedang mengalami satu "kemerosotan". Ini terutama dikaitkan dengan "wacana" dalam dunia yang sangat dikuasai oleh "ilmu", yang menunjukkan bahwa dalam dialog dengan yang lain, Dasein larut dalam yang lain, dan dilepas hubungan yang sebenarnya dengan dunia (Jones, 1975: 313). Struktur "Ada" secara keseluruhan dapat disebut dengan "Keprihatinan" (concern) (Bertens, 1981: 150).
Apabila hendak dicari lebih mendalam makna
"keprihatinan", kiranya masih dapat diajukan sebuah pertanyaan, yaitu: jika "Ada" dari Dasein adalah "keprihatinan", apakah terdapat dasar pokok dari keprihatinan? Heidegger menjawab: temporalitas (Zeitlichkeit) (Richardson, 1974: 85-86). Dari segi struktural, temporalitas menduduki peranan yang sentral, karena temporalitas merupakan "proses" "Ada", yang memiliki sesuatu secara sungguhsungguh sebagai satu horizon (Richardson, 1974: 88).
C. Historisitas Dasein
"Ada" Dasein adalah telah-dan-sedang-terlempar. Dengan adanya kesadaran bahwa dia telah-dan-sedang-terlempar, Dasein membuka kemungkinannya sendiri, yang diusahakan untuk dapat direalisasikan. Dasein merupakan satu kemungkinan yang konstan dari kemungkinan menjadi diri sendiri atau tidak menjadi diri sendiri (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 104). Pergulatan dalam "keterlemparan" ini terjadi dalam "waktu". Untuk pikiran umum "waktu" adalah semacam deretan dari "sekarang" yang tidak menentu. Di dalam "sekarang" ini, waktu "lampau' berada sebagai "sekarang yang telah lewat", dan masa yang akan datang" diperbuat dalam "sekarang" juga, sebagai bakal dari "sekarang". Memang ini mengandung kebenaran, tetapi bukan ini yang dimaksud dengan "temporalitas Dasein". Dasein senyatanya adalah satu transendensi yang hadir di tengah-tengah adaan-adaan, dan secara hakiki mengendali-ke-arah-Ada (drive-towards-being) dengan pikiran, hal itu merupakan kemampuan diri sendiri (Richardson, 1974: 86).
Sebagai pengendali-ke-arah-Ada, Dasein dengan tidak hentihentinya terdapat pada "Ada" untuk diri sendiri. Kehadiran Dasein untuk dirinya sendiri ini pada dasarnya adalah "masa depan" yang datang untuk diri-yang-telah-menjadi-terlempar. Diri yang telah ada-sebagai-telah-sedang-menjadi (is-as-having-been) adalah "masa lalu". Oleh karenanya, dalam struktur transenden Dasein eksistensi tercapai dalam masa depan dari "Ada" untuk satu diri yang telahada (masa lalu), yang membawa manifestasi "Ada" dari adaanadaan yang di-"prihatinkan"-kan (masa kini). Situasi autentik yang demikian inilah yang menembus kembali dan memperlihatkan "temporalitas" sebagai pemersatu fenomen. Dengan demikian arti yang mendasar dari eksistesialia adalah masa depan (Richardson, 1974: 87). Karena temporalitas Dasein merupakan historisitas yang esensial (Richardson, 1974: 90), maka analisis tentang historisitas Dasein pada dasarnya adalah eksplisitasi dan penelitian lebih jauh tentang temporalitas berarti pula harus menguraikan secara lebih baik arti "Ada" dari Dasein sebagai "sejarah" (masa yang telah lewat).
Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya perlu dicari hal yang merupakan "warisan" Dasein. Hal yang kiranya dapat disebut sebagai "warisan" adalah "diri" ini yang-telah-dan sedang-menjaditerlempar-di-antara-adaan-adaan. Oleh Dasein, hal itu diasumsikan sebagai "warisan" yang autentik (Erbe), dan "warisan ini pula yang mengantarkan Dasein pada penemuan "satu kebebasan memilih kemampuan dari keberadaannya", yang secara imanen selalu berakhir. Namun demikian Dasein mengangkat kembali hal itu dan mencapai satu kesederhanaan eksistensial yang oleh Heidegger disebut sebagai "nasib baik" (Schicksal) (Richardson, 1974: 91). Karena pada dasarnya Dasein tidak bersifat tertutup, melainkan bersama-sama dengan Dasein yang lain, maka pada satu komunitas Dasein dapat terjadi satu "warisan bersama" dan "nasib baik umum" (Geschick) dari komunitas tersebut.
D. Dasar adanya Sejarah dan Sejarah "Ada"
Pada perkembangan pemikiran yang lebih kemudian, Heidegger mengalami "pembalikan" (reversal). Pembalikan ini erat kaitannya dengan titik pijak ia terhadap pusat perhatiannya, yaitu bahwa ia merasa bahwa analisis Dasein tidaklah cukup dan tidak lagi merupakan titik pangkal untuk membeberkan pertanyaan akan makna kata "Ada". Analisis hanya mungkin bila "Ada" itu sendiri merupakan hal "yang-tidak-tersembunyi" (Bertens, 1981: 152). Namun demikian tidak berarti titik pangkal semula ditinggalkan sama sekali.
Dengan demikian, maka dasar Heidegger dalam memandang "sejarah" sedikit mempunyai warna yang agak lain. Dasar pokok "adanya" sejarah adalah (Richardson, 1974: 247-249):
1. Dasein adalah eksistensi bebas. Kebebasan manusia sampai pada eksistensi merupakan satu proses yang memunculkan Dasein dalam hak yang lebih tinggi. Kemunculan ini dimengerti sebagai berasal dari sumber yang lebih murni, yang adalah "Ada" dalam arti dari kemunculan kebenaran.
2. Kemunculan Dasein ini ke dalam hak yang lebih tinggi, yakni: kebebasan, sebagi ek-sistensi merupakan dasar dari sejarah, karena padanya transendensi terjadi untuk pertama kalinya.
3. Kedatangan-untuk-hadir Dasein masuk ke dalam kata.
4. Kata (:Ada) terformulasikan dalam proses pemikiran beberapa subjek pengetahuan.
5. Kata sebagai pengutaraan harus ada secara ontologis "sebelumnya" untuk manusia individual, yang boleh tidak boleh menaruh perhatian padanya.
6. Yang menaruh perhatian pada kata itu (:Ada) memberi penyifatan khusus, sehingga kata tentang "Ada" mempunyai dimensi historis yang spesifik.
7. Kedatangan-ke-dalam-kata (coming-to-word) dicapai melalui pemikiran tentang "Ada". Kata (kebenaran) tentang "Ada" pada akhirnya, diutarakan oleh "Ada" dalam pemikiran. Di sini "Ada" sudah merupakan fokus primer dari seluruh perhatian. Secara jelas Heidegger menunjukkan bahwa sejarah terjadi pada dan bilamana manusia menanggapi "nasib" yang dianugerahkan oleh "Ada" (das Sein). Sejarah dengan demikian tidak lain kecuali "sejarah tentang nasib", yang pada satu sisi merupakan pemberian "Ada", namun pada sisi lain mencerminkan putusan manusia (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 112).
Seperti yang ditekuninya sejak muda, yaitu makna dari kata "Ada", maka pada akhirnya Heidegger mempunyai keyakinan tentang adanya satu "sejarah Ada" (Geschichte den Seins) yang meyangkut perbedaan ontologis (Bertens, 1981: 154). Menurut Heidegger saat ini termasuk periode "Metafisika" yang meliputi seluruh filsafat Barat dari Plato sampai pada Hegel dan Nietzsche, bahkan dinyatakan bahwa seluruh tradisi metafisik memuncak pada kedua filsuf itu dan mencapai kepenuhannya. Mengapa mulai dari Plato? Menurut Heidegger, karena baru pada saat itulah adaanadaan dipertanyakan bukan sebagai adaan individual melainkan adaan-adaan dalam totalitas mereka (Richardson, 1974: 238).
Selain itu Heidegger menunjukkan pula bahwa ciri khas dari periode "Metafisika" adalah "lupa-akan-Ada" (Bertens, 1981: 154). Dapat dikatakan demikian karena pada periode tersebut "Ada" disamakan dengan adaan-adaan. "Kelupaan-akan-Ada" ini merupakan satu cara bagaimana "sejarah Ada" berlaku bagi kita. Namun demikian. terdapat berbagai macam pengertian tentang lupa-akan-Ada, yang masing-masing bergantung pada zamannya. Pada Abad Tengah misalnya, "Ada" dianggap sebagai "ciptaan" (makhluk). Demikian pula yang terjadi dengan Abad Modern, "adaan" dianggap sebagai "objek" dari "subjek" (Bertens, 1981: 155). "Sejarah Ada" dengan demikian memiliki makna ganda, pertama, bahwa genitif "Ada" merupakan genetivus subjectivus, sebagai subjek sejarah; dan kedua, juga merupakan genetivus objekctivus, merupakan isi sejarah. "Ada" dalam "sejarah" dengan demikian merupakan subjek dan objek sekaligus (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 112).
Sebagai filsuf zaman ini, Heidegger juga diresapi cara berpikir metafisis, namun dia berusaha untuk mengerti adanya "tanda-tanda zaman" bahwa akan ada satu perubahan dalam "pengertian-tentang-Ada". Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia tidak menguasai adaan-adaan tetapi menggembalakan Ada. Manusia tidak dapat memaksa timbulnya satu periode baru (Bertens, 1981: 156). Bereaksi terhadap tanda-tanda zaman yang ditangkapnya, Heidegger bermaksud membantu persiapan tempat untuk periode yang akan datang. Namun apabila timbul periode baru, maka itu bukan karena dia, melainkan berasal dari satu rahmat dari "Ada".
E. Penutup
Seperti surat balasan yang dikirim Heidegger kepada Richardson (Richardson, 1974: xxii), adanya satu kesalahmengertian atas satu rumusan pemikiran selalu mungkin terjadi. Terlebih naskah "lengkap" Being and Time sampai makalah ini selesai disusun belum mampu didapatkan oleh penulis. Namun terlepas dari kelemahan tersebut, terdapat beberapa catatan kecil tentang pimikiran "sejarah" Heidegger.
Pertama, Heidegger memasukkan "kebebasan" dan
"transendensi" (kesadaran restropektif) sebagai unsur yang secara radikal menentukan "cara berada manusia" dan juga pemahaman manusia tentang "sejarah".
Kedua, Heidegger mengembangkan lebih jauh tentang watak dasar relasi antara "Ada" (realitas) dan "waktu" (horizon) sebagai hubungan dialektis, walau, karena kecenderungan "puitisnya", Heidegger sering membingungkan orang dengan menyebut "Ada" sebagai "pribadi", misalnya dengan menyebutnya sebagai "pemberi rahmat".
Ketiga, dapat disimpulkan bahwa filsafat sejarah merupakan unsur pokok dari seluruh bangunan filsafat Heidegger. Ini ditunjukkan dengan konsep paling dasar dari filsafatnya, yakni: temporalitas.
Keempat, Heidegger membawa pada pemahaman yang "benar" bahwa semua kajian "filsafat" bersumber dan bermuara pada pemahaman tentang manusia.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton, 1984, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta
Bertens, Kees, 1981, Filsafat Barat dalam Abad XX, jilid pertama, Gramedia, Jakarta
Bochenski, 1972, Contemporary European Philosophy (asli: Europ„ische Philosophie der Gegenwart, translated by: Donald Nocholl and Karl Aschenbrenner), University of California Press, Berkeley
Dinkler, Erich, "Martin Heidegger" dalam: Michalson, Carl, ed.,
1956, Christianity and the Existentialist, Charles
Scribner's Sons, New York
Edwards, P., ed., 1967, The Encyclopedia of PhilosophyVolume III, The Macmillan Company and The Free Press, New York
Heidegger, Martin, 1961, An Introduction to Metaphysics (asli:
Einf•hrung in die Metaphysik, translate by Ralph Manheim), Anchor Book, New York
________________, 1972, On Time and Being (asli: Zur Sache des Denkens, translate by Joan Stambuch), Harper & Row, Toronto
Jones, W.T., 1975, The Twentieth Century to Wittgenstein and Sartre, A History of Western Philosophy, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, San Diego Lavine, T Z., 1984, From Sokrates to Sartre: The Philosophic Quest, Bantam Books, New York
Leahy, Louis, 1984, Manusia sebuah misteri, Gramedia, Jakarta
Luijpen, William A., 1960, Existential Phenomenology, Diquesne University Press, Pittsburg Pa., Louvain
Richardson, William J., SJ., 1974, Heidegger, Through
Phenomenology to Thought, third edition, Martinus Nijhoff, Netherlands
Spiegelberg, Herbert, 1971, The Phenomenological Movement, A Historical Introduction, volume one, Martinus Nijhoff,
The Hague, Netherland van Peursen, C A., 1980, Orientasi di Alam Filsafat (alih bahasa:
Dick Hartoko), Gramedia, Jakarta
Buatlah paper mini research pemikiran Martin Heidegger dari berbagai sumber, utamakan dari jurnal !
Walter Benjamin
Tukan, Dua Aura Pada Karya Seni: Pembacaan Awal Konsep Aura Karya Seni Menurut Walter Benjamin. hal 121-127
DUA AURA PADA KARYA SENI:
PEMBACAAN AWAL KONSEP AURA KARYA SENI
MENURUT WALTER BENJAMIN
Berto Tukan
berto.tukan@gmail.com | ruangrupa - Jurnal Karbon
Abstrak
Pemikiran Walter Benjamin tentang “Karya Seni di Masa Kemungkinan Reproduksi Teknisnya” (“The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility” merupakan pemikirannya di periode kedua. Kemunculan “Karya Seni” berlandaskan pada dua hal yakni pertama, perubahan material dari karya seni itu sendiri dan kedua, keadaan politik Eropa di zaman itu. Dua hal ini memicu perdebatan Benjamin dengan Adorno serta mewarnai perubahan-perubahan atas tulisan itu sendiri yang terdiri dari tiga versi yang perubahannya dipicu oleh polemik dan perdebatan Benjamin dengan para koleganya kala itu serta perkembangan politik. ‘Aura’, merupakan konsep penting Benjamin dalam hal seni dan budaya. Media baru yang dibawa oleh perkembangan teknologi berkemampuan mengubah aparatus kognisi manusia persis karena ia punya kemampuan menghilangkan ‘aura’ tersebut. Aura adalah medium sehingga ia tidak melekat pada sebuah presentasi karya tertentu tetapi terletak pada ada subyek (pemirsa) dan obyek (karya seni). Aura, tidak terletak terutama pada tradisi tetapi hantu masa lalu yang terproyeksikan ke masa kini. Dengan demikian tentulah tidak serta merta karya seni reproduksi mekanis, yang menghilangkan batas-batas presentasinya yang kaku, menghilangkan unsur historis yang bisa digali dari sebuah karya seni. Disimpulkan bahwa ada dua jenis aura; katakanlah aura singular dan aura partikular.
Kata Kunci : aura, subyek, obyek, singular, partikular
Abstract
Walter Benjamin’s idea of “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility” was his second period of thought. The emergence of “Artwork” is based on two things: first, the material change of the artwork itself and secondly, the political state of Europe at the time. These two things sparked Benjamin’s debate with Adorno and colored the changes to the writing itself consisting of three versions whose changes were sparked by the polemic and debate of Benjamin with his colleagues at the time and the political development. ‘Aura’ is an important concept of Benjamin in terms of art and culture. The new media brought about by technological development is capable of altering the apparatus of human cognition precisely because it has the ability to eliminate the ‘aura’. Aura is the medium so that it is not attached to a particular presentation of the work but lies in the subject (audience) and object (artwork) Aura, is not located primarily in tradition but the ghost of the past projected into the present. Thus surely not necessarily a mechanical reproduction art, which removes the limits of rigid presentation, removes the historical elements that can be extracted from a work of art. It is concluded that there are two types of auras; a
singular aura and a particular aura.
Keywords : aura, subject, object, singular, particular
PENDAHULUAN
“Karya Seni di Masa Kemungkinan Reproduksi Teknisnya” (“The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility”—selanjutnya disebut “Karya Seni” saja) termasuk karya Benjamin periode kedua. Pemikiran Walter Benjamin sendiri kerap dibagi dalam dua periode. Terkhusus untuk pemikiran seputar kebudayaan dan estetika, dua periode ini terbagi menjadi dua yaitu pertama, sastra romantik Jerman dengan penekanan pada metafisika dan kedua, teknologi dan bentuk- bentuk seni baru dengan penekanan pada marxisme. Setelah 1920-an, Benjamin banyak menaruh perhatian pada media modern (modern media) yang mencakup media massa yang ber hubungan dengan persepsi manusia, teknik display baru yang berhubungan dengan komoditi kapitalistik masyarakat urban dan juga media artistik seperti film, lukisan, fotografi. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan kedekatan Benjamin dengan seniman avant-garde Prancis dan Soviet yang berdatangan di Berlin pada dekade 1920-an serta perkenalannya dengan Marxisme via karya Gregory Lukas dan persahabatannya dengan
Institut Penelitian Sosial Frankfurt. Pada era ini juga Benjamin terlibat dalam grup Seniman G yang berk onsentrasi pada perbincangan seputar bentuk teknologi baru dan praktik industri yang membuka kemungkinan baru dalam produksi kebudayaan (Jennings dlm Benjamin, 2008:1-6).
Pada “Karya Seni” dan juga beberapa tulisan lain di periode kedua ini Benjamin berkonsen trasi pada dua pertanyaan berikut: pertama kapasitas karya seni sebagai penyimpan informasi tentang periode s ejarah dari masa tertentu dan kedua genre-genre karya seni dalam hubungannya dengan media modern. Kedua hal ini, menurut Benjamin, berdampak pada perubahan aparatus sensor manusia. Ketertarikan Benjamin terhadap seni dan perubahan teknologi (media modern) ini tidak membuatnya jatuh pada penganut determinisme teknologis. Di dalam “The Author as Producer” ia menyatakan bahwa t endensi politik karya seni bukan pertama-tama terletak pada bentuk karya seni itu. Dengan demikian, tidak serta merta teknologi tertentu membuat sebuah karya seni punya tendensi politik tertentu pula (Jennings dlm Benjamin, 2008, 13-15).
PEMBAHASAN
Sekelumit Tentang “Karya Seni”
“Karya Seni” sebenarnya muncul sebagai tangg apan Walter Benjamin atas dua hal. Pertama, ke munculan fotografi dan film, sebagai contoh dari teknologi reproduksi mekanis, sebagai b entuk media baru seni di zaman itu. Kedua, kemunc ulan fasisme yang menurut Benjamin menggunakan dengan sungguh- sungguh teknologi baru dalam seni untuk mencapai tujuan-tujuan politik nya. Jadi bisa dikatakan bahwa kemunculan “Karya Seni” berlandaskan pada dua hal yakni pertama, perubahan material dari karya seni itu sendiri dan kedua, keadaan politik Eropa di zaman itu. Dua hal inilah yang nantinya memicu perdebatan Benjamin dengan Adorno serta mewarnai perubahan- perubahan—“Karya Seni” terdiri dari tiga versi—atas tulisan itu sendiri.
Ada tiga versi dari “Karya Seni” yang perubahan dari satu versi ke versi yang lainnya dipicu oleh polemik dan perdebatan Benjamin dengan para koleganya kala itu serta perkembangan politik. “Karya Seni” ditulis Benjamin dalam masa pelarian di Prancis lantaran Jerman sudah tidak lagi kondusif untuk intelektual Yahudi seperti dirinya. Kala itu memang Partai Nazi sedang “berkuasa-berkuasanya” di Jerman dan propaganda Anti Semitisme dari Hitler sudah mulai gencar dijalankan. Versi kedua “Karya Seni” diselesaikan Benjamin pada 1936 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Pierre Klossowski. Versi kedua ini memicu perdebatan antara Adorno dan Benjamin. Adorno menyerang posisi emansipasi seni serta posisi marxisme Benjamin yang lebih dekat dengan Bertolt Brecht (Bloch, dkk, 1980: 110-140).
Dipicu oleh perdebatan tersebut serta kek ece waan atas kebijakan suntingan redaktur jurnal Zeitschrift für Sozialforschung—jurnal milik Institut Penelitian Sosial Frankfurt—Benjamin menulis versi ketiga “Karya Seni” dengan penekanan pada teori Marx serta apresiasi yang positif pada posisi estetik Bertolt Brecht. Penyuntingan yang dilakukan oleh redaktur Zeitschrift für Sozialforschung bertujuan untuk menjaga jurnal tersebut dari debat politik dan lebih berkonsentrasi pada debat saintifik (Leslie, 2000: 130-132).
Seorang komentator Benjamin, Paulo Domenech Oneto, melihat “Karya Seni” sebagai tulisan berbentuk pamflet. Hal ini lantaran, menurut Oneto, “Karya Seni” merupakan tanggapan atas penggunaan estetika oleh fasisme yang mana sudah mulai muncul pada manifesto kaum Futuris Italia sebelum Perang Dunia II. Kelompok ini, antara lain, menyatakan bahwa perang merupakan seni yang paling paripurna. Benjamin, menurut Oneto, juga tetap menekankan pertama, otonomi dari seniman dan kedua, bagaimana teknik seni yang cocok untuk membangunkan kritisisme pada pemirsanya. Seni fotografi dan film tidak revolusioner pada diri nya. Yang terpenting pada fotografi dan film adalah kemungkinannya untuk menghilangkan ‘aura’ ( Oneto, 2003: 5-4).
Futuris Italia memang punya antusiasme yang tinggi pada teknologi. Kelompok ini sangat tergila-gila dengan bisingnya putaran mesin dan kecepatan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi kala itu. Hal tersebut tampak dalam “Manifesto Futuristime” yang ditulis oleh Fillipo Tommaso Marinetti:
Dunia yang mentereng kini diperkaya dengan keindahan yang baru. Mobil balap...ibarat naga dengan napas yang menderu-deru... Kita berdiri di tepi semenanjung abad! Apa gunanya menoleh ke belakang...? Ruang waktu sudah mati ... di mana-mana kita sudah menciptakan kecepatan abadi. Tahun Futuris melahirkan Moralitas-agama kecepatan... Energi manusia yang berlipat ganda akan menguasai Waktu dan Ruang (Supelli, 2013: 3).
Antusiasime pada teknologi dari kaum futuris ini bahkan membuat mereka tak mempermasalahkan perihal perang dan senjata-senjata termutakhir yang dimungkinkan oleh teknologi. Kaum ini bahkan melihat penghancuran museum, historisisme, dan hal-hal dari masa lalu sebagai sesuatu yang patut dimaklumi. Seni bagi mereka perlu dibangun dari nol dengan landasan teknologi (Supelli, 2013: 3-4). Sekelumit Tentang Aura
‘Aura’, seperti yang sudah dibicarakan sekilas di atas, merupakan konsep penting Benjamin dalam hal seni dan budaya. Hilangnya ‘aura’ sebagaimana yang digambarkannya di dalam “Karya Seni” adalah juga penghancuran atas tradisi. Media baru yang dibawa oleh perkembangan teknologi berkemampuan mengubah aparatus kognisi manusia persis karena ia punya kemampuan menghilangkan ‘aura’ tersebut. Aura ini di gambarkan Benjamin sebagai: A strange tissue of space and time: the unique apparation of a distance.... To follow with the eye—while resting on a summer afternoon—a mountain range on the horizon or a branch that casts is shadow on the beholder is to breathe the aura of those mountanins, of that branch” (Benjamin, 2008: 23).
atau versi terjemahan bebasnya sebagai berikut: Sebuah jaringan aneh ruang dan waktu: penampakan unik kejauhan... Mengikuti dengan mata—saat beristirahat pada sore hari musim panas—pegunungan pada horison atau ranting pohon yang melemparkan bayangan pada yang melihatnya adalah untuk menghirup aura dari pegunungan itu, dari cabang itu.
Dari penggambaran ini maka aura itu adalah kesan yang timbul ketika manusia berhadapan dengan sebuah fenomena tertentu; kesan yang timbul itu adalah sebuah kesan yang unik dan aneh.
Untuk menggambarkan bagaimana unsur aura tik karya seni bisa bekerja, berikut akan saya gambarkan dalam pengalaman seseorang yang menyaksikan lukisan bertajuk Guernica dari Pablo Picasso. Sang penikmat lukisannya bisa merasa tergetar lantaran yang ada di dalam kepalanya adalah ‘klaim-klaim’ tentang sejarah lukisan tersebut, hubungannya dengan Perang Sipil Spanyol, serta bagaimana Guerrnica (Gambar 1) menghiasi pavil ium Republik Spanyol di Expo Paris 1937. R ussell Martin, seorang sarjana sejarah seni, berkat pen ge tahuan sejarah seninya dapat berkomentar demikian ketika menyaksikan lukisan tersebut:
Saya terpukau pula oleh kualitas tiga dimensional yang tak pernah tampak dalam reproduksinya;....oleh gerak menakjubkan bulu tengkuk kuda yang tersentak oleh gurat-gurat tubuhnya yang seakan menjumlah korban tewas di Gernika. Dan saya tergetar oleh gambargambar itu dalam suatu cara yang membuat saya terpaku sekaligus tergerak oleh kepastian emotif bahwa lukisan monumental ini dengan sempurna menggemakan zaman nya yang tragis (Martin, 2015: 217).
Gambar 1: Guernica karya Pablo Picasso sumber: http://www.museoreinasofia.es/
Aura karya seni kerapnya dibangun di atas klaim akan sejarah karya tersebut, kejeniusan sang seniman nya, cara dan ruang presentasi karya tersebut, serta mitos-mitos lain yang terbangun di sekitar karya tersebut. Lebih jauh, kerapnya klaim tersebut berasal dari pemilik tradisi; dari kelas penguasa yang paling berkepentingan dengan klaim tersebut. Dengan cara itu mereka melestarikan posisi mereka. Seorang Martin bisa menikmati, bahkan hingga terharu di hadapan Guernica, hanya karena ia mempelajari sejarah seni. Sedangkan bagi mereka yang tidak berkesempatan untuk itu, belum tentu bisa begitu terharu dan mampu menikmati Guernica sebagaimana Martin menikmatinya.
Hal ini tampak dari pengakuan seorang Spanyol akan pandangan anak-anaknya terhadap Guernica itu:
Mereka pelajari Guernica di sekolah dan ya, mereka paham bahwa ini lukisan sejarah yang penting. Tapi bagi mereka, sifatnya tidak emosional, tidak bermakna secara mendalam. Bagiku, sedikit menyedihkan bahwa anak-anakku tidak bisa memandangnya sebagai bukti bahwa Spanyol telah menjalani transisi luar biasa (Martin, 2015:215).
Dari kutipan ini kita melihat bahwa bagi seorang tua Spanyol yang mengalami masa-masa Perang Sipil Spanyol, Guernica menjadi penting. Sedangkan untuk Russell Martin, seorang pakar sejarah seni dari Amerika yang tidak punya pengalaman langsung sebagaimana orang-orang tua Spanyol, Guernica adalah sebuah karya yang begitu adiluhung sebagaimana kutipan pernyataannya di atas. Sedangkan bagi anak-anak Spanyol yang hanya mendapatkan sejarah perihal Guernica di sekolah biasa, menganggap karya itu biasa-biasa saja.
Itu berarti, lukisan Guernica ini menjadi penting untuk mereka yang benar-benar memahaminya dalam konteks sejarahnya dan sejarah seninya dan yang hidup di dalam dunia seni itu dengan serius. Namun hal itu tidak tampak pada mereka yang tidak berada di dalam hal yang sama. Aura karya seni yang demikian itu menurut Benjamin sangat mungkin dihancurkan dengan munculnya bentuk baru karya seni akibat adanya teknologi r eproduksi mekanis, aura karya seni yang d emikian sangat mungkin untuk dihancurkan (Benjamin, 2008: 2324).
“Karya Seni” merupakan eksplorasi yang radikal dan pergumulan teoretis akan permasalah hubungan antara teknologi, media dan aparatus sensorik manusia. Teknologi sebagai esensinya dan aparatus sensorik manusia serta bentuk karya seni itu bertopang di atas basis teknologi ini. Dengan demikian—menggunakan perspektif Marxisme bahwa basis (penopang) mengkondisikan suprastruktur (yang bertopang)—bisa dikatakan bahwa perubahan pada teknologi mengubah dua hal yang bertopang di atasnya itu. Di dalam “Karya Seni” dengan demikian tampaklah pada kita bahwa Benjamin menunjukkan essensi, serta potensi politis dan epistemologis dari karya seni yang dimungkinkan oleh teknologi baru reproduksi.
Memeriksa Lebih Lanjut Aura
Sebelum muncul pada “Karya Seni”, konsep aura sebenarnya kerap muncul di dalam tulisan-tulisan Benjamin yang tidak semuanya membicarakan perihal karya seni; terkadang tidak secara langsung disebut dengan aura (Hansen, 2012: 106) Meski pun demikian, kerapnya perbincangan perihal aura di dalam pemikiran Benjamin dilekatkan hanya pada perbincangan perihal karya seni. Hal ini akan kerap kita temukan di dalam tulisan dari banyak komentator Benjamin. Miriam Bratu Hansen punya pendapat yang cukup berbeda tentang ini. Hansen merujuk pada tulisan Benjamin perihal pengalamannya menghisap ganja. Demikian tulis Benjamin:
“Everything I said on the subject [the nature of aura] was directed polemically against the theosophists, whose inexperience and ignorance I find highly repugnant… First, genuine aura appears in all things, not just in certain kinds of things, as people imagine.” (Miriam Bratu Hansen, “Benjamin’s Aura”, Critical Inquiry 34 (Winter 2008), hlm. 336)
atau terjemahan bebasnya sebagai berikut: Segala yang kukatakan tentang subyek [sifat aura] secara langsung merupakan polemik melawan para teosofi yang tak berpengalaman dan kebodohannya menjijikkan…Pertama, aura yang asli muncul dalam segala hal, bukan dalam hal-hal tertentu saja, sebagaimana yang dibayangkan orang-orang.
Pada kutipan di atas, jelaslah bahwa menurut Benjamin, aura muncul pada segala hal dan bukan hanya pada beberapa hal tertentu. Dengan demikian, t entu saja aura tidak muncul pada karya seni s emata. Menurut Hansen, kenyataan literer ini menyangkal banyak pemahaman tentang aura dari Benjamin yang sekadar melihatnya sebagai sebuah kategori estetika semata. Yang dimaksud dengan aura pada pemahaman seperti itu adalah aura sebagai sebuah kualitas tertentu pada seni tradisional yang kemungkinan akan menghilang pada era modern.
Lebih jauh, jika melihat sejarah perkembangan atau sejarah kemunculan konsep aura di dalam tulisantulisan Benjamin, kira-kira ada tiga pemahaman umum perihal aura ini. Dari ketiga definisi itu tidak ditemukan secara langsung bahwa aura merupakan kategori dari seni semata. Dua pemahaman cukup mirip satu dengan yang lainnya sedangkan satunya lagi agak berbeda. Dua pemahaman yang mirip tersebut, yang disarikan di bawah ini. muncul pada tulisan-tulisan yang lebih belakangan:
Aura dipahami sebagai “sebuah jaringan aneh ruang dan waktu: penampakan unik kejauhan, betapapun dekatnya ia (atau “betapap un dekat benda yang memanggilnya ke luar”); dan (2) aura dipahami sebagai bentuk persepsi yang “menanamkan” atau sokon gan fenomena dengan “kemampuan untuk melihat kembali kepada kita,” untuk membuka matanya atau “mengangkat tatapannya”. (Hansen, 2008: 339)
Selain kedua pemahaman tersebut, ada pula pemahaman lain yakni aura sebagai substansi fenomena yang sukar dipahami, eter, atau halo yang mengelilingi seseorang atau sebuah obyek persepsi yang membungkus keindividualan dan keotentikan m ereka (Hansen, 2008: 340). Inilah pemahaman Benjamin perihal aura yang muncul pertama kali di dalam tulisannya Ganja di Merseille dan nanti nya akan lebih terstruktur muncul pada Sejarah Kecil Fotografi.
Di dalam Sejarah Kecil Fotografi tersebut, Benjamin membahas aura dari mantel Schelling. Aura mantel tersebut bukan muncul dari “keunikan” material—desainnya, warnanya, dan lain-lain— tetapi muncul dari hubungan yang kuat secara fisik dengan yang mengenakannya. Dengan demikian bisa dikatakan hal penting di dalam konsep aura adalah adanya unsur jejak (trace). Aura yang demikian ini dibahasakan Benjamin sebagai ‘aura dari kebiasaan’ (aura of the habitual) yang dipahami sebagai “…pengalaman yang menorehkan dirinya selama mung kin secara repetitif” (Hansen, 2008: 340). Isi atau konten aura ini bukan sekadar kontinuitas, melainkan hantu masa lalu yang hadir dalam proyeksi masa kini dan ‘melukai’ yang melihatnya. Demikian Hansen, “…dimensi indeksikal hubungan aura pada masa lalu belum tentu perihal kontinuitas atau tradisi; lebih kerapnya, ia merupakan hantu masa lalu yang penampakannya terproyeksikan ke masa kini dan “melukai” yang melihatnya” (Hansen, 2012: 107).
Dari penjelasan Hansen ini, tampaklah bahwa pada Benjamin, aura begitu dekatnya dengan sejarah. Sebab, bagi Benjamin, tulisnya dalam Tesis VI “On the Concept of History”, makna masa lalu secara historis bukanlah mengenalinya “sebagaimana ia adanya”, melainkan “merampas ingatan yang seakan berkedip di saat bahaya”. Ilustrasi perihal aura sebagai jejak yang dengan demikian bertalian erat dengan pemahaman Benjamin perihal sejarah tampak pada pembahasannya akan potret dari Karl Dauthendey, Self Potrait with Fiancee. Kekasih Dauthendey di dalam foto ini (Gambar 2) di kemudian hari bunuh diri dengan memotong urat nadinya sendiri setelah melahirkan anak ketujuh mereka. Benjamin melihat potret ini dan baginya dari potret ini sudah tampak aura sebagai ramalan akan bencana yang akan datang di kemudian hari.
Hansen lantas menyimpulkan bahwa aura bukanlah properti yang inheren pada subyek atau pun obyek. Aura adalah medium dari persepsi atau struktur tertentu dari penglihatan (Hansen, 2008: 342). Demikian lengkapnya Hansen sembari mengutip Benjamin:
…aura sendiri merupakan medium yang mendefinisikan kehadiran manusia. “Ada aura
Gambar 2: Self Portrait with Fiancee karya Karl Dauthendey sumber:https://i.pinimg.com/originals/c9/68/2f/ c9682f1acca0952d30eadadc6d0ff8f5.jpg
tentang mereka, medium yang meminjamkan kepenuhan dan kenyamanan untuk tatapan mereka dan karenanya mempenetrasi medium tersebut”… Dengan kata lain, aura menyiratkan struktur fenomenal yang memungkinkan manifestasi dari tatapan, yang tak terhindarkan dan terputus-putus, dan membentuk kemungkinan maknanya. (Hansen, 2008: 342)
SIMPULAN
Aura adalah medium perantara. Ada hal lain di luar aura itu sendiri yang memungkinkan aura itu ada. Sejarah misalnya atau sesuatu pada potret yang ‘menghadirkan’ manusia yang lantas mengejawantahkan jejak-jejak mereka pada yang melihat mereka. Jejak-jejak tersebut ‘ter sampaikan’ melalui medium aura.
Jika aura adalah medium dan urusannya adalah persepsi serta dialektika antara obyek yang ditatap dengan subyek yang ditatap dan sebaliknya, apakah masih bisa diterima bahwa aura karya seni hilang pada era teknologi reproduksi mekanis atas karya seni itu? Pasalnya, jika aura adalah medium maka ia tidak melekat pada sebuah presentasi karya tertentu tetapi terletak pada ada subyek (pemirsa) dan obyek (karya seni). Lebih lagi, aura, sebagaimana kita lihat sebelumnya, tidak terletak terutama pada tradisi tetapi hantu masa lalu yang terproyeksikan ke masa kini. Dengan demikian tentulah tidak serta merta karya seni reproduksi mekanis, yang menghilangkan batas-batas presentasinya yang kaku, menghilangkan unsur historis yang bisa digali dari sebuah karya seni.
Pertanyaan lebih lanjutnya kemudian apakah ada dua jenis aura yang berbeda di dalam pemikiran Walter Benjamin; mengapa Benjamin seperti ambigu ketika membicarakan aura? Bagi saya elaborasi lebih lanjut pada pertanyaan-pertanyaan di muka sangat mungkin sampai pada kesimpulan bahwa ada dua jenis aura; katakanlah aura singular dan aura partikular.
RUJUKAN
Benjamin, Walter, Brigid Doherty, Michael William. Jennings, Edmund Jephcott, and Thomas Y. Levin. 2008. Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility, and Other Writings on Media. Harvard University Press: Massachusetts.
Bloch, Ernst, and Fredric Jameson. 1980. Aesthetics and Politics. Verso: London & New York.
Hansen, Miriam Bratu. “Benjamin’s Aura.” Critical Inquiry 34, no. 2 (01 2008): 336-75.
doi:10.1086/529060.
Hansen, Miriam. 2012. Cinema and Experience: Siegfried Kracauer, Walter Benjamin, and Theodor W. Adorno. University of California Press: California.
Leslie, Esther. 2000. Walter Benjamin: Overpowering Conformism. Pluto: London.
Martin, Russell. 2015. Perang Picasso: Hancurn ya Sebuah Kota dan Lahirnya Sebuah Mahakarya. Penerjemah: Ronny Agustinus. Atmamedia: Tangerang.
Supelli, Karlina. 2013. Suara Jernih Dari Cikini: Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta: Jakarta.
Buatlah paper mini research pemikiran Walter Benjamin dari berbagai sumber, utamakan dari jurnal !
Pemikiran J.P Lyotard tentang seni dan keindahan
Estetika berkembang melalui serangkaian proses panjang dari estetika klasik, estetika modern sampai kepada estetika postmodern. Nyoman Kutha Ratna memberikan ulasan perkembangan itu dalam karyanya Estetika Sastra Dan Budaya (2007). Estetika postmodern ditandai dengan pementingan kembali pembaca. Jika estetika klasik menekankan dimensi mimesis (sastra sebagai cerminan realitas) dan estetika modern menekankan dimensi subyek kreator, maka estetika postmodern menekankan kebebasan, kemerdekaan, dan kreativitas pembaca atau penikmat karya sastra.
Pemusatan terhadap dimensi pembaca itu tidak lepas dari semangat postmodernisme, sebagai respon terhadap modernisme. Postmodernisme, menurut Ratna (2007: 94-96), menghilangkan batas-batas dan hierarki budaya populer dan budaya elit, juga budaya massa dan budaya elit serta pergeseran dari kedalaman menuju ke permukaan dan permainan. Kualitas estetis karya sastra ditentukan semata oleh tanda sebagai sistem komunikasi. Estetika postmodern terwujud secara intelektual dalam poststrukturalisme karena berbagai pemikiran postmodern secara umum berkisar pada hilangnya konteks stabil dan universal bagi teks dalam budaya postmodern (Lindsay, 1991: 33).
Postmodernisme dan poststrukturalisme di sini hampir tidak terbedakan, sebagaimana dikemukakan pula oleh Madan Sarup dan George Ritzer. Sarup menekankan banyaknya persamaan antara postmodernisme dan poststrukturalisme sehingga tidak mudah untuk membuat pembedaan di antara keduanya. Semangat postmodernisme adalah kritik terhadap modernisme, yang ditandai oleh 1) pengembangan ilmu yang obyektif, 2) moralitas dan hukum universal, dan 3) seni yang otonom yang menjadikan budaya modern didomimasi oleh prinsip ketidakterbatasan pengungkapan diri dan tuntutan pengalaman diri yang otentik (Sarup 1993: 143-144).
Sementara Hal senada dikemukakan oleh Ritzer. Ritzer mengungkapkan bahwa tidak mudah untuk menarik batas jelas antara poststrukturalisme dan postmodernisme karena postmodernisme bisa dipandang sebagai perluasan dan pembesaran terhadap poststrukturalisme (Ritzer 1996: 469). Postmodernisme perlu dipahami melalui modernisme dengan menempatkannya sebagai antitesis kecenderungan modernisme. Kecenderungan modernitas, menurut tokoh-tokoh yang dikutip oleh Ritzer, adalah ekonomi kapitalis (Marx), ekspansi rasionalitas formal (Weber), dan solidaritas organik yang diikuti oleh pelemahan kesadaran kolektif dan krisis moralitas umum (Durkheim).
Ritzer mengemukakan tiga cara untuk memahami isu modernitas, yaitu hiperasionalitas, McDonalisasi, dan Amerikanisasi. Hiperasionalitas adalah penguatan eran rasionalitas formal, yaitu rasionalitas yang membentuk pentingnya struktur birokrasi yang membatasi orang untuk bertindak sesuai dengan cara yang rasional untuk mencapai tujuan. Hiperasionalitas mengandung empat dimensi, yaitu efisiensi, prediktabilitas, penekanan pada kuantitas, dan penggantian teknologi manusia oleh teknologi nonmanusia. Sistem rasional ini menekankan kepada jumlah dibandingkan kualitas.
McDonalisasi mengandung pengertian makanan cepat saji yang merepresentasikan berlakunya paradigma rasionalitas formal. McDonalisasi sebagai perwujudan birokrasi moden yang menekankan kepada kuantitas dibandingkan kualitas dan penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin. Rasionalisasi dalam proses di warung cepat saji melahirkan ancaman dehumanisasi dan demistifikasi.
Amerikanisasi, yaitu sebagai kelanjutan proses McDonalisasi. Amerikanisasi mengacu kepada representasi paradigma rasionalitas formal, yaitu suatu birokrasi. Amerikanisasi adalah pusat dari modernitas dan terlibat dalam ekspor modernitas ke penjuru dunia (Ritzer 1996: 440-444).
Akibat modernisme adalah institusionalisasi ilmu pengetahuan, moral, dan seni. Semua domain tersebut kemudian menjadi otonom dan terpisah dari dunia nyata. Semua domain itu berada dalam kontrol para ahli di bidangnya (Sarup 1993: 143). Seni modern disebut Peter L. Berger sebagai seni borjuis, yaitu seni yang terlepas dari praxis kehidupan, dan menjadi medan pakar individual, akibat adanya pembagian kerja. Lahirlah kemudian estetisisme, yang menjadikan seni identik dengan isi itu sendiri.
Poststrukturalisme dan postmodernisme merupakan respon atas modernisme dan strukturalisme. Di Eropa, Era Pencerahan melahirkan disintegrasi masyarakat. Modernisasi dicurigai sebagai perjalanan menuju disintegrasi total. Modernitas dengan segala agen, ilmu, dan teknologinya, dipandang sebagai restorasi totaliterianisme, meskipun di negara-negara berkembang modernisasi dipandang sebagai jalan keselamatan. Pemikiran Barat kontemporer melahirkan dua posisi, yaitu yang pertama mendukung modernitas sebagai tujuan universal masyarakat dan, sebaliknya, yang kedua meninggalkan modernitas (Hardiman, 2003: 150-151).
Postmodernisme dan poststrukturalisme berada pada posisi kedua. Derrida dan Foucault berupaya untuk membongkar kuasa dan kebenaran tunggal. Derrida melakukan dekonstruksi terhadap bahasa dan pranata sosial. Ia menegaskan bahwa bahasa tidaklah stabil dan teratur akibat konteks yang berbeda-beda sehingga bahasa tidak mungkin bisa mengungkung manusia. Ia menentang logosentrisme, yaitu pencarian sistem berpikir universal mengenai baik, indah, dan benar, yang mendominasi dunia Barat. Derrida menawarkan decentering, yaitu pemindahan teater dari pusatnya (penulis dan otoritas) kepada aktor untuk memainkan peran lebih bebas. Ia menolak center yang ia pandang mematikan permainan dan perbedaan. Baginya, tidak ada jawaban tunggal karena jawaban tunggal merusak dan memperbudak.
Pendekatan Derrida tersebut dikenal dengan sebutan dekonstruksi. Pembacaan dekonstruksi dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembalikan oposisi biner dan penyingkiran pemikiran yang didekte oleh oposisi biner. Decentering di atas adalah perwujudan dari pembalikan oposisi biner. Pemikiran berlandas oposisi biner selalu mengasumsikan pertentangan dua hal dan memberikan penekanan atau prioritas atas salah satunya sebagai pusat atau center. Sebaliknya, decentering justru membalik cencer menjadi peripheral dan peripheral menjadi center. Setelah proses pertama berhasil, selanjurnya adalah menyingkirkan oposisi biner sehingga tidak ada lagi pemikiran yang berlandas oposisi biner (Hardiman, 2015: 279-280).
Foucault melakukan analisis terhadap sistem yang membentuk kekuasaan dan penindasan. Sistem tersebut lahir dari disiplin dan penguasaan manusia oleh manusia lainnya. Bagi Foucault semua sistem penindasan dan kontrol tersebut lahir dari kuasa pengetahuan, yang melahirkan infrsatruktur penilaian dan hukuman terhadap hal-hal yang dipandang tidak normal. Minat besar Foucault adalah menemukan arkeologi pengetahuan atau arkeologi pembentukan diskursus. Arkeologi pengetahuan adalah pendekatan untuk menelisik aparat kelembagaan yang dibentuk untuk menormalkan subyektivitas dan untuk melakukan analisis historisitas kelembagaan itu berhadapan dengan penggalian aturan-aturan dalam produksi wacana. Foucault sendiri mencurigai bahwa struktur ekonomi-politik masih menjadi faktor dalam jejaring hermeneutik (Chaput, 2009: 93).
Dari kalangan Postmodernis muncul Jeans-Francois Lyotard. Lyotard mengumandangkan perang melawan totalitas dan narasi tunggal dan, sebaliknya, mendorong perbedaan. Ia menyukai narasi kecil dan lokal, dibandingkan grand-narasi. Dalam gagasan kaum postmodernis dan postrukturalis, gagasan ide absolut (Hegel) atau determinisme sejarah (Marx) dikecam sebagai akar dari totaliterian dan kontrol terhadap kebebasan individu. Oleh karena itu, Lyotard menolak metafisika tradisional, yang mengasumsikan gagasan stabil dan absolut mengenai realitas. Melalui penelahan mencari kesenangan (libidinal) dan instink kematian, ia berusaha untuk membuka topeng metafisika tradisional yang ia sebut sebagai teatrikal. Wacana filsafat, ilmu, dan teori beroperasi menurut teatrikalitas tersebut, dengan mengklaim kebenaran, namun nyatanya hanya mengikuti sekenario libidinalnya saja (Lindsay, 1991: 35-36).
Dalam bidang estetika, postrukturalisme menolak diri yang otentik dan identitas pribadi dalam karya sastra. Estetika postmodernisme dibangun di atas gagasan bahwa tidak ada kebenaran tunggal (sehingga tidak mungkin lahir klaim kebenaran), adanya heterogenitas permainan bahasa, dan penolakan terhadap pertanyaan etik dan politik dari realitas kebenaran dan kepalsuan. Karena tidak ada pusat dari kebenaran dan keindahan, maka keindahan adalah milik pembaca. Pembacaan adalah proses kreatif dan produktif yang unik. Tidak ada pembacaan yang paling benar karena tidak ada pusat kebenaran maupun otoritas dalam keindahan.
Pengarang boleh menjadi peletak tanda bahasa dalam karya sastra, namun makna tanda bahasa itu bukan lagi milik pengarang atau hak istimewa otoritas sastra mana pun. Semuanya hak pembacaan adalah milik pembaca, yang akan membaca sastra sesuai dengan kekhasan masing-masing. Pembacalah yang melakukan produksi terhadap makna dan keindahan karya sastra itu. Setelah karya sastra diterbitkan, pengarang pun mati, demikian pula kuasa yang mengungkung kebebasan pembaca untuk memperoleh keindahan menurut versinya masing-masing.
Namun estetika postmodern memiliki kelemahan-kelemahan. Pertama, penolakan terhadap stabilitas acuan dan konteks sastra akan menghasilkan individualisme sebagaimana individualiasme akibat modernisasi yang dikritik oleh postmodernisme itu sendiri. Kedua, bacaan postmodern akan menghasilkan krisis moral, sebagaimana perubahan yang terjadi akibat modernisasi. Krisis moral yang ditimbulkan oleh postmodernisme bisa lebih parah karena acuan standar bagi pengetahuan dan norma itu dinihilkan, sedangkan dalam masyarakat klasik atau modern acuan itu ada. Ketiga, prostmodernisme dengan kecurigaan besar terhadap dorongan libidinal dan kekuasaan atas semua wacana, akan menghilangkan kepercayaan dan keyakinan terhadap kebajikan yang menjadi etos estetika klasik, bahkan dalam individualisme estetika modern.
Semua kelemahan itu menunjukkan bahwa estetika postmodern menolak kepastian demi kebebasan, namun kebebasan itu sendiri tampak utopis jika dasarnya adalah semata pembongkaran, tanpa konstruksi ulang. Estetika postmodern akan menggiring anarkisme pengetahuan dan acuan tindakan. Sebagai satu penghayatan dan perenungan sastrawi yang terjadi pada level individu, pembacaan postmodern memberikan sudut pandang yang membebaskan. Namun ketika penghayatan itu diletakkan dalam konteks penciptaan konsensus dan pembentukan nilai dasar, maka postmodernisme bukan jawaban yang menjanjikan.
Daftar Pustaka
Chaput, Catherine. 2009. “Regimes of Truth, Disciplined Bodies, Secured Population: an Overview of Michael Foucault.” Science Fiction Film and Television Vol. 2 (1): p. 91-104
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami Hermeneutik, dari Scheilermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius
Lindsay, Cecile. 1991. “Lyotard and The Prostmodern Body.” L’Esprit Creature, Vol. 31 (1) Spring: pp. 33-47
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Sarup, Madan. 1993. An Introduction Guide to Post-Structuralisme and Postmodernism. New York: Harvester Wheatsheaf
Buatlah rangkuman pemikiran J.P. Lyotard tentang seni dan keindahan!
(Bisa ditambah dari artikel jurnal lainnya guna menambah pemahaman)
Garis Besar Pemikiran Derrida Tentang Seni
JAQUES DERRIDA : TEORI DEKONSTRUKSI
PENDAHULUAN
Jika dilihat dari periodesasi perkembangan sejarah filsafat Ada tiga babakan dalam filsafat yang umum, yaitu filsafat pada masa Yunani kuno yang didominasi oleh rasionalisme, abad tengah didominasi agama Kristen dan filsafat abad modern didominasi oleh rasionalisme. Ketika itu sudah ada muncul jenis filsafat baru yaitu disebut sebagai filsafat kontemporer (contemporary philosophy). Periode keempat ini disebut filsafat pasca modern (postmodern philosophy), juga dikenal dengan sebutan filsafat postmo. Problematika dunia filsafat kontemporer sering dikatakan masuk dalam era postmodern meliputi beberapa persoalan besar seperti klaim bahwa bahwa filasafat telah berakhir, rasionalitas tunggal universal tunggal tidak mungkin lagi dan epistimologi tidak perlu lagi.[1] Lahirnya berbagai gerakan filsafat era postmodern ini dipicu dari ketidak mampuan narasi besar sains dan sistem kapitalisme yang bertahan sejak diinspirasikan oleh Descrates dan mampu membawa manusia pada kemajuan teknologi yang mengancam.[2] Sebagai gambaran atas problematika hasil pemikiran filsafat modern pertama pandangan dualistiknya yang memandang keseluruhan subjek dan objek, spiritual dan material manusia dan dunia mengakibatkan ekspoitasi kekayaan alam atas pemenuhan kebutuhan individu golongan bahkan bangsa. Kedua pandangan dualistik dan positivistik akhirnya menjadikan manusia sebagai objek dan masyarakat dijadikan sebagai mesin ketiga moderenisasi ilmuilmu menjadi standarisasi tertinggi kebenaran. Ke empat materialism yang melahirkan persaingan bebas dan kelima militerisme Dan bangkitnya tribalisme.[3] Demikian beberapa konsekwensi negative dari hasil pemikiran modern yang oleh Bambang Sugiarto[4] memicu gerakan filsafat kontemporer atau postmodern yang ia klasifikasikan mejadi 3 katagori aliran filsafat kontemporer. Pertama pemikiran yang cenderung merevisi filsafat modern kearah pramodern mereka dikenal dengan sebutan filosof metafisika new age. Mereka muncul diwilayah fisika baru dengan sebutan “holism”. Beberapa tokohnya diantaranya F. Capra, J. Lovelock, Garry Zukav, Prigogin dll. Kedua segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme dengan tidak menolak secara total moderenisme itu sendiri, ia hanya merubah premis-premis modern. misalnya mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri melainkan sains hanya merupakan sebuah ideologi dimana kebenaran ilmiahlah dianggap yang paling sohih. Salah satu kelompok yang terkuat dalam dalam mengengembangkan gerakakn ini adalah A.N Whietehead diikuti oleh David Ray Grifin, J.Cobbnya, Jr. David Bohm dll. Ketiga pemikiran-pemikiran yang terikat pada dunia sastra dan banyak yang membahas persoalan linguistik dimana kelompok ini memperkenalkan pemikirannya dengan kata kunci dekonstruksi. Pada awalnya strategi dekonstruksi ini untuk mencegah totaliterisme pada segala sistem namun akhirnya jatuh kedalam relativisme dan nihilism, beberapa tokoh pengusung dekonstruski ini adalah Derrida, Focoult, Vatimo, lyotard dll. Melihat dari kecenderungan perkembangan gerakan filsafat diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dimana sebenarnya filsafat rasionalitas kontemporer barat dan kemana arah pemikiran filsafat kontemporer ?.Dalam makalah ini penulis tertarik untuk mengkaji filsafat kontemporer lebih dekat lagi dengan salah satu tokohnya yakni Jaques Derrida.
SEKILAS BIOGRAFI DERRIDA
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tangggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah kePerancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia mengajar di École Normale Supérieure diParis. Orang tuanya yang bernama Aimé Derrida dan Georgette Sultana Esther Safar, menikah pada tahun 1923 dan pindah ke St.Agustinus di Aljazair pada tahun 1925. Pada tahun yang sama Rene Derrida (anak Aimé dan Georgette) lahir dan empat tahun kemudian Paul Derrida (adik Rene) lahir. Namun tiga bulan kemudian Paul meninggal. Pada tahun 1930 Jackie Derrida lahir. Di kemudian hari ia menyebut dirinya “Jacques”.Sepanjang hidupnya ia curiga bahwa ia hanya menjadi pengganti atau pelengkap ketiadaan Paul, kakaknya. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker.[5] Sedangkan latarbelakang pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Buku pertama Derrida adalah menerjemahkan karya Husserl yang berjudul The Origin of Geometry. Di dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology, Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pemikiran Saussuremengenai definisi bahasa. Ia mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Logosentrisme dan fonosentrisme adalah paham yang berusaha dikritik Derrida. Menurutnya kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan.[6] Pada tahun 1987 Derrida mengeluarkan kumpulan esainya dalam teks yang berjudul Pshyche. Dasar dari risalat ini adalah untuk menyatakan seberapa besar kemungkinan untuk membicarakan (yang Lain). Menurut Derrida, sikap yang tepat terhadap (yang Lain) adalah menunggu, menginginkan, dan bersiap bagi masa depan, yaitu dari mana (yang lain) itu berasal (Yang Lain) tidak berasal dari masa kini. Untuk menjelaskan mengenai sikap menunggu dan bersiap, Derrida kembali mengutip dari tulisan sebelumnya yang berjudul structure dan Sign and Play. (Yang Lain) itu datang sebagai bencana, tidak peduli baik atau buruk, kedatangannya akan terlalu asing untuk dihasilkan oleh realita.[7]
SEKILAS PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT
Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu. Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun yang paling menonjol diantaranya ada tiga aliran : Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang. Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan postsrukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis. Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau). Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya. Tipologi kedua, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan. Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentahmentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya. Tipologi ketiga, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini. Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi alKitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf poststrukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.
ISU KONTEMPORER FILSAFAT BARAT
Dalam tulisanya Bambang Sugiharto membahas tiga persoalan besar yang dihadapi filsafat kontemporer yaitu isu tentang berakhirnya Filsafat, pluralisme dalam hal rasionalitas dan permainan bahasa dan kematian epistimologi.[8] Persoalan pertama dalam filsafat tentang berakhirnya filsafat atau matinya filsafat dalam pandangan Derrida bertolak dari ketidak mampuan filsafat dalam menjelaskan persoalan sain dan ilmu pengetahuan. Teori dekonstruki yang dipopulerkan oleh Derrida pada awalnya istilah tersebut digunakan oleh Heidegger ketika ia berkata bahwa , …Konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi yaitu dekonstruksi konsep-konsep traditional dengan cara yaitu kembali ke tradisi…”.[9] Menurut Sugiharto dekonstruksi biasanya dirumuskan sebagai cara atau metode membaca teks unsur terpenting dari kerangka filosofis yang oleh beliau dipahami sebagai cara atau metode membaca secara dekontruktuf.[10] Pemahaman tersebut sejalan dengan teori dekontruktif Derrida dari sebuah karyanya Margin of Philosophy yang mengatakan bahwa “ dibalik teks filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tak jelas”.[11] Dalam karya yang lain “positions” secara skematik teori dekonstruksi Derrida terdiri dari 3 langkah, pertama mengidentifikasi hierraki oposisi dalam teks yang biasanya terdapat peristilahan yang diistimewakan secara sistematik. Kedua oposisi-oposisi tersebut dibalik dengan menunjukan adanya saling ketergantungan diantara yang saling berlawanan itu sekaligus mengusulkan privilese secara terbalik. Ketiga memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang tidak bisa dimasukan dalam katagori lama.[12] Sampai disini nampak bahwa menurut pemahaman Derrida bahwa persoalan Filsafat selalu berkaitan dengan dengan suatu sistem metafor ini terungkap dari perkataannya, “bila saja orang bisa mereduksi segala metaphor kedalam metafor “pokok” maka tak akan ada lagi metafor benar selain metafor pokok itu sendiri”.[13] Namun dalam pandangan Richard Rorty gagasan Derrida tentang pemilahan tersebut mirip dengan pemilahan hubungan inferensial antar kalimat di satu pihak dan asosiasi non inferensial antara kata dipihak lain. Yang pertama meletakan kunci makna pada kalimat, sedangkan yang ke dua meletakannya pada satuan kata.[14] Permasalahan yang menajdi isu filsafat kontemporer yang berupaya mencari argumentatif yang mampu mencari syarat-syarat mendasar dari sebuah pemikiran akhirnya bertumpu pada paradox dan merupakan sebuah tantangan dalam filsafat itu sendiri. Kedua persoalan yang menjadi focus dari kajian filasafat Derrida tentang rasionalitas dan pluralism. Pernyataan tentang berkhirnya filsafat pada gilirannya mengandaikan kritik mendasar atas konsep tentang rasionalitas itu sendiri zaman Imanuel Kant. Rasionalitas kekinian cenderung dianggap amat terkait dengan bahasa.Rasionalitas kini tidak bersifat mutlak dan universal melainkan bersiafat sementara dan konvensional.[15] Pluralitas permainan bahasa dan bentuk kehidupan (budaya) diangap sebagai landasan titik berangkat pemikiran post modern. keadaan seperti ini sebagaimana pandangan Lyotard tentang moderenisme adalah tendensi untuk melegitimasikan tiap bentuk pengetahuan melalui meta wacana atau narasi besar seperti kemajuan, kebebasan akal, emansifasi. Post modernism sebaliknya menyarankan untuk kembali kepada pragmatika bahasa ala Wittgenstein yakni dengan mengakui bahwa kini kita hidup dalam berbagai permainan bahasa yang sulit berkomunikasi secara adil dan bebas.[16] Namun demikian sekalipun antara Rorty dan Lyotard sama dalam memahami pluralistik bahasa sebagai problem filsafat namun keduanya bebeda dalam memberikan pemaknaannya, dalam hal ini bagi Lyotar prinsip dasar yang berlaku bukanlah universalitas akal atau kesepakatan namun justru kebutuhan untuk memongkar kesepakan-kesepakatan yang telah mapan (narasi besar) untuk memberikan penghargaan terhadap narasi kecil (lokal) untuk tampil dalam percaturan bahasa. Namun bagi Rorty sekalipun mempunyai kesamaan ingin melepaskan diri dari narai besar atau meta-wacana namun perbedaan budaya dan bahasa tidak ditempatkan dalam ruang antagonistik dan tidak terjembatani.[17] Namun sampai sini ia pun belum mampu memberikan secara jelas bagaimana secara jelas permainan bahasa tersebut dapat melahirkan universalitas bahasa. Ketiga pernyataan filsafat kontemporer tentang tumbangnya efistimology dalam mengetahui hakikat pengetahuan pada dasarnya berangkat dari kritik atas rasionalitas dan keterukuran (commensurability) yang menempatkan keterbatasan manusia yang ditempatkan sebagai subjek dalam hubungannya dengan dunia yang membawa konsekwensi tentang Kebenaran. [18] Kritik terhadap konsep efistimologi sebagai kebenaran yang diistilahkan oleh Rorty sebagai fondasinalisme akhirnya jatuh pada pragmatism yakni memandang bahwa kebenaran adalah hanyalah sebuah nama untuk ciri yang dimiliki oleh semua pernyataan yang benar.[19] Jadi dalam pandangannya kebenaran adalah sebuah alat pengesahan bagi keyakinan yang terbukti berguna dan tidak membutuhkan pengesahan yang lain. Lain halnya dengan Heideggerian yang menyatakan bahwa kebenaran bukan sesuatu konsep yang sesuai dan kenyataan obyektif melainkan tersingkapnya Sang Ada (lichtung der sein) yaitu peristiwa dimana hakikat segala sesuatu itu muncul tiba-tiba muncul menampilkan diri dan itulah kebenaran[20] Bagi Merleau-Ponty kebenaran bukan kenyataan sesuatuatu yang benar-benar terjadi namun lebih dipahami sebagai kemasukakalan (reasonableness) segala upaya untuk mencari kesepakatan melalui dialog yang bebas.[21] Berbeda dengan Heidegger Dan Merleau-Ponty, Michel Foucault melihat sisi lain dari kebenaran sebagai kekuasan. Baginya kebenaran itu pada dasarnya selalu terkait rumit dengan keinginan dan kekuasaan.[22] Kekuasaan adalah suatu jaraingan atau medan hubungan-hubungan dimana subjek merupakan produk sekaligus agen kekuasaan. Dari penolakan terhadap efistimologi modern tersebut melahirkan berbagai macam pandangan tentang kebenaran ada yang melihat kebenaran sebagai pragmatism sesuatu kebaikan aktual yang memungkinkan aktualisasi yang lebih baik lagi, ada yang secara hermeunetik yakni tersingkapnya makna terdalam dari realitas atau sebagai jaringan kekuasaan .
JAQUES DERRIDA DAN TEORI DEKONSTRUKSI
Dari beberara diskursus diatas nampaknya kajian filsafat kontemporer banyak tertarik pada tema-tema bahasa seperti semilogi, strukturalisme, post strukturalisme, filsafat bahasa seharihari, teori speech-act atau hermenetika, dimana seratus tahun yang lalu kunci dari kajian filsafat tidak terlepas dari akal, roh, pengalaman dan kesadaran.[23] Secara perlahan-lahan bahasa berkembang menjadi tema sentral dapat dilihat dari tematis logis (bukan historis kronologis). Pertama pada masa Frege, Husserl, Wittgenstein dan Carnap bahasa meminjam istilah Derrida dijadikan sebgai logosentris yakni dimensi-dimensi dasar bahasa diangap hanya tampil dalam fungsi-fungsi logisnya misalnya dalam penilaian (baik dan buruk), pernyataan (salah –benar) dan representasi (etika politik sebagai tanggung jawab). Kedua dalam tahun 50-han Wittgenstein memunculkan filsafat bahasa sehari-hari (Speech-Act). Ketiga filsafat yang terpengaruh oleh perkembangan di luar filsafat itu sendiri yaitu diwilayah susastera dan kritik teks, bahasa dilihat dari nilai instrintiknya dikaji ulang hakikat dan fungsinya.[24] Dari kajian tematik ketiga ini yang diperkenalkan oleh Heidegger, Derrida dan Ricoeur menjadi kajian yang banyak menarik perhatian untuk mengkaji filsafat kontemporer pada mulanya berpokus pada logika kemudian pada kehidupan dan akhirnya pada susastera dan bidang metafor.[25] Dari Heideggerl-ah kemudian Derrida terinspirasi untuk menarik metafor sebagai kajian filsafat kontemporer ke titik radikalnya yaitu mendestabilisaskan segala bentuk skema katagori dan konseptual dengan menggali segala bentuk permaianan dan pemilahan yang tersembunyi dibalik teks.[26] Dalam salah satu essaynya “White Mythologi dan “Retrait Of Metaphor” Derrida tidak mengaitkan bahasa pada “Ada” seperti halnya Heiddegger melainkan pada permainan perbedaan. Permainan ini seallu ada dalam setiap teks karena menurutnya setiap teks senantiasa dibangun dalam permaian perbedaan.[27] Lebih jauh Derrida menyatakan metafor adalah konsep metafisik yaitu perbedaan antara yang literal dengan yang metaforis bersandar pada sebuah anggapan bahwa pada dasarnya terdapat arti baku bagi setiap kata dan terdapat perbedaan antara yang indrawi dan non indrawi. Jika metafor ini terkait erat dengan metafisika maka untuk mendekonstruksikannya kita harus menghancurkan anggapan metafor itu dari metafisikanya sendiri maka yang rasional menurutnya adalah transpormasi diri penulisan filsafat itu sendiri.[28] Didalam essaynya “White Mythology” Derrida memperlihatkan bahwa metafor sebetulnya dibentuk oleh keseluruhan jaringan konsep dan assosiasi yang digunakan dalam wacana. Heidegger mensyaratkan bahwa kita senantiasa tinggal dalam bahasa tetapi Derrida sebaliknya bahwa kita senantiasa bergerak dalam bahasa yang tidak stabil, karena menurutnya baik metafor atau bukan metafor akhirnya hanya merupakan pasangan-pasangan lawan kata secara semantik.[29] Sedangkan dalam “The Retrait of Metaphor”, Derrida menafsirkan gagasan Heidegger tentang Metafor yang mengartikan membaca teks dengan menangkap arti teks dengan teks lainnya dan seterusnya menanarik semua teks tersebut kearah istilah kunci.[30] Konsep pemaknaan ini terkena Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya,dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksiadalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.[31] Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti “untuk menunda”-sinonim dengan kata mendekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama,dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi. Dalam teori dekonstruksinya Derrida menunjukkan kelemahan dari ucapan untuk mengungungkapkan makna dengan menggunakan kata difference dengan kata differance berasal dari kata difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu [32] 1. to differ– untuk membedakan, atau tidak sama sifat dasarnya; 2. differe (Latin)– untuk menyebarkan, mengedarkan; 3. to defer– untuk menunda. Dalam pengucapannya tidak terdengar perbedaan tetapi perbedaan pemakaian huruf ‘a’ untuk mengganti huruf ‘e’ hanya terlihat dalam tulisan. Ini dilakukan Derrida untuk menunjukkan peleburan makna dari tiga pengertian dalam kata difference yang tidak dapat dilakukan olehlogosentrisme dan fonosentrisme. Melalui tulisan terjadi otonomisasi teks.Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas Menurut Derrida bahasa bersumber pada teks atau “Tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan tidak hanya terdapat dalam pikiran manusia, tetapi konkret di atas halaman.Tulisan memenuhi dirinya sendiri karena Tulisan terlepas dari penulisnya begitu ia berada di ruang halaman. Ketika dibaca, Tulisan langsung terbuka untuk dipahami oleh pembacanya. Demikianlah Derrida menempatkan kajian bahasa pada titik yang lebih radikal yang menurut dimana menurut Sugiharto menghantarkan pemahaman kita pada suatu pemahaman bahasa yang pada akhirnya hanya sebagai teori transcendental tentang hakikat tekstualitas. Sedangkan dari kubu pragmatism yang memandang persoalan metafor diwakili oleh Rorty sebagai pseudo problem alias persoalan palsu yakni hanya persoalan verbal belaka.[33] Namun demikian nampaknya teori dekontruksi yang ditawarkan Derrida layak juga ditempatkan pada suatu tempat yang memberikan jalan alternative dari pengembaraan filsafat ataupun suatu keterkungkungan rasionalitas bahkan kepastian efistimologi sekalipun dengan menampilkan keagungan bahasa yang mencari makna tedalamnya dengan caranya sendiri.
KESIMPULAN
Memahami tiga isu kontemporer dalam dunia filsafat barat nampaknya problem yang terpenting yang dihadapi filsafat barat adalah ketidakmampuan rasionalitas manusia dalam menjabarkan problemnya sendiri dari keterbatasan bahasa konseptual dan logika faktual yang tak biasa di jabarkan melalui bahasa literal maupun metaforis oleh sebab itu konsep dekonstruksi Derrida nampaknya hanya dapat membantu memberikan pengungkapan tabir kematian filsafat, kearifan rasionalitas serta ketegangan efistimologi.
---------------
Sumber : http://eprints.dinus.ac.id/14393/1/[Materi]_JAQUES_DERRIDA_-_TEORI_DEKONSTRUKSI.pdf
[1] Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, hlm, 18 [2] Ibid, hlm 29 [3] Ibid, hlm, 30 [4] Ibid., [5] http//wikipedia,. com [6] Ibid [7] ibid [8] Bambang, hlm 43 [9] Ibid [10] Ibid., hlm, 44 [11] Ibid.hlm , 45 [12] Ibid, hlm , 46 [13] Ibid [14] Bambang Sugiarto, 49-50 [15] Ibid, hlm, 58 [16] ibid [17] Ibid, hlm 59 [18] Ibid, hlm 67 [19] Ibid, hlm 74 [20] Ibid, hlm 75 [21] Ibid, hlm 76 [22] Ibid [23] Ibid, hlm, 80 [24] Ibid, hlm, 81 [25] ibid [26] Ibid, hlm, 83 [27] Ibid, hlm, 131 [28] Ibid, hlm, 132 [29] Ibid, hlm, 132 [30] Ibid,. [31] http//wikipedia,. com
[32] ibid
[33] Bambang Sugiharto, hlm 133,
- Buatlah ringkasan pokok-pokok pemikiran Derrida terkait seni !
Ujian Akhir Semester
Buatlah mini research tentang kajian konsep / pemikiran 3 orang tokoh ( bisa memilih Schopenhauwer, Nietzsche, Martin Heidegger, Walter Benjamin, J.P Lyotard, Derrida) terkait dengan seni.
Paper diserahkan / Submit dengan batas akhir Rabu, 11 Januari 2023 jam 17.00 WIB.