Konsep kreativitas

Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang sulit, yang menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Perbedaan tersebut terletak pada definisi kreativitas, kriteria perilaku kreatif, proses kreatif, hubungan kreativitas dan inteligensi, karakteristik orang kreatif, korelat-korelat kreativitas, dan upaya untuk mengembangkan kreativitas.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada topik baru yang mengundang banyak tanggapan, yaitu hubungan kreativitas dan belahan otak. Dalam kolokium bertema Creativity, Creative Process, and Gifted Education yang diselenggarakan di Houston, Texas, tahun 1980 terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam di antarta para peserta yang terdiri atas para pakar terkemuka dalam bidang ini, di antaranya: Sindey Parnes, John Curtis Gowan, Calvin Taylor, Donald Treffinger, dan Catherine Bruch. Perdebatan tersebut dapat dipelajari dalam buku "The Faces and Forms of Creativity". Definisi Kreativitas Kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda. Sedemikian beragam definisi itu, sehingga pengertian kreativitas tergantung pada bagaimana orang mendefinisikannya - "creativity is a matter of definition". Tidak ada satu definisi pun yang dianggap dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan oleh dua alasan. Pertama, sebagai suatu "konstruk hipotetis", kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional, yang mengundang berbagai tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi.

Berdasarkan penekanannya, definisi-definisi kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi person, proses, produk, dan press. Rhodes (1961) menyebut keempat dimensi kreativitas tersebut sebagai "the Four P's of Creativity". Definisi kreativitas yang menekankan dimensi personal dikemukakan misalnya oleh Guilford (1950): "Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people". Definisi yang menekankan segi proses diajukan oleh Munandar (1977): "Creativity is a process that manifests itself in fluency, in flexibility as well in originality of thinking". Barron (1976) menekankan segi produk, yaitu: "the ability to bring something new into existence"; sementara Amabile (1983) mengemukakan, "Creativity can be regarded as the quality of products or responses judged to be creative by appropriate observers". Berdasarkan analisis faktor, Guilford menemukan bahwa ada lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berfikir kreatif, yaitu: 1) Kelancaran (fluency), Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. 2) Keluwesan (flexibility), Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam- macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah 3) Keaslian (originality), Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise 4) Penguraian (elaboration), Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci 5) Perumusan kembali (redefinition) Redefinisi adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang swdah diketahui oleh banyak orang Masih ada puluhan definisi mengenai kreativitas. Namun pada intinya ada persamaan antara definisi-definisi tersebut, yaitu kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Ada hubungan yang erat antara definisi dan teori kreativitas. Bagaimanakah kreativitas didefinisikan, tergantung kepada bagaimanakah kreativitas diteorikan. Seperti halnya definisi kreativitas, teori kreativitas sangat beragam. Namun tidak ada satu pun teori yang mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena kreativitas yang kompleks dan multidimensional. Karena itu, ada usaha untuk mengelompokkan teori-teori kreativitas. Gowan (1972) mengelompokkan teori-teori kreativitas ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) kognitif, rasional, dan semantik; (2) faktor-faktor kepribadian dan lingkungan; (3) kesehatan mental dan penyesuaian diri; (4) psikoanalitik dan neo-psikoanalitik; (dan 5) psikodelik yang menekankan aspek eksistensial dan non-rasional manusia. Sementara itu, Mackler & Sontz (1970) menggolongkan teori kreativitas ke dalam enam kelompok, yaitu: psikoanalitik, asosianistik, Gestalt, eksistensial, interpersonal, dan ciri atau sifat (traits).

Teori psikoanalitik menganggap bahwa proses ketidaksadaran melandasi kreativitasKreativitas merupakan manifestasi dari psikopathologi. Teori asosiasi memandang kreativitas sebagai hasil dari proses asosiasi dan kombinasi antara elemen-elemen yang telah ada, sehingga menghasilkan sesuatu yang baru. Teori Gestalt memandang kreativitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu terhadap lingkungannya secara holistik. Teori eksistensial mengemukakan bahwa kreativitas merupakan proses untuk melahirkan sesuatu yang baru melalui perjumpaan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Sebagai penganut teori eksistensial, May (1980), misalnya berpendapat bahwa setiap perilaku kreatif selalu didahului oleh "perjumpaan" yang intens dan penuh kesadaran antara manusia dengan dunia sekitarnya. Teori interpersonal menafsirkan kreativitas dalam konteks lingkungan sosial. Dengan menempatkan pencipta (kreator) sebagai inovator dan orang di sekeliling sebagai pihak yang mengakui hasil kreativitas, teori ini menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu karya kreatif. Nilai mengimplikasikan adanya pengakuan sosial. Teori sifat atau ciri memberikan tempat khusus kepada usaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik utama kreativitas. Guilford, termasuk ke dalam kelompok ini. Definisi Konsensual dan Konseptual Definisi kreativitas juga dibedakan ke dalam definisi konsensual dan definisi konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli. Amabile (1983: 31) mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Definisi tersebut didasari asumsi-asumsi sebagai berikut: (a) produk kreatif atau respons-respons yang dapat diamati merupakan manifestasi dari puncak kreativitas; (b) kreativitas adalah sesuatu yang dapat dikenali oleh pengamat luar dan mereka dapat sepakat bahwa sesuatu itu adalah produk kreatif; (c) kreativitas berbeda derajatnya, dan para pengamat dapat sampai pada kesepakatan bahwa suatu produk lebih kreatif daripada yang lainnya. Definisi konsensual sering digunakan dalam studi kreativitas dalam lapangan keilmuan dan kesenian, baik menyangkut produk, orang, proses, maupun lingkungan tempat orang-orang kreatif mengembangkan kreativitasnya. Definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada kriteria tertentu. Secara konseptual, Amabile (1983: 33) melukiskan bahwa suat produk dinilai kreatif apabila: (a) produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Dalam praktek penilaian terhadap kreativitas (yakni produk dan orangnya), kriteria kreativitas yang dicakup dalam definisi konseptual pada akhirnya akan sangat tergantung pada pertimbangan penilai yang biasanya lebih dari satu orang: sejauh manakah mereka sepakat bahwa sesuatu atau seseorang itu kreatif? Oleh sebab itu, pada kedua definisi tersebut, pertimbangan subjektif sangat besar.

Di antara berbagai definisi tentang kreativitas, definisi yang dikemukakan oleh Stein (1967, 1963) mewakili definisi konseptual maupun definisi konsensual tentang kreativitas, la sangat menekankan segi produk kreatif yang telah nyata, seperti ditunjukkan dalam karya kreatif, la menulis, "The creative work is a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group in some point in time”. Dimensi konseptual dari kreativitas menurut definisi ini tercermin pada kriteria kreativitas, yaitu novel, tenable, useful, dan satisfying. Di pihak lain, dimensi konsensual dinyatakan melalui kata-kata "that is accepted by a group in some point in time”. Pengertian setiap istilah di atas diuraikan berikut ini. Kata novel atau baru berarti bahwa suatu produk yang dinilai kreatif bersifat orisinal. Meskipun tidak berarti sama sekali baru, produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari hal-hal yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Bobot kreativitas suatu produk akan tampak pada sejauh manakah ia berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya. Dalam bidang apa pun, kreativitas manusia tidak terjadi secara ex-nihilo (datang dari kevakuman), melainkan didahului oleh penemuan-penemuan terdahulu. Hal ini terutama nyata dalam lapangan ilmu dan teknologi. Dalam penemuan sekalipun, sesuatu tidak ditemukan secara ex-nihilo, karena hukum-hukum alam sebagai kreasi Sang Maha Pencipta telah lebih dahulu ada. Tuhan menciptakan, manusia menemukan. Kalimat "that the creative work is tenable or useful or satisfying" mengandung arti bahwa suatu produk kreatif harus berlaku, berguna, dan memuaskan sejauh dinilai oleh orang lain. Ketiga istilah ini menekankan bahwa hasil dari proses kreatif haruslah dikomunikasikan kepada orang lain, sehingga produk tersebut mengalami "validasi konsensual". Betapapun suatu produk disebut kreatif oleh pembuatnya, selama belum diuji dan divalidasi secara konsensual, yang berarti harus dikomunikasikan, maka produk itu belum layak diakui kreativitasnya. Oleh sebab itu, pengakuan orang lain, khususnya para ahli, sangatlah penting. Dengan menggunakan definisi konseptual dan konsensual tentang kreativitas, studi terhadap ilmuwan senior (Supriadi, 1989) misalnya, dapat menggunakan kriteria: (a) sumbangan mereka terhadap ilmu pengetahuan; (b) keanggotaan dalam organisasi profesi; (c) penghargaan yang pernah diterima; dan (d) jabatan keahlian yang pernah atau sedang dipegang. Dalam bidang keilmuan, pengakuan terhadap kreativitas suatu karya keilmuan diberikan oleh komunitas ilmuwan pada bidang yang sesuai dengan disiplinnya, seperti dinyatakan oleh Stein (1967: 115) melalui kalimat "the creative work is accepted by a group”, atau dengan kata lain "the creative product is congruent with the needs or experience of a group". Pengakuan dari orang lain yang ahli memungkinkan individu kreatif untuk melakukan validasi terhadap karya-karyanya. Segi keempat adalah, "the creative work is accepted at some point in time". Kalimat ini menekankan dimensi waktu dari pengakuan orang terhadap suatu karya kreatif. Suatu karya mungkin diakui sebagai karya kreatif luar biasa pada suatu masa, tetapi tidak demikian halnya pada masa selanjutnya. Dalam seni lukis, misalnya, karya Vincent van Gough dianggap bukan karya lukis yang luar biasa pada saat ia masih hidup, tetapi satu abad kemudian, karya-karyanya terjual dengan harga puluhan juta dollar karena dinilai oleh komunitas seniman, kritikus, dan kolektor seni sebagai karya kreatif istimewa. Begitu juga dalam lapangan keilmuan, teori yang menyatakan bahwa atom adalah benda terkecil yang tak dapat dibagi lagi dianggap sebagai teori yang paling kreatif pada masanya. Tetapi setelah datang teori Madam Curie yang menyatakan bahwa atom terdiri atas proton, neutron, dan elektron, teori terdahulu mengalami penurunan nilai kreativitasnya, jadi, nilai kreativitas suatu produk tergantung atas faktor waktu. Dalam karya momumentalnya, A Study of History (1947), Arnold Toynbee berbicara tentang mimesis kreativitas, yaitu orang-orang atau karya-karya kreatif terdahulu mengalami penurunan nilai karena ditemukan hal-hal baru yang lebih mampu menjelaskan dan memecahkan masalah. Mimesis kreativitas oleh Toynbee diartikan sebagai "those who have been successful innovators of the past, tend to disqualify themselves for successful innovation in the future". Mimesis dapat terjadi pada orang, institusi, atau teknik pemecahan masalah. Kreativitas suatu produk bukan hanya tergantung kepada faktor waktu, melainkan juga tempat. Suatu karya mungkin dianggap kreatif pada satu tempat, tetapi tidak demikian halnya pada tempat yang lain. Suatu penemuan di bidang ilmu dan teknologi mungkin tergolong langka pada suatu negara, tetapi di negara yang lain hal tersebut telah banyak ditemukan. Pernyataan ini menekankan bahwa kreativitas tergantung pula atas konteks sosial-budaya. Oleh sebab itu, Amabile (1983: 34) mengemukakan bahwa penilaian terhadap kreativitas pada akhirnya terikat kepada konteks sosial, budaya, dan waktu.

Menempatkan kreativitas dalam konteks komunitas orang- orang yang mengapresiasi karya, tempat, dan waktu, tidak berarti kualitas intrinsik karya kreatif tersebut diabaikan. Justru pengakuan itu diberikan oleh orang lain karena karya itu memiliki kualitas intrinsik tertentu, di samping memiliki signifikansi sosial. Dalam lapangan keilmuan, kreativitas suatu karya bukan hanya ditentukan oleh kepentingan ilmu, melainkan juga diabdikan untuk kepentingan umat manusia. Atas dasar inilah, maka komunitas ilmuwan secara moral diikat oleh etika keilmuan dalam melakukan ikhtiar keilmuannya. Kriteria kreativitas Bagaimanakah orang kreatif diidentifikasi? Apakah yang menjadi ukuran bahwa seseorang lebih" kreatif daripada yang lain? Atas dasar apakah seseorang dikatakan sebagai orang kreatif dan suatu produk disebut sebagai produk kreatif? Jawaban atas pertanyaan- pertanyaan ini sangat penting, karena menentukan nilai dan arti suatu kajian atau penilaian tentang kreativitas. Shapiro (1973) mengemukakan bahwa tanpa ada kejelasan mengenai kriteria kreativitas, suatu kajian tentang kreativitas patut diragukan keabsahan hasilnya. Dalam nada yang sama, Taylor & Holland (1964: 31) menyatakan, tidak ada yang paling penting dalam kreativitas, kecuali masalah kriteria. Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, person, dan produk kreatif (Amabile, 1983). Dengan menggunakan proses kreatif sebagai kriteria kreativitas, maka segala produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap sebagai produK kreatif, dan orangnya disebut sebagai orang kreatif. Hal ini dilukiskan oleh Koestler (1964: 119) yang mengartikan kreativitas sebagai suat" proses bisosiatif, yaitu "the deliberate connecting of two previously unrelated 'matrices of thought' to produce a new insight or invention”. Rothenberg (1976) memberikan pengertian bahwa, proses kreatif identik dengan berpikir Janusian (janusian thinking), yaitu suatu tipe berpikir divergen yang berusaha melihat berbagai dimensi yang beragam atau bahkan bertentangan menjadi suatu pemikiran yang baru. Apabila proses bisosiatif ini dihubungkan dengan tahap-tahap berpikir kreatif, maka selama proses tersebut merentang dari pengumpulan informasi (preparasi), inkubasi, iluminasi, dan evaluasi/verifikasi, dapat dikatakan bahwa hasil proses berpikir itu adalah produk kreatif. Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah, sesuatu yang dihasilkan dari proses berpikir kreatif tidak selalu dengan sendirinya dapat disebut sebagai produk kreatif. Kriteria ini jarang dipakai dalam penelitian, karena dianggap kurang menyentuh persoalan inti, yaitu karya kreatif secara nyata. Dalam berbagai studi (misalnya Ghiselin, 1983; Ghiselin, Rompel, & Taylor, 1964), proses kreatif lebih ditempatkan sebagai salah satu aspek dari orang kreatif, dan bukan kriteria yang berdiri sendiri. Dimensi person sebagai kriteria kreativitas seringkali kurang jelas rumusannya. Amabile (1983) mengatakan bahwa pengertian person sebagai kriteria kreativitas identik dengan apa yang oleh Guilford (1950) disebut kepribadian kreatif (creative personality), yaitu "those patterns of traits that are characteristics of creative persons”. Kepribadian kreatif menurut Guilford meliputi dimensi kognitif (yaitu bakat) dan dimensi non-kognitif (yaitu minat, sikap, dan kualitas temperamental). Menurut teori ini, orang-orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif. Karakteristik-karakteristik kepribadian ini menjadi kriteria untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif. Orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh orang-orang kreatif dengan sendirinya adalah orang kreatif. Kriteria ini banyak digunakan dalam penelitian kreativitas. Prosedur identifikasi orang-orang kreatif berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang dimilikinya, biasanya dilakukan melalui teknik self-report, nominasi dan penilaian oleh teman sebaya, rekan sejawat atau atasan dengan menggunakan pertimbangan subyektif. Keberatan terhadap kriteria ini, jika digunakan sebagai satusatunya kriteria untuk menentukan kreativitas seorang, ialah karena ia belum menyentuh esensi dari kreativitas, yakni kemampuan untuk melahirkan sesuatu yang baru, yang nyata iialam hasil karyanya. Karena itu, dimensi kepribadian dari kreativitas biasanya diteliti dalam kaitan dengan kriteria lain yang lebih eksplisit, yaitu produk kreatif. Kriteria ketiga ialah produk kreatif, yang menunjuk pada hasil perbuatan, kinerja, atau karya seseorang dalam bentuk barang atau gagasan. Kriteria ini dipandang sebagai yang paling eksplisit untuk menentukan kreativitas seseorang, sehingga disebut "kriteria puncak" (the ultimate criteria) bagi kreativitas (Amabile, 1983; Shapiro, 1973), Dalam operasi penilaiannya, proses identifikasi kreativitas dilakukan melalui analisis obyektif terhadap produk, pertimbangan subyektif oleh peneliti atau panel ahli, dan melalui tes. Misalnya, mengenai kriteria produk kreatif di bidang penelitian keilmuan (murni dan terapan), McPherson (1963:24) menyebutkan sebelas indikator, yaitu: patent, patent disclosures, publications, unpublished research reports, unprinted oral presentations, improved processes, new imtruments, new analytical methods, ideas, new products, new compounds. Indikator-indikator ini lebih mencerminkan produk kreatif di bidang sains dan teknologi, dan tidak semuanya berlaku pada produk kreativitas di bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Pada semua indikator di atas tampak bahwa kualitas produk kreatif ditentukan oleh sejauh manakah produk tersebut memiliki kebaruan (newness, novelty) atau orisinal, bermanfaat, dan dapat memecahkan masalah. Proses penilaian terhadap produk kreatif dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu analisis obyektif dan pertimbangan subyektif. Produk kreatif yang ditampilkan oleh individu yang dibuktikan dalam karya-karya kreatifnya menjadi ukuran: apakah ia/mereka layak disebut sebagai orang kreatif istimewa ataukah tidak. Kriteria yang didasarkan pada produk kreatif cukup dapat dipercaya, bahkan lebih dapat dipercaya daripada kriteria yang didasarkan atas skor tes kreativitas semata-mata (Brandt, 1986), karena produk kreatif secara langsung menggambarkan penampilan aktual seseorang dalam kegiatan kreatif. Amabile (1983: 20) dalam kaitan ini mengemukakan: “In formal discourse, product definitions are generally considered as ultimately the most useful for creativity research, even among those who study the creative personality or the creative process. Few creativity studies, however, have used assessment techniques that closely follow any explicit definition of creative products”. Dalam berbagai studi, kriteria kreativitas dibedakan pula ke dalam dua jenis (Ghiselin, 1963; Shapiro, 1973). Pertama, concurrent criteria, yaitu kriteria berdasarkan produk kreatif yang ditampilkan oleh seseorang selama hidupnya maupun dibatasi hanya ketika ia menyelesaikan suatu karya kreatif. Kedua, concurrent criteria, yang didasarkan pada konsep atau definisi kreativitas yang dijabarkan ke dalam indikator-indikator perilaku kreatif. Sejauh manakah indikator-indikator yang diukur itu sahih, maka harus diuji dengan berbagai cara. Kriteria concurrent berkaitan dengan definisi konseptual tentang kreativitas. Asumsi tentang kreativitas Ada enam asumsi tentang kreativitas, yang diangkat dari teori dan berbagai studi tentang kreativitas. Pertama, setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda. Tidak ada orang yang sama sekali tidak memiliki kreativitas, dan yang diperlukan adalah bagaimanakah mengembangkan kreativitas tersebut. Dikemukakan oleh Devito (1971:213-216) bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang dengan tingkat yang berbeda-beda. Setiap orang lahir dengan potensi kreatif, dan potensi ini dapat dikembangkan dan dipupuk. Dalam nada yang sama, Piers (1976: 268) mengemukakan, "All individuals are creative in diverse ways and different degrees". Treffinger (1980: 15) juga mengemukakan bahwa tidak ada orang yang sama sekali tidak mempunyai kreativitas, seperti halnya tidak ada seorang pun manusia yang inteligensinya nol. Potensi kreativitas berbeda-beda secara luas di antara orang yang satu dengan yang lain. Dalam perwujudannya, derajat kreativitas dapat dibedakan tinggi-rendahnya berdasarkan kriteria tertentu. Karen derajat kreativitas ada dalam suatu garis kontinum, maka perbedaan antara orang-orang kreatif dengan orangorang tidak kreatif hanyalah istilah teknis belaka. Kedua kategori itu sesungguhnya menunjuk pada tingkat kreativitas yang tinggi dan tingkat kreativitas yang rendah. Apakah seseorang tergolong kreatif atau tidak kreatif, bukanlah dua hal yang bersifat mutually exclusive. Kedua, kreativitas dinyatakan dalam bentuk produk-produk kreatif, baik berupa benda maupun gagasan (creative ideas). Produk kreatif merupakan 'kriteria puncak' untuk menilai tinggi-rendahnya kreativitas seseorang. Tinggi atau rendahnya kualitas karya kreatif seseorang dapat dinilai berdasarkan orisinalitas atau kebaruan karya itu dan sumbangannya secara konstruktif bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban. Ketiga kriteria ini pula yang digunakan oleh Panitia Hadiah Nobel (Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia) dalam menetapkan hadiah yang sangat prestrsius ini untuk bidang Kimia, Fisika, Kedokteran, Ekonomi, Sastra, dan Perdamaian. Ketiga, aktualisasi kreativitas merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor-faktor psikologis (internal) dengan lingkungan (eksternal). Pada setiap orang, peranan masing-masing faktor tersebut berbeda-beda. Asumsi ini drsebut juga sebagai asumsi interaksional (Stein, 1967) atau sosial-psikologis (Amabile, 1983; Simonton, 1975) yang. memandang kedua faktor tersebut secara komplementer. Artinya, kreativitas berkembang berkat serangkaian proses interaksi sosial: individu dengan potensi kreatifnya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial-budaya tempat ia hidup. Individu dan masyarakat tidak pernah berada dalam kondisi yang vakum dari perubahan. Oleh karena itu, kreativitas merupakan fenomena individual dan sekaligus fenomena kolektif-sosial budaya. Keempat, dalam diri seseorang dan lingkungannya terdapat faktor-faktor yang dapat menunjang atau justru menghamba perkembangan kreativitas. Faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi persamaan dan perbedaannya pada kelompok individu atau antar individu yang satu dengan yang lain. Kelima, kreativitas seseorang tidak berlangsung da kevakuman, melainkan didahului oleh, dan merupakan pengembangan dari hasil-hasil kreativitas orang-orang yang berkarya sebelumnya. Jadi kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang telah ada sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Berbeda dengan kreativitas Tuhan yang terjadi dari ketiadaan (ex-nihilo),"human creativity uses what is already existing and available and changes it in unpredictable ways" (Arieti, 1976:4). Keenam, karya kreatif tidak lahir hanya karena kebetulan, melainkan melalui serangkaian proses kreatif yang menuntut kecakapan, keterampilan, dan motivasi yang kuat Ada tiga faktor yang menentukan prestasi kreatif seseorang, yaitu: motivasi atau komitmen yang tinggi, keterampilan dalam bidang yang ditekuni, dan kecakapan kreatif. Menurut Torrance (1978: 12): “A high level of creative achievement can be expected consistently only from those who have creative motivations (commitment) and the skills necessary to accompany the creative abilities. The person who has a high level Of creative abilities and skills may become a creative achiever, if the creative motivations can be aroused. Similarly, the person who has creative abilities and motivations can become a creative achiever with the acquisition of the necessary creative skills”. Kreativitas dan Inteligensi Kreativitas dan inteligensi mempunyai perbedaan. Jika menggunakan teori Guilford mengenai Structure of Intellect (SOI), inteligensi lebih menyangkut cara berfikir konvergen (memusat), sedangkan kreativitas berkenaan dengan cara berfikir divergen (menyebar). Penelitian Torrance (1965) mengungkapkan bahwa anak-anak yang tinggi kreativitasnya mempunyai taraf inteligensi (IQ) di bawah rata-rata IQ kelompok sebayanya. Dalam konteks keberbakatan (giftedness), Torrance menyatakan bahwa IQ tidak dapat dijadikan kriteria tunggal untuk mengidentifikasi orang-orang yang berbakat. Jika hanya IQ yang digunakan sebagai kriteria, maka sekitar 70% orang yang tinggi kreativitasnya akan tereliminasi dari seleksi. Berbagai studi lain melaporkan hasil yang berbeda-beda mengenai hubungan antara kreativitas dan inteligensi. Pada intinya penelitian itu membuktikan bahwa sampai tingkat tertentu terdapat hubungan antara inteligensi dan kreativitas, tetapi menurut penelitian Getzels & Jackson, pada tingkat IQ di atas 120, hampir tidak ada hubungan antara keduanya. Artinya, orang yang IQ-nya tinggi mungkin kreativitasnya rendah, atau sebaliknya. Selanjutnya kedua peneliti itu membuat empat kelompok orang, yaitu: (1) kreativitas rendah, inteligensi rendah; (2) kreativitas tinggi, inteligensi tinggi; (3) kreativitas rendah, inteligensi tinggi; dan (4) kreativitas tinggi, inteligensi rendah. Dengan demikian, kreativitas dan inteligensi merupakan dua domain kecakapan manusia yang berbeda. Dalam teori yang berlaku dewasa ini, baik inteligensi maupun kreativitas dijadikan kriteria untuk menentukan keberbakatan seseorang. Proses Kreatif Pada dasarnya, proses kreatif berlangsung sangat subyektif, misterius, dan personal. Meskipun proses kreatif mempunyai tahap-tahap tertentu, tidak mudah mengidentifikasi secara persis pada tahap manakah suatu proses kreatif seseorang sedang berada. Wallas mengemukakan bahwa proses kreatif melalui empat tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Sementara itu, Devito (1971) mengemukakan tahapan yang agak berbeda, yaitu: analisis manipulasi, impasse, Eureka dan verifikasi. Di antara tahap-tahap proses kreatif, apa yang dikemukakan oleh Wallas adalah yang diterima luas dewasa ini. Tahap persiapan adalah ketika individu mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan suatu masalah, la mencoba memikirkan berbagai kemungkinan pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya. Pada tahap inkubasi, proses pemecahan masalah "dierami" dalam alam pra-sadar. individu seakan-akan melupakannya. Tahap inkubasi ini dapat berlangsung lama (berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun) atau sebentar (beberapa menit atau beberapa jam), sampai timbul inspirasi atau gagasan untuk memecahkan masalah. Tahap ini disebut iluminasi, yaitu pada gagasan muncul untuk memecahkan masalah. Kohler melukiskan tahap ini dengan kata- kata "Aha, Erlebnis! atau 'Now, I see it!, yang kira-kira berarti: Oh, iya! Pada tahap verifikasi, gagasan yang muncul tersebut dievaluasi secara kritis dan dihadapkan pada realitas. Jika pada tahap persiapan, inkubasi, dan iluminasi proses berfikir divergen yang menonjol, maka dalam tahap verifikasi, yang menonjol adalah berfikir konvergen. Pengakuan orang-orang yang telah menunjukkan prestasi kreatifnya yang istimewa dalam lapangan ilmu dan seni mengungkapkan bahwa mereka mengalami keempat tahap proses kreatif tersebut. Sebelum melahirkan teori "Susunan Berkala Unsur-unsur" dalam Kimia, Mendeleyev mengalami masa inkubasi yang cukup lama. Lahirnya "Fungsi-fungsi Fuchsian" dari Henri Paincare. ahli matematika Perancis, didahului oleh masa inkubasi berhari-hari sampai inspirasi datang secara mendadak ketika Poincare sedang berekreasi. Penuturan lebih lengkap mengenai proses kreatif ilmuwan dan seniman dapat dibaca dalam buku karya Ghiselin (1983), Proses Kreatif. Kreativitas dan Posisi Kelahiran Pada bagian lain buku ini dikemukakan bahwa 35% finalis dan pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja dan Lomba Penelitian ilmiah Remaja tahun 1986 dan 1987 adalah anak-anak sulung. Persentase ini jauh berada di atas anak kedua (23%), anak bungsu (12%) dan anak tengah yang bukan anak kedua (30%). Besarnya persentase anak sulung mengundang pertanyaan: benarkah anak sulung cenderung lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak lainnya? Bagaimana sesungguhnya hubungan antara posisi kelahiran dengan prestasi kreatif seseorang? Pertanyaan ini menarik jika dikaitkan dengan berbagai hasil studi di beberapa negara. Urutan kelahiran memang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan keunggulan intelektual (yaitu prestasi, kecerdasan, kreativitas) dan kematangan emosional. Tentang kreativitas, ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa urutan kelahiran baik langsung maupun tidak langsung merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi kreatif. Setelah mempelajari berbagai hasil penelitian, Amabile (1986) menulis: "Penelitian terhadap para tokoh berprestasi luar biasa menunjukkan bahwa anak-anak sulung, khususnya anak sulung laki-laki, cenderung berprestasi melebihi adik-adiknya". Dalam karya monumentalnya "Heredinatry Genius" (1874), Francis Galton melaporkan bahwa para ilmuwan terkemuka yang dipelajarinya banyak yang berstatus anak sulung dan anak laki satu-satunya dalam keluarga. Hal ini didukung oleh Haverlock Ellis yang melaporkan hasil serupa dari studinya terhadap para tokoh terkemuka di bidang IPTEK, seni, dan politik. Penelitian lain dilakukan oleh Anne Roe terhadap para ilmuwan terkemuka Amerika Serikat yang terdiri dari 20 pakar biologi, 22 pakar fisika, dan 22 ilmuwan sosial. Mereka umumnya anggota National Academy of Science, suatu perhimpunan ilmuwan terpilih, beberapa di antara mereka adalah pemenang hadiah Nobel. Sangat mencengangkan bahwa sebanyak 39 orang (61%) dari mereka adalah anak sulung! Sementara itu, dalam laporannya, Goertzel, dkk (1978) mencatat bahwa dari 314 tokoh terkemuka abad ini yang berasal dari seluruh dunia, 30% adalah anak sulung, 16% anak tunggal, 27% anak bungsu, dan 26% lainnya anak tengah, jadi persentase tertinggi adalah anak sulung disusul oleh anak bungsu. Goertzel menyebut subyek penelitiannya sebagai "para tokoh terkemuka di dunia abad ke-20", karena memang subyek yang dipilihnya adalah mereka yang telah menunjukkan prestasinya yang luar biasa dalam berbagai bidang kehidupan. Angka-angka di atas sesuai dengan penelitian Aitus yang melaporkan bahwa ada hubungan yang kuat antara urutan kelahiran dengan keunggulan prestasi kreatif, di mana anak sulung adalah yang paling tinggi prestasinya. Kecenderungan ini bukan hanya dalam ilmu pengetahuan, melainkan dalam seni. Di bidang musik, Schubert dan Wagner (1977) melaporkan, sebagian besar komposer musik-musik klasik adalah anak sulung dan anak tunggal. Namun ada juga penelitian yang menyangkal penemuan di atas. Louis-Ellin Datta tidak menemukan adanya kaitan antara urutan kelahiran dengan kreativitas. Malah dua penelitian lain oleh Eisenman dan Staffieri justru menemukan bahwa hubungan antara kreativitas dan kelahiran adalah negatif. Perbedaan hasil penelitian adalah biasa, tetapi yang perlu dicari adalah penjelasan yang masuk akal di belakang perbedaan tersebut. Simonton (1984) misalnya menemukan bahwa anak sulung cenderung unggul di bidang sains dan teknologi, sementara dalam bidang politik, anak-anak tengah lebih unggul daripada anak-anak lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bidang politik menuntut kemampuan seseorang untuk mengadakan kompromi dan negosiasi. Diduga keunggulan anak-anak tengah dalam bidang ini karena telah terbiasa berdiri di tengah, di antara kakak dan adiknya. Penjelasan lain diajukan oleh Aibert (1980) yang menyatakan bahwa sebenarnya bukan urutan kelahiran itu yang mempengaruhi prestasi kreatif, melainkan posisi khusus dalam keluarga. Posisi khusus ini meliputi: anak sulung, anak laki-laki pertama, anak laki-laki satu-satunya, anak bungsu, anak laki-laki bungsu, dan anak yatim. Menggunakan batasan ini, ia menelaah 31 pemenang Nobel, dan ditemukan bahwa 74% dari mereka adalah orang-orang yang mempunyai posisi khusus tesebut. Dalam telaah lain yang jumlah subyeknya lebih besar (62 ilmuwan terkemuka), ditemukan bahwa 76% adalah orang-orang yang mempunyai posisi khusus dalam keluarganya. Dari temuan Albert semakin jelas bahwa bukan posisi kelahirannya yang penting, melainkan arti dari posisi tersebut. Anak dengan posisi kelahiran mana pun (anak pertama, anak kedua, anak tengah, anak bungsu, anak tunggal) baik laki-laki maupun perempuan dapat mencapai prestasi kreatif yang tinggi dalam berbagai bidang kehidupan tergantung kepada bagaimanakah posisi kelahiran itu dipersepsi dan diberi makna oleh lingkungannya, khususnya oleh orang tua, melalui perlakuan yang diberikannya kepada anak. Seperti dikemukakan oleh Albert, yang penting adalah efek psikologis dari posisi kelahiran itu, bukan posisi kelahirannya sendiri. Sebagian orang tua seringkali memberikan perlakuan yang berbeda kepada anaknya. Anak sulung dan anak bungsu biasanya mendapatkan perhatian yang lebih, baik positif maupun negatif akibatnya pada anak. Anak yang sangat dinantikan (misalnya anak tunggal, satu-satunya anak perempuan, atau satusatunya anak laki-laki) juga biasanya mendapatkan perlakuan khusus dari orang tuanya, jika perlakuan khusus itu positif (tidak berlebihan atau dimanja), efeknya akan positif pula. jika sebaliknya, maka efeknya pun akan kurang baik bagi anak. Menurut Altus, keunggulan anak-anak sulung unggul dalam prestasi kreatif kemungkinan disebabkan oleh: interaksi yang intensif dengan orang tua; memiliki lebih banyak peluang untuk mempelajari norma-norma orang dewasa; berkembangnya kesadaran yang lebih besar; adanya dorongan yang lebih kuat untuk berprestasi. Hal-hal ini membuat anak-anak sulung memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar, secara emosional lebih matang, mempunyai motif prestasi yang lebih tinggi, dan lebih mandiri. Ciri-ciri kepribadian tersebut sesungguhnya dapat dimiliki oleh anak dengan urutan kelahiran mana pun, asalkan orang tuanya sadar akan pentingnya keadilan dan kelayakan dalam memperlakuan semua anak tanpa kecuali, jadi, tidak ada alasan bagi seseorang untuk merasa bangga karena menjadi anak sulung atau anak dengan posisi khusus, dan sebaliknya seseorang tidak dapat merasa pesimistik karena menjadi anak yang tidak memiliki posisi khusus. Untuk mencapai prestasi yang tinggi, yang penting adalah kerja keras, kesungguhan, dan motivasi untuk berprestasi. Dalam teori kepribadian, Alfred Adler memberikan perhatian khusus kepada peranan posisi kelahiran dalam kepribadian seseorang. Anak sulung akan cenderung mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya simpai lahirnya anak kedua. Hal ini mengakibatkan anak sulung merata diabaikan. Kondisi ini dapat mempengaruhi kepribadian anak tersebut, misalnya membenci orang lain secara berlebihan, melindungi diri dari perubahan yang tiba-tiba, dan merasa tidak aman. Menurut Adler, orang-orang yang neurotik, kriminal, pemabuk seringkali adalah anak-anal sulung. Untuk mencegah akibat ini, ia menyarankan agar orang tua bersikap bijaksana dalam memperlakukan anak sulung apabila telah lahir anak berikutnya. Anak kedua dan anak tengah menurut Adler cenderung ambisius, ia berusaha untuk mengungguli kakaknya, la juga cenderung menjadi pemberontak, namun secara umum kemampuan penyesuaian dirinya biasanya lebih baik daripada kakak maupun adiknya. Di pihak lain, anak bungsu adalah anak yang dimanja. Seperti halnya anak sulung, akibat perlakuan yang dimanja itu, anak bungsu akan cenderung menjadi anak yang suka membuat masalah dan menjadi orang neurotik ketika dewasa. Beberapa penelitian untuk menguji kebenaran teori Adler melaporkan bahwa teori tersebut ada benar dan kelirunya. Seperti dalam kreativitas, faktor yang lebih menentukan kepribadian adalah sikap dan perlakuan orang tua terhadap anaknya serta persepsi anak itu sendiri terhadap posisi kelahirannya, bukan posisi kelahiran itu sendiri. Ciri-ciri Kepribadian Orang Kreatif Salah satu aspek kreativitas adalah kepribadian (personality) orang-orang kreatif. Aspek ini penting dipahami sebagai dasar dalam memberikan perlakuan yang sesuai kepada seseorang guna mengembangkan kreativitasnya. Ada ungkapan bahwa "the creative person must have a creative personality". Upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kreativitas hanya mungkin apabila dipahami lebih dahulu sifat-sifat kemampuan kreatif dan iklim lingkungan yang mengitarinya. Guilford mengemukakan bahwa dalam arti sempit ‘kreativitas' mengacu kepada kecakapan yang menjadi karakteristik orang-orang kreatif, yaitu orisinalitas, fleksibilitas, kelancaran, dan elaborasi. Kecakapan kreatif menentukan apakah individu dapat menampilkan perilaku kreatifnya sampai taraf tertentu. Apakah orang-orang yang memiliki modal kecakapan kreatif akan secara nyata menghasilkan karya-karya kreatif, tergantung kepada ciri-ciri motivasi, sikap, dan temperamennya. Oleh sebab itu, ada dua masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam telaah kreativitas, yaitu: bagaimanakah potensi kreativitas dapat diidentifikasi; dan bagaimanakah kepribadian kreatif dapat dikembangkan. Ciri-ciri kreativitas dapat dibedakan ke dalam ciri kognitif dan non-kognitif. Ke dalam ciri kognitif termasuk empat ciri berpikir kreatif, yaitu orisinalitas, fleksibilitas, kelancaran, dan elaborasi. Ke dalam ciri non-kognitif termasuk motivasi, sikap, dan kepribadian kreatif. Ciri-ciri nonkognitif sama pentingnya dengan ciri-ciri kognitif, karena tanpa ditunjang oleh kepribadian yang sesuai, kreativitas seseorang tidak dapat berkembang secara wajar. Misalnya, menurut tes berpikir kreatif, seseorang memiliki kemampuan berpikir orisinal, luwes, dan lancar. Namun ia pemalas dan mudah menyerah, maka kemampuan tersebut tidak akan berkembang. Dari penelitiannya terhadap 537 siswa sekolah menengah, Parloff & Datta (1965) menemukan bahwa - sementara tidak terdapat perbedaan dalam usia, IQ, bakat sains, status sosial-ekonomi, dan keutuhan keluarganya - ada perbedaan yang signifikan ciri-ciri kepribadian kelompok siswa yang tinggi, sedang, dan rendah kreativitasnya. Para siswa yang tinggi kreativitasnya cenderung lebih ambisius, mandiri, otonom, percaya diri, efisien dalam berpikir, dan perseptif. Sebaliknya kelompok siswa yang rendah kreativitasnya kurang memiliki kesadaran diri akan arti hidup sehat dan sejahtera, kurang dapat mengendalikan diri, lebih impulsif, kurang peduli akan kesan orang lain pada dirinya, dan kurang efisien dalam berpikir Cashdan & Welsh (1966) menemukan bahwa siswa SMA yang tinggi kreativitasnya lebih mandiri, mengusahakan perubahan dalam lingkungannya, dan relasi interpersonalnya lebih terbuka dan aktif. Sebaliknya siswa yang rendah kreativitasnya lebih rendah otonominya dan kurang menonjolkan diri. Studi lain dilakukan oleh Garwood 1964 terhadap para mahasiswa bidang sains. Mahasiswa yang tinggi kreativitasnya memiliki fleksibilitas kognitif yang tinggi, lebih dini tertank kepada sains, lebih dominan, pandai bergaul, dan dapat menerima dirinya. Sementara Piers (1970) mengungkapkan bahwa orang-orang kreatif cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, persisten, tidak puas pada apa yang ada, percaya diri, otonom, bebas dalam pertimbangan, menerima diri, senang humor, intuitif dalam berpikir, tertarik kepada hal-hal yang kompleks, sensitif terhadap rangsangan, dan toleran terhadap situasi yang tidak pasti. Munandar (1977) mengemukakan tujuh ciri sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang melekat pada orang-orang yang kreatif, yaitu: terbuka terhadap pengalaman baru dan luar biasa, luwes dalam berpikir dan bertindak, bebas dalam mengekspresikan diri, dapat mengapresiasi fantasi, berminat pada kegiatankegiatan kreatif, percaya pada gagasan sendiri, dan mandiri. Ketujuh ciri tersebut dijabarkan ke dalam 32 butir Skala Sikap Kreatif yang ia susun untuk penelitiannya. Masih banyak hasil telaah yang lain mengenai ciri-ciri kepribadian orang kreatif, misalnya dari Crutchfield (1971), Dellas & Gaier (1970), MacKinnon (1976), Goyal (1977), Ruggiero (1984), Arasteh & Arasteh (1976), Clark (1983), dan Bruch (1981). Berdasarkan survei kepustakaan, Supriadi (1985) mengidentifikasi 24 ciri kepribadian kreatif yang ditemukan dalam berbagai studi, yaitu: (1) terbuka terhadap pengalaman baru; (2) fleksibel dalam berpikir dan merespons; (3) bebas dalam menyatakan pendapat dan perasaan; (4) menghargai fantasi; (5) tertarik kepada kegiatan-kegiatan kreatif; (6) mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain; (7) mempunyai rasa ingin tahu yang besar; (8) toleran terhadap perbedaan pendapat dan situasi yang tidak pasti; (9) berani mengambil risiko yang diperhitungkan; (10) percaya diri dan mandiri; (11) memiliki tanggung jawab dan komitmen kepada tugas; (12) tekun dan tidak mudah bosan; (13) tidak kehabisan akal dalam memecahkan masalah; (14) kaya akan inisiatif; (15) peka terhadap situasi lingkungan; (16) lebih berorientasi ke masa kini dan masa depan daripada masa lalu; (17) memiliki citra diri dan stabilitas emosional yang baik; (18) tertarik kepada hal-hal yang abstrak, kompleks, holistik dan mengandung teka-teki; (19) memiliki gagasan yang orisinal; (20) mempunyai minat yang luas; (21) menggunakan waktu luang untuk kegiatan yang bermanfaat dan konstruktif bagi pengembangan diri; (22) kritis terhadap pendapat orang lain; (23) senang mengajukan pertanyaan yang baik; dan (24) memiliki kesadaran etik-moral dan estetik yang tinggi.

Sumber :

Disarikan dari “Kreativitas, kebudayaan & perkembangan Iptek” karya Dedi Supriadi

oleh : Miyarso Dwi Ajie, M.I.Kom mdajie@upi.edu | Prodi Perpustakaan & Informasi Universitas Pendidikan Indonesia