Skripsi Pengkajian Seni

Skripsi di bidang seni mempunyai dua buah standar, yaitu standar skripsi bagi mahasiswa yang mengambil jalur akademik atau jalur teori yang berisi berbagai kajian seni dengan berbagai pendekatan, dan standar skripsi untuk mahasiswa jalur penciptaan atau jalur praktek yang berisi pelaporan penelitian tugas akhir atau proyek akhir. Masing-masing jalur mempunyai tata cara penelitian dan pendekatan yang khas.

Skripsi bagi mahasiswa jalur akademik berisi berbagai kajian, seperti kajian sosial, kajian budaya, kajian antardisiplin, kajian sejarah seni, kajian antropologi budaya, kajian estetika, kajian semiotika, kajian transformasi budaya, dan lain-lain, sedangkan skripsi bagi mahasiswa jalur penciptaan seni penekanannya pada pelaporan penelitian dari karya-karya seni atau desain yang telah dibuat.

Sejalan dengan paradigma pendidikan seni baru yang lebih menekankan pada kurikulum berbasis kompetensi, maka standar penulisan skripsi bidang seni lebih menekankan pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan pendidikan tinggi seni meliputi penguasaan kemampuan dasar yang paling utama (core competencies), yaitu suatu kemampuan memahami dinamika kehidupan sosial-budaya dan kemampuan serta wawasan profesional untuk menanggapi serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada berbagai bidang kehidupan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa lulusan pendidikan tinggi seni tersebut harus dapat menjadi tenaga profesional yang mampu memberikan konstribusinya kepada berbagai bidang kehidupan, seperti di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka juga harus disiapkan untuk mampu bekerja mandiri, menciptakan lapangan kerja, baik bagi dirinya maupun bagi komunitasnya dalam berbagai skala; mampu melihat potensi dan peluang yang tersedia; serta mampu dan berani berkiprah di berbagai tingkatan wilayah (lokal, nasional, regional, internasional) tanpa harus tercabut dari akar budayanya. (lihat Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni di Indonesia, 2004 : 18)

Seni dapat dikategorikan sebagai ekspresi individual dan sekaligus ekspresi kultural yang berlandaskan pada latar sosial budaya yang khas. Seni di Indonesia lahir dalam konteks ragam latar sosial budaya yang plural dan multikultural. Pendidikan tinggi seni diharapkan menjadi wadah pengkajian, pengembangan, dan pelestarian seni Indonesia secara berimbang dan terus-menerus, baik dalam tataran praksis maupun epistemologis.

Obyek penelitian seni sangat luas, melingkupi berbagai bidang keilmuan antara lain: sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, metalurgi, dan lain-lain serta memiliki domain kegiatan yang hampir tidak terbatas, mencakup hampir semua karya kreatif manusia dan pemikirannya, kesemuanya dapat dijadikan obyek penelitian seni. (lihat Pirkko Anttila dalam Sachari, 2005 : 27) Secara garis besar penelitian seni dapat dikategorikan menjadi 2 bagian, pertama penelitian dengan pendekatan ekstraestetik, yaitu pendekatan yang meneliti faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan pendidikan dari seniman (penyaji, produsen) atau penikmat seni (user, konsumen, penonton). Berikutnya penelitian dengan pendekatan intraestetik, yaitu meneliti faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni, seperti unsur struktur, bentuk, dimensi, dan perwajahan. Gambaran obyek penelitian seni dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa karya seni terlibat dalam hubungan dengan seniman atau produsen sebagai penghasil sebuah kreasi, dan hubungan dengan pemakai seni / user sebagai apresian atau pengguna produk. Proses kreasi dan apresiasi tidak terlepas dari latar belakang seniman sebagai pencipta karya, dan pemakai seni sebagai penikmat karya. Latar belakang pencipta dan pengguna karya tidak lepas dari nilai-nilai religi, pengetahuan, bahasa, teknologi, ekonomi, sistem sosial budaya, dan lain-lain yang mempengaruhi proses kreasi dan apresiasi yang sering disebut faktor ekstraestetik.

Karya seni / desain sering disebut sebagai faktor intraestetik merupakan wujud karya yang terkait dengan struktur karya, bentuk, bahan, dimensi, dan perwajahan. Pada karya seni terap (desain), faktor intraestetik berhubungan dengan faktor ekstraestetik dengan mempertimbangkan segi kemasan, pasar, mode, promosi, selera, ergonomi, ekologi, komparatif, dan kompetitif.

Peluang penelitian di bidang seni masih terbuka sangat luas, karena bisa mengkaji sosok seniman atau desainer dengan pendekatan sosial budaya, sejarah seni, psikologi, ekonomi, teknologi, dan lain-lain; atau mengkaji pemakai seni (user) mengenai selera seni, gaya hidup, promosi, kemasan, dan lain-lain. Wujud karya seni juga merupakan bahan kajian yang tidak ada habis-habisnya yang mengkaji karya seni dari sudut bahan, struktur, bentuk, dimensi, perwajahan, dan lain-lain.

II. SKRIPSI JALUR AKADEMIS (Teori)

Pada saat sekarang ada kecenderungan penelitian bidang seni yang menggunakan model kajian antardisiplin, karena pemahaman terhadap seni yang hanya bertumpu pada satu perspektif tampaknya sudah dirasakan tidak memuaskan banyak orang. Pendekatan antardisiplin tersebut dapat terdiri dari pendekatan sosial budaya dan sejarah untuk mengkaji faktor ekstraestetik atau faktor-faktor yang melatar belakangi, nilai, pengetahuan, keyakinan dan lingkungan yang turut mempengaruhi penciptaan karya seni. Pendekatan sosial budaya dalam penelitian sering juga disebut dengan istilah pendekatan sinkronik atau penampang lintang. Pandangan ini mengidentifikasikan situasi pada saat itu, atau ketika kejadian itu ditemukan. Sinkronik berarti berdampingan dalam satu waktu. Pendekatan semacam ini sering dipakai oleh ilmu-ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi. (lihat Rohidi, 1993) Pendekatan estetika, dan semiotika dimaksudkan sebagai konsep yang digunakan untuk menganalisis objek kajian secara nyata yang menunjuk kepada wujud fisik karya seni sebagai bentuk ekspresi atau sering disebut faktor intraestetik.

Implikasi metodologis dari pendekatan antardisiplin ini bersifat emik, artinya penjelasan dilakukan dengan menggunakan cara pandang masyarakat yang bersangkutan sebagai subyek penelitian, karena itu sifatnya relatif. Kebenaran dipahami dan diukur oleh logika masyarakat pendukungnya, dan secara etik dikerangkai atau dibingkai oleh model berpikir dengan pendekatan antardisiplin. (lihat Harris, 1970 ; Rohidi, 2000) Hal ini dimaksudkan untuk eliminasi atau netralisasi bias yang menimbulkan kesenjangan di pihak peneliti. Karena inferensi harus dituangkan dalam suatu bentuk yang dapat dipahami oleh orang lain, maka peneliti menggunakan kategori pemikiran yang berpijak pada pendekatan etik untuk pembanding.

Penelitian antardisiplin ini bersifat kualitatif, meskipun pada beberapa bagian menggunakan data kuantitatif yang diperlakukan sebagai fakta-fakta atau bukti (evidence). Penjelasan dilakukan secara mendalam (thick description) mengenai gejala dan hubungan di antaranya. Penjajian data dan penjelasan keseluruhan hasil penelitian dilakukan secara deskriptif dan holistik dengan penarikan kesimpulan menyeluruh secara interpretatif. (lihat J.P. Goetz & M.D. LeCompte, 1984 ; Rohidi, 2000)

Terkait dengan standar penulisan skripsi di bidang seni, maka skripsi yang dibuat oleh mahasiswa seni yang mengambil jalur akademis sedikitnya harus memuat bab Pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, metode penelitian, pelaksanaan penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan atau pembahasan.

Berikutnya beberapa buah bab yang jumlah dan isi bab disesuaikan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Pada bab-bab ini juga dapat diintegrasikan dengan pembahasan masalah dan analisa. Bab terakhir adalah bab Penutup yang berisi kesimpulan penelitian dan saran-saran.

Contoh topik yang dapat digunakan dalam kajian seni yang sangat luas dan kompleks antara lain yang bertemakan sosial budaya, seperti kajian terhadap konsep pelestarian budaya nasional, kajian identitas budaya, kajian pengaruh budaya barat, kajian perubahan budaya, potensi budaya, industri budaya, keterasingan budaya, dan lain-lain. Bertemakan lingkungan, contohnya kajian produk daur ulang, pemanfaatan limbah kertas, kajian desain berwawasan lingkungan, penggunaan material alami dalam karya seni, kajian alat pengolah limbah, dan lain-lain. Tema estetik meliputi kajian bahasa rupa yang ditinjau dari semantik, semiotik, simbolik, dan pragmatik. Kajian eksperimen bentuk yang mencakup penstrukturan baru, komposisi baru, pengembangan proporsi, dan keseimbangan. Pengembangan penggayaan yang meliputi styling produk, varian, modifikasi rupa, rengga, dan lain-lain. (lihat dan bandingkan Sachari, 2005 ; Rohidi, 2000; Gustami, 2000)

Kesemua contoh topik penelitian di atas dapat dilakukan dengan pengkajian antardisiplin atau multidisiplin. Pengertian multidisiplin di sini merupakan suatu kajian karya seni yang dilakukan oleh beberapa disiplin ilmu pengetahuan antara lain sosiologi, antropologi, psikologi, estetika, dan sejarah. Masing-masing disiplin ilmu menggunakan teori, konsep, dan metode penelitian sendiri-sendiri sesuai kaidah yang berlaku. Hasilnya adalah cara pandang yang berbeda terhadap karya seni yang dikaji sesuai dengan pandangan disiplin ilmu tersebut. Cara pandang yang berbeda ini pada satu sisi dapat memperkaya obyek kajian seni secara komprehensif.

Pengertian antardisiplin adalah suatu pengkajian karya seni yang dilakukan dengan menggunakan sejumlah konsep dan teori dari disiplin ilmu lain, misalnya sosiologi, antropologi, psikologi, estetika, dan sejarah dengan pertimbangan penggunaan konsep dan teori dari disiplin ilmu lain tersebut dianggap berguna atau relevan dalam upaya memahami masalah kesenian yang bersifat kompleks. Pengambilalihan teori dan konsep tersebut disusun dalam suatu model yang memandu atau menjadi landasan metodologis dalam pelaksanaan penelitian, sehingga dapat menjadi body of knowledge kajian antardisiplin dengan paradigma baru.