Metode Penelitian Sejarah: dari Riset hingga Penulisan, Penulis : Wasino dan Endah Sri Hartatik

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tua usianya. Sebagai sebuah ilmu, sejarah tidak hanya hanya menjadi tradisi masyarakat Barat, tetapi juga masyarakat Timur, termasuk Indonesia. Tradisi sejarah tersebut melahirkan kesan umum tentang “Sejarah” dalam suatu masyarakat. Dalam kasus Indonseia, tradisi sejarah umumnya berlangsung di kalangan elite, kalangan penguasa yang umumnya menulis sejarah sebagai kisah perjalanan politik. Tradisi penulisan sejarah itu di dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan nama “babad”, di kebudayaan Minang dikenal dengan nama “tambo”, di kebudayaan Melayu di dikenal dengan nama “syajarah”, dan lain sebagainya. Tradisi kesejarahan tersebut kemudian bersinergi dengan konsep sejarah dari dunia Barat setelah masuknya penjajahan Belanda. Sejarah dipahami sebagai sebuah sejarah politik yang didasarkan pada sumbersumber tertulis yang dapat dilacak otentisitas dan kredibilitasnya. Pengaruh pemikiran positivistik van Ranke telah melahirkan tradisi pemikiran sejarah bahwa masa lampau adalah realitas politik yang benarbenar terjadi apa adanya (Barnes,1963:245-253) Warisan tradisi kesejarahan dunia “Timur” dan dunia “Barat” tersebut melahirkan kesan tentang sejarah dalam masyarajat Indonesia. Di kalangan awam, sejarah adalah sebuah realitas yang kebenarannya harus pasti. Berdasarkan asumsi ini, maka ketika kerjadi perbedaan pendapat tentang sebuah fakta sejarah tertentu terutama yang terkait dengan sejarah politik, seperti Serangan Umum 1 maret 1949, Peristiwa 30 September1965 di Indonesia, Supersemar, dan semacamnya orang cenderung mengatakan bahwa telah terjadi penyelewengan sejarah. Oleh sebab itu ada usaha-usaha meluruskan sejarah. Bagian ini akan membicarakan tentang hal-hal mendasar tentang apa itu sejarah, bagaimana masa lampau sampai ke tangan orang sekarang, dan sebagainya.

Pengertian Sejarah

Secara harfiah, “Sejarah” berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti pohon. Terkait dengan ini muncul istilah “syajarah an-nasab” yang berarti pohon silsilah (Kuntowijoyo,1999:1; R Moh. Ali, 2005). Memang dalam benak sebagian masyarakat, sejarah dimaknai juga sebagai suatu silsilah. Akan tetapi, pengertian yang terkandung dalam sejarah sesungguhnya diadopsi dari kata bahasa Yunani “Istoria”, yang merupakan kata asal dari bahasa Latin “Historia”, bahasa Perancis “histoire” dan bahasa Inggris “history” yang mulanya berarti: pencarian, penyelidikan, penelitian (inquiry, investigation, research). Dari istilah orang-orang Yunani memberikan arti tambahan pada arti kata itu, ialah suatu catatan atau cerita dari hasil-hasil pencarian itu. Dalam bahasa Jerman untuk istilah “sejarah” adalah “geschichte”, yang berasal dari kata kerja “geshchehen” yang berarti “terjadi” (to be happen), bukan berarti pencarian (inquiry) atau sasaran/objek dari pencarian tersebut, melainkan masa lampau (history as past actually). Pengertian yang pada saat ini diterima secara umum, kata Sejarah (history) berarti salah satu dari tiga hal berikut ini: (1) pencarian (inquiry); (2) sasaran-sasaran/objek dari pencarian tersebut; dan (3) catatan dari hasil-hasil pencarian tersebut. Berdasarkan pengertian itu, maka sejarah mengandung arti: kejadian-kejadian yang dibuat manusia atau yang memengaruhi manusia; perubahan atau kejadian yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya. Perbuatan menyejarah adalah perbuatan yang mempunyai arti yang lebih dari pada biasanya sehingga patut mendapat tempat di dalam sejarah sebagai catatan peristiwa. Sejarah juga berarti seluruh totalitas dari pengalaman manusia dimasa lampau. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengertian sejarah adalah: 

1. fakta-fakta atau kejadian-kejadian itu adalah hasil dari kemauan bebas manusia (manusia mempunyai kemauan bebas); kemerdekaan dari kemauan manusia adalah pengertian dasar dari sejarah; 

2. kejadian-kejadian/perbuatan-perbuatan manusia tersebut untuk dapat menjadi bahan yang sebenarnya dari sejarah haruslah bersifat konkrit, ialah terbatas pada waktu dan tempat tertentu; sejarah bersifat untuk = singular = particular = individual = kejadian-kejadian yang bersifat unik/individual. Meskipun begitu sejarah juga membicarakan apa yang disebut “fakta-fakta yang bersifat umum” (general facts), yang berarti keumuman-keumuman atau generalisasi-generalisasi, misalnya: orang-orang Romawi adalah bangsa yang mempunyai bakat alam dalam bidang politik/pemerintahan”, Kota kota pantai utara Jawa pada abad XVI merupakan kota berkebudayaan Islam, dan semacamnya. 

3. Akan tetapi fakta-fakta yang dihadapi oleh sejarah adalah cukup luas di dalam arti dan bakatnya, sehingga meliputi juga fakta-fakta yang kompleks tertentu yang membentang (terjadi selama) dalam suatu tempat dan waktu yang panjang, misalnya: pergerakan-pergerakan di dalam sejarah (Renaissance, Revolusi Perancis, dsb.), pemerintahan-pemerintahan, lembaga-lembaga (politik, sosial, ekonomi, agama, dsb.), hukum-hukum, caracara hidup, adat kebiasaan (fakta yang bersifat umum). 

4. Cara penelaahan terhadap “fakta-fakta yang berisfat umum” tersebut dapat digolongkan dalam tiga golongan/sebab: (a) karena sifat/tabiat dari seseorang tertentu; (b) sifat atau tabiat dari suatu bangsa/ras, rakyat, keluarga, atau suatu kelompok orang; (c) sifat atau tabiat dari suatu masa, abad, pemerintahan, administrasi pemerintahan, sistem ekonomi, sistem budaya, sistem sosial. 

5. Sejarah sebagai perbuatan-perbuatan dari seseorang tetapi tidak hanya sebagai perseorangan, melainkan sebagai makhluk-makhluk sosial atau sebagai anggota-anggota dari suatu kesatuan sosial yang ini atau yang itu misalnya: keluarga, kota, negara; jadi seseorang hanya mempunyai arti sejarah sejauh itu memengaruhi suatu golongan orang-orang yang terorganisasi dari individu-individu yang lainnya, atau dipengaruhi oleh itu. 

6. Akan tetapi tidak semua perbuatan manusia sebagai makhluk sosial termasuk sejarah. Untuk dapat disebut sejarah, perbuatanperbuatan tersebut harus menunjukkan kepentingan atau artinya suatu arti yang bersifat sejarah (historical significance) atau dapat dikatakan bahwa fakta-fakta berarti secara sejarah (historis) jika fakta-fakta itu memberikan pengaruhnya terhadap dunia sezamannya dalam cara-cara yang tertentu dan efektif, atau fakta-fakta itu telah turut membentuk dunia yang terdapat pada waktu itu. 

Berdasarkan uraian itu, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah mencakup tiga arti, yaitu: 

1. Kejadian-kejadian atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada masa yang lalu; kenyataan masa lalu (past human events; past actually) – Sejarah sebagai peristiwa 

2. Catatan dari kejadian-kejadian/kegiatan manusia tersebut (Sejarah sebagai cerita atau kisah). 

3. Proses atau teknik (Cara atau methods) untuk pembuatan catatan dari kejadian-kejadian tersebut (Sejarah) sebagai Ilmu Pengetahuan = Ilmu Sejarah) (Garraghan, 1957:3-32).

Dari Kejadian Menjadi Sejarah 

Setiap individu atau kelompok manusia pernah mengalami peristiwa atau kejadian tertentu. Peristiwa atau kejadian tersebut dapat menyangkut peristiwa individual atau peristiwa kelompok. Peristiwa itu dialami oleh manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Peristiwa tersebut ada yang berlangsung beberapa menit yang lalu atau beradad-abad yang lalu. Dengan demikian di dalam beberapa abad yang lalu telah terjadi triliunan peristiwa atau kejadian yang dialami oleh triliunan manusia sejak zaman Adam hingga sekarang.

Peristiwa atau kejadian itu ada yang meningalkan jejak dan ada yang tidak meninggalkan jejak. Peristiwa yang meninggalkan jejak ada yang jejaknya sampai pada zaman sekarang, dan ada yang tidak sampai zaman sekarang, artinya telah hilang atau dihilangkan. Salah satu sebab jejak hilang karena telah termakan usia. Jejak yang dihilangkan ada yang disengaja, dan ada yang tidak disengaja. Penghilangan jejak secara sengaja, misalnya dengan tujuan agar peristiwa tertentu tidak diketahui oleh orang lain (dalam bahasa kepolisian sebagai penghilangan barang bukti). Penghilangan secara sengaja juga dilakukan dengan alasan bukti itu dianggap tidak diperlukan oleh penggunanya atau pemiliknya, 

Meskipun oleh orang lain dari zaman lain, jejak atau bukti itu menjadi penting. Sebagai contoh Surat Keputusan (SK) pengangkatan seseorang menjadi ambtenaar pada zaman Belanda yang dimiliki oleh seorang Bupati di Blora, misalnya pada masa pendudukan Jepang dianggap tidak perlu, bahkan membahayakan. Maka bisa saja SK itu dibakar atau dibuang ke sungai agar tidak diketahui oleh pihak pendudukan Jepang bahwa seorang tokoh tertentu pernah diangkat menjadi aparat birokrasi Belanda. 

Dalam kajian sejarah, jejak atau bukti itu sangat penting sekali. Jejak atau bukti itu sebagai sarana, alat bagi sejarawan untuk melakukan hubungan dengan persitiwa masa lampau. Tanpa jejak atau bukti itu sejarawan tidak dapat berbicara tentang sesuatu peristiwa yang pernah terjad di masa lampau. Bukti itu dapat berupa benda (artefak), tulisan, dan informasi lisan. Hanya melalui bukti-bukti yang tertingal itulah, sejarawan dapat menghadirkan kembali masa lampau di kalangan pembaca buku-buku sejarah. Bukti-bukti sejarah yang tersedia tidak dapat berbicara sendiri mengenai masa lampau. 

Bukti-bukti itu perlu ditafsirkan oleh sejarawan agar jelas tentang kebenaran faktual dan rangkaian antar faktanya menjadi sebuah cerita masa lampau. Cerita sejarah itu dengan demikian, bukan masa lampau itu sendiri, tetapi produk intelektual sejarawan berdasarkan bukti-bukti sejarah yang tersedia dan yang dia gunakan.

Sejarah dalam pengertian itu merupakan sebuah hasil rekonstruksi, sebuah proses pembangunan kembali apa yang pernah terjadi di masa lampau. Dalam proses rekonstruksi pasti memuat unsur-unsur subjek (pengarang, penulis), maka di dalamya akan memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, dan lain sebagainya. Jadi di sini sejarah sebagai cerita berbeda dengan sejarah sebagai kejadan. Sejarah sebagai cerita sifatnya subjektif, dan sejarah sebagai kejadian sifatnya objektif. Sartono Kartodirdjo (1993:14-15) menegaskan bahwa sejarah dalam arti sebujektif merupakan suatu konstruk, yaitu bangunan yang disusun oleh penulis sebagai uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Dengan demikian cerita tentang Peristiwa G-30 September 1965 bukan realitas tahun 1965, tetapi hanyalah tafsir dari para penulis atas peristiwa itu berdasarkan data-data yang tersedia. Proses tersajinya sejarah sebagai kejadian hingga menjadi tulisan sejarah merupakan proses logis yang dapat dipahami. Sejarah sebagai kejadian hanya dapat sampai kepada pembaca jika ada sumber data yang ditinggalkan da nada sejarawan yang tertarik untuk meneliti dan menuliskannya.

Sejarah dalam arti objektif (sejarah sebagai kejadian) hanya sekali terjadi (einmalig). Ia tidak dapat diulang kembali, sekalipun direkam dengan pita suara atau alat audio-visual, pemutaran kembali dizaman lain dan tempat lain tetap bukan peristiwanya sendiri karena zaman yang melingkupi sudah berubah. Demikian pula bagi orang yang berksempatan mengalami suatu kejadian pun sesungguhnya ia hanya dapat mengamati dan mengikuti sebagian dari totalitas kejadian. Ia tidak mungkin memiliki gambaran secara total seketika terjadi. Keseluruhan proses kejadian itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga; jadi objektif dalam pengertian tidak memuat unsur-unsur subjek (pengamat, penulis).

Sejarah antara Ilmu dan Seni

Nugroho Notosusanto (1971) mengemukakan bahwa ada persoalan mengenai pengertian ilmu perang dan seni perang, juga terdapat persoalan antara pengertian ilmu sejarah dan seni sejarah. Di Indonesia “disiplin” sejarah oleh umum lazim disebut “ilmu sejarah, (istilah “disiplin” dipakai di sini dengan arti, bagian pengetahuan yang disistemasikan”, sesuai dengan pendapat G. J. Renier (1997), sesungguhnya menyimpan persoalan-persoalan. 

Sebagai cabang ilmu pengetahuan, sejarah dapat diberi definisi sebagai berikut: adalah “Ilmu Pengetahuan yang menyelidiki dan kemudian mencatat, di dalam perhubungan sebab akibatnya dan perkembangannya, kegiatan-kegiatan/aktivitas-aktivitas manusia di masa lampau yang (a) tertentu dalam waktu dan tempatnya; (b) sosial di dalam sifat dan hakikatnya; dan (c) yang mempunyai arti yang bersifat sosial” (Garraghan, 1957:10). 

Jika kita usut perkembangan penulisan sejarah sejak sebelum Heredotus, maka akan tampak, bahwa sejarah mula-mula adalah cabang dari sastra, jadi merupakan sesuatu seni. Sebelum dikenalnya kritik sejarah, yang akan merupakan inti metode sejarah, sesungguhnya penulisan sejarah dilakukan tanpa dukungan sesuatu disiplin atau ilmu sejarah. Memang disiplin atau “ilmu” sejarah baru boleh dianggap telah terbentuk, sesudah metode sejarah dengan kritik sejarah, sebagai intinya mengalami perkembangannya yang pertama. Hal itu tidak berarti, bahwa sejarawan-sejarawan lama begitu saja memercayai segala keterangan yang diperolehnya sebagai bahan historiografi atau penulisan sejarah. Seperti pada semua manusia yang telah mencapai tingkat peradaban tertentu, mereka juga cukup mempunyai “common sense” untuk merasa, bahwa tidak semua saksi dapat dipercayai keterangannya. Persoalannya adalah bahwa pada masa “pra kritik” itu kesangsian sebagai suatu prinsip (skepticism on principle) belum merupakan bagian sikap jiwa para sejarawan. Sejak abad ke-17 kritik sejarah mulai berkembang, hingga akhirnya mencapai taraf kematangannya dalam diri metode sejarah pada abad ke-19. Dalam abad itulah timbul apa yang disebut “sejarah ilmiah” yang juga disebut “sejarah kritis” atau “sejarah empiris”. Kebangkitan sejarah sebagai sebuah disiplin ilmiah ini dimulai di Jerman di mana Leopold von Ranke mencetuskan diktumnya, bahwa tugas sejarah hanyalah menunjukkan apa yang benar-benar telah terjadi (wie es eigentlich gewesen). Sejak itulah tampil kemuka sejarawan-sejarawan yang menganggap dirinya “sejarawan-sejarawan ilmiah”. Akan tetapi sesudah berhasilnya perjuangan untuk membebaskan sejarah dari kungkungan sastra/seni untuk menjadikannya sesuatu ilmu, setingkat dengan ilmu-ilmu alam yang ketika itu mencapai puncak kekegalannya, timbullah kesadaran, bahwa ada soal-soal yang tak terpecahkan untuk membela pendirian itu. Jika ditinjau dengan saksama, akan nyata bahwa bagaimanapun keteguhan kita berpegang kepada ajaran Ranke dan kawan-kawannya, namun ada proses dalam sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah (yang sesuai dengan ukuran ilmu-ilmu alam). Sebagai reaksi atas “sejarah ilmiah” atau “ilmu sejarah” yang terkesan kering itu timbullah dua macam anggapan baru mengenai hakikat disiplin sejarah, yang satu mengatakan, bahwa sejarah itu benar sesuatu ilmu, akan tetapi ilmu yang khas, yang lain daripada ilmu-ilmu alam. Adapun pendapat yang lain mengatakan, bahwa bagaimanapun juga, sejarah adalah tetap sesuatu seni. Dalam hal ini tentu saja ada anggapan, bahwa seni itu setaraf dengan ilmu. Sejarah sebagai ilmu sangatlah jelas. Dalam metode sejarah digunakan kerja ilmiah yang digunakan dalam pencarian dan kritik sumber. Jika kita mengingat bagaimana kerasnya kritik ilmiah yang dipakai untuk meneliti sumber-sumber sejarah, maka sifat ilmiah daripada sejarah dapat dianggap terbukti. Pemakaian alat-alat rontgen serta bahan-bahan kimia untuk menentukan palsu tidaknya suatu dokumen misalnya saja, menimbulkan kesan yang sangat ilmiah. Kesimpulan yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah adalah jelas hasil suatu penelitian yang ilmiah, tetapi belumlah dapat disebut sejarah. Hasil penelitian sumber-sumber itu tidak mentah lagi, melainkan telah diolah dan diolah dengan cara-cara ilmiah. Sebab sesungguhnya sejarah itu tetap merupakan kisah, tetap merupakan “narrative” (lihat Lemon, 1995). 

Meskipun bahan-bahan yang lepas-lepas belum boleh disebut sejarah. Juga daftar angka tahun dengan pertelaan peristiwa di belakangnya, belum boleh disebut sejarah melainkan baru berupa kronik. Sejarah, barulah menjadi sejarah jika bahan-bahannya telah dirangkai-rangkaikan secara selaras oleh sejarawan menjadi suatu kisah. Kini nampak bahwa sejarawan menjadi suatu pengkisah, meskipun bahan-bahannya telah teruji secara ilmiah, namun penulisannya menyangkut proses penafsiran oleh sejarawan. Oleh karena itulah dalam bidang sejarah tidak bersifat eksak sebagimana matematika yang dapat menerapkan rumus 2 x 2 = 4. 

Meskipun bahan-bahannya persis sama, dua orang sejarawan akan menuliskan dua kisah sejarah yang berbeda. Perbedaan itu bukanlah perbedaan dalam data atau sumber-sumbernya, melainkan perbedaan dalam penafsiran dan penyimpulan. Jika kita ingat pula bahwa sejarah meskipun disusun berdasarkan bahan-bahan yang telah diolah secara ilmiah, tetap menyangkut keindahan bahwa karena dituliskan sebagai kisah, maka kita akan cenderung kepada kesimpulan, bahwa sejarah juga merupakan suatu seni, tetapi seni semata-mata, juga tidak, karena seperti kita lihat, proses penelitian bahan-bahannya dilakukan secara ilmiah sungguh-sungguh. Dengan demikian tampaklah, bahwa pada daftar penelitian, sumbersumber sejarah bersifat ilmiah, pada taraf penafsiran dan penulisannya sejarah bersifat seni. Penilainnya tidaklah akan jauh dari kenyataan jika kita berkata, bahwa sejarah adalah suatu ilmu, tetapi juga suatu seni. 

Sebagai sebuah karya seni penulisan sejarah harus dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak senang membacanya. Dalam hal itu kisah sejarah harus memenuhi syarat yang sama dengan kisah sastra. Oleh karena: “The prosess of historical recreation is not essentially different from that of the post or novelist, except that his imagination must be subordinated to the truth” (Notosusanto, 1971). 

Dalam posisi seperti tersebut di atas, sejarah bersifat relatif. Jika sifat relatif tak dapat dinyatakan pada sejarah sebagai kenyataan masa lampau, maka dalam segi-segi tertentu/terbatas, sifat relatif dapat dinyatakan pada “sejarah sebagai catatan peristiwa-peristiwa” (history as record). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 

1. Kenyataan-kenyataan sejarah hanya dapat kita ketahui secara tidak langsung dari peninggalan-peninggalan yang ditinggalkannya dalam bentuk dokumen-dokumen dan sumber-sumber keterangan lainnya. Jadi apa yang kita ketahui adalah bukan fakta-fakta itu sendiri, melainkan pengetahuan seseorang atau kesan seseorang tentang fakta-fakta itu yang didasarkan bukan dari hal-hal yang sekecil-kecilnya dari kenyataan itu tetapi atas dasar suatu jumlah yang terbatas dari fakta-fakta itu. Akan tetapi meskipun begitu, keadaankeadaan tersebut tidak menghalangi kita untuk mengetahui fakta-fakta itu dengan “kepastian” seperti dikatakan oleh Ranke “wie es eigentlich gewesen ist”; sejarah sebagai catatan peristiwa-peristiwa masa lalu tidak seluruhnya bersifat relatif, karena terdapat banyak fakta yang dapat diketahui secara pasti (absolut). 

2. Pengertian atau kemampuan kita untuk memahami kenyataan masa lalu ditentukan atau dipengaruhi oleh pengetahuan kita tentang dunia di mana kita hidup (memandang masa lampau dengan melalui kacamata dari masa sekarang). Meskipun begitu ini tidak berarti bahwa hakikat dari gambaran masa lalu kita itu tidak berarti tidak benar, jadi gambaran masa lalu itu pada hakikatnya adalah gambaran yang benar (meskipun secara relatif). Pencerminan dari masa lampau di dalam masa sekarang berbeda dari abad ke abad, atau dari seseorang dengan orang lain dalam masa yang sama. 

3. Masa lampau dalam kenyataannya dipandang dari berbagai sudut kepentingan tertentu, yang berbeda dari generasi ke generasi. Segi-segi/aspek-apsek sejarah yang menarik minat ahli-ahli sejarah pada suatu masa mungkin tidak menarik bagi ahli-ahli sejarah dari masa-masa lainnya. 

Berdasarkan penjelasan itu dapat dikatakan sebagai kenyataan dari masa lampau sejarah adalah bersifat absolut, tetapi sebagai catatan dari peristiwa-peristiwa tersebut sejarah bersifat relatif didalam segi-seginya yang tertentu (Garraghan, 1957)

Metode Sejarah

Sebagai ilmu, sejarah memerlukan metode dan metodologi. Metode sejarah atau metode penelitian sejarah dapat didefinisikan sebagai berikut: Suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturanaturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari sejarah, dalam menilai atau menguji sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil “sinthese” (pada umumnya dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang dicapai (Garraghan, 1957: 33). 

Pengertian metode sejarah yang panjang itu mungkin dapat disingkat sebagai suatu sistem dari cara-cara yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Dari pengertian tersebut, kita dapat menetapkan adanya tiga langkah atau tahap kegiatan di dalam metode sejarah, ialah: 

1. Pencarian bahan-bahan sumber di atas kita dapat bekerja, ialah pencarian sumber-sumber keterangan atau pencarian buktibukti sejarah, tahap ini disebut Heuristik, yang merupakan langkah permulaan di dalam semua penulisan sejarah.

2. Penilaian atau pengujian terhadap bahan-bahan sumber tersebut dari sudut pandangan nilai kenyataan (kebenarannya) semata-mata, tahap kedua ini disebut kritik sumber atau kritisisme, yang merupakan langkah yang sangat penting sehingga sering dikatakan bahwa seluruh proses dari metode sejarah disebut sebagai Kritisisme Sejarah. 

3. Penceritaan atau Penyajian yang bersifat formal (resmi) dari penemuan-penemuan dari kegiatan Heuristik dan Kritisisme; tahap ketiga ini meliputi penyusunan kumpulan dari data sejarah dan penyajian /penceritaannya (pada umumnya dalam bentuk tertulis) di dalam batas-batas kebenaran yang objektif dan arti atau maknanya; tahap ketiga ini disebut Sinthese dan Penyajian (Sinthese dan Penulisan).

Di sini perlu disebutkan bahwa di dalam kenyataannya/prakteknya, ketiga langkah atau tahap kegiatan tersebut tidak perlu dijalankan secara terpisah dengan tajam, melainkan dapat saling bersilangan, sehingga sejarawan biasanya atau kadang-kadang menggunakan atau menjalankan ketiga-tiganya secara bersama-sama. Hanya perlu diperhatikan bahwa seorang sejarawan yang telah terlatih biasanya menunjukkan dirinya di dalam kesiapan dan ketrampilan (kemahiran) dengan mana ia menjalankan ketiga langkah penelitian tersebut (Notosusanto, 1971). Seorang calon sejarawan yang ingin melakukan penelitian sejarah, pada umumnya harus melalui prosedur penelitian sebagai berikut (Gray, 1964): 1. Menentukan judul atau pokok penelitian yang akan diteliti atau diselidiki. 2. Mencari bukti-bukti (pembuktian) atau bahan-bahan sumber (baik sumber-sumber primer maupun sumber-sumber sekunder) yang diperlukan (Heuristik). Dalam tahap kedua ini termasuk teknik pencatatan dari dari bahan-bahan sumber (note-taking) dalam kartu-kartu kepustakaan (Bibliographical cards). 3. Menilai atau menguji bahan-bahan sumber dengan kritik luar/(external criticism) dan kritik dalam (internal criticism) untuk menentukan/menetapkan otentisitas (authenticity: kebenaran, kesahihan, kesejatian) dari bahan-bahan sumber sebelum digunakan di dalam penelitian (kritisisme). 4. Tahap Konstruksi dan Komunikasi: melakukan konstruksi (penyusunan dan penulisan atau sinthese dari hasil atau penemuan-penemuan penelitian) dengan bahasa yang sederhana, lugas dan ilmiah, agar dapat dikomunikasikan dengan baik kepada pembacanya (Sinthese dan Penulisan Sejarah). Hasil dari Sinthese dan Penulisan Sejarah adalah Karangan Sejarah Ilmiah atau Karangan Sejarah Kritis (Historiografi).

Jika metode sejarah berkaitan dengan proses penelusuran sumbersejarah hingga menghasilkan fakta sejarah dan disajikannya dalam tulisan sejarah, maka metodologi sejarah merupakan ilmu yang menanyakan lebih jauh tentang kebenaran metode tersebut (science of method). Metodologi berurusan dengan pertanyaan filosofis tentang prosedur penelitian sejarah. Apakah fakta sejarah, bagaimana menilai kebenaran sejarah, bagamana tafsir dan penjelasan sejarah, dan semacamnya. Termasuk di dalamnya model-model analisis dalam kajian-kajian sejarah, seperti sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah, lokal, dsb. Kajian yang membahas tentang berbagai aspek dan model penulisan sejarah Indonesia (Kuntowijoyo, 2003).