teori kreativitas Psikoanalis dan Assosiasionistik

Teori Psikoanalisis.

Pada umumnya teori-teori Psikoanalisis melihat kreativitas sebagai hasil mengatasi suatu masalah, yang biasanya mulai di masa anak. Pribadi kreatif dipandang sebagai seseorang yang pernah mempunyai pengalaman traumatis, yang dihadapi dengan memungkinkan gagasan-gagasan yang disadari bercampur menjadi pemecahan inovatif dari trauma.

a)Teori Freud

Menurut beberapa pakar psikolog kemampuan kreatif merupakan ciri pribadi yang menetap pada lima tahun pertama dari kehidupan. Sigmund Freud (1856-1939:32) adalah tokoh utama yang menganut pandangan ini. Ia menjelaskan proses kreatif dari mekanisme pertahanan, yang merupakan upaya tak sadar untuk menghindari kesadaran mengenai ide-ide yang tidak menyenangkan atau yang tidak dapat diterima. Karena mekanisme pertahanan mencegah pengamatan yang cermat dari dunia, dan karena menghabiskan energi psikis, mekanisme pertahanan biasanya merintangi produktivitas kreatif.

b)Teori Kris

Menurut Ernest Kris (1900-1957:33) menekankan bahwa mekanisme pertahanan regresi (berlaku ke perilaku sebelumnya yang akan memberikan kepuasan, jika perilaku sekarang tidak berhasil atau tidak memberikan kepuasan) juga sering muncul tindakan kreatif.

c)Teori Jung

Menurut Carl Jung (1875-1961:33) juga percaya bahwa ketidaksadaran memainkan peranan yang amat penting dalam kreativitas tingkat tinggi. Alam pikiran yang tidak disadari dibentuk oleh masa lalu pribadi. Disamping itu, ingatan kabur dari pengalaman-pengalaman seluruh umat manusia tersimpan di sana. Secara tidak sadar kita’mengingat’ pengalaman-pengalaman yang paling berpengaruh dari nenek moyang kita.

Teori psikoanalisis dikembangkan oleh Freud dengan konsep sublimasi sebagai titik tolaknya. Kemampuan sublimasi merupakan kemampuan merubah tujuan seksual asli menjadi tujuan lain. Perbedaan individu dapat terjadi karena kekuatan instink seksual dan kemampuan sublimasi tersebut. Menurut Freud dalam upaya mengadaptasi kesukaran hidup terdapat tiga alat/cara yang dapat ditempuh yaitu : (1) peralihan minat yang sangat kuat, (2) gratifikasi sunstantif, dan (3) substansi yang memabukkan. Kreativitas dalam hal ini dipandang sebagai pengganti yaitu alat yang dapat melepaskan diri dari kesukaran sehingga dapat mencapai berbagai tingkat kepuasaan dalam waktu yang terbatas.

Teori Assosiasionistik

Secara etimologis, asosiasi berasal dari bahasa Inggris yakni  association, yang berarti ikatan, atau hubungan. Asosiasi dalam psychological terminology adalah hubungan antara peristiwa yang ditangkap oleh cerebral cortex (salah satu bagian dari otak manusia) yang sebelumnya diproses  oleh sensorik atau motorik manusia. Bagian ini memadukan input dari berbagai saluran sensorik dan motorik yang memungkinkan dapat digunakan dalam belajar, mengingat, dan berpikir. Dengan demikian, associative learning dapat dimaknai sebagai proses belajar berdasarkan asosiasi (hubungan), yakni hubungan antaraperistiwa-peristiwa, maupun pengalaman-pengalaman yang pernah dialami oleh “si Pebelajar”. Peristiwa tersebut dapat diperoleh dari respon visual, auditorial, maupun kinestetik (bahasa tubuh).

Peristiwa dan pengalaman dapat berupa simbol-simbol, bagan, atau pengalaman kehidupan sehari-hari, seperti interaksi sosial, social symbol, dan lainnya. Simbol-simbol dapat berbentuk bangun ruang, seperti gambar lingkaran, persegi, atau elips. Sementara itu, bagan dapat berwujud seperti bagan organisasi, mindmap, concept map, dan flowchart. Sementara itu, social symbol atau physical symbols seperti serban, peci, jam tangan, anting-anting, sepatu, dan lain-lain.

Pembicaraan tentang asosiasi seringkali dihubungkan dengan teori Assosiasionisme. Asosiasionisme adalah aliran yang menekankan pada hukum-hukum asosiasi untuk menerangkan berbagai gejala kejiwaan. Aliran ini dibagi dalam dua bagian, yaitu Asosiasionisme Klasik dengan Hobbes sebagai tokohnya, dan Asosiasionisme Baru atau Neo-Associationism dengan Herman Ebinghaus (1850-1909) dan E.L. Thorndike (1874-1949) sebagai tokohnya

Ebbinghaus terkenal dengan penyelidikannya tentang proses lupa. Ia memberikan sederetan suku kata yang tak bermakna (non sense syllables) kepada orang-orang percobaannya, seperti pep, tet, det, dan sebagainya. Suku-suku kata yang tak bermakna ini lebih sukar diingat daripada kata-kata yang bermakna, demikian pendapat Ebbinghaus. Karena itu, suku-suku kata yang tak bermakna itu sangat sesuai untuk mengukur daya ingat seseorang. Dari hasil percobaannya, Ebbinghaus mendapatkan kesimpulan bahwa jumlah suku kata yang dilupakan jauh lebih besar pada saat orang percobaan baru saja mempelajari suku-suku kata itu, dibandingkan dengan mereka yang sudah agak lama mempelajarinya

Bagi Thorndike, ada 3 (tiga) hal yang dapat menjadikan asosiasi menjadi efektif, yaitu law of readiness,law of exercise, dan law of effect. Thorndike mengemukakan bahwa untuk mengajarkan sesuatu dengan baik kepada seseorang, orang tersebut harus ada kesiapan untuk menerima hal yang akan diajarkan itu. Dalam law experience perlu menyaratkan pengulangan-pengulangan dalam belajar agar diperoleh pemahaman yang baik. Sementara itu, dalam law of effect, asosiasi akan muncul jika berhubungan dengan kepuasan. Dengan kata lain, ketika seseorang dalam keadaan tertentu merasa puas, maka ia cenderung mengulangi perilaku yang telah memberinya kepuasan tadi. Sebaliknya, suatu tingkah-laku yang dalam kondisi tertentu tidak memberi kepuasan, maka dia akan tidak sekali-kali mengulanginya

Danah Zohar dan Ian Marshall menyebut dengan “pemikiran asosiatif”, atau “budaya asosiatif”. Pemikiran dan budaya asosiatif ini bagi Zohar dan Marshall berawal dari otak manusia yang dapat menumbuhkan koneksi-koneksi saraf baru. Dari koneksi tersebut muncullah kecerdasan. Dari koneksi-koneksi tersebut, otak dapat berpikir “seri”, linier, dan logis. Hal ini karena otak memiliki jalur saraf (neural tracts). Di samping itu, otak juga dapat berpikir asosiatif, yakni menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara lapar dengan nasi, antara rumah dengan kenyamanan, antara ibu dengan cinta, dan lain-lain. Struktur di dalam otak yang digunakan untuk berpikir asosiatif adalah neural network

Dalam membahas pemikiran asosiatif ini, Zohar dan Marshall memperkuat teorinya ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Pavlov, dengan teori conditioningnya.

Teori assosiasionistik berkenaan dengan kreativitas yang dipelopori oleh Ribot yang merupakan pelopor assosiasionist. Assosiasionist menunjukkan pada pertautan dalam proses mental sehingga suatu proses cenderung menimbulkan proses mental lainnya. Menurut teori assosiasionistik, dalam proses berfikir kreatif, berfikir analogis memainkan peranan penting.

Ribot (1960) adalah pelopor assosianistik modern yang berkenaan dengan kreativitas. Assosiasi adalah proses keadaan mental yang menyatu, sehingga suatu proses cenderung dapat menimbulkan proses lainnya. Sejalan dengan asosiasi, berfikir analogis merupaka hal yang penting dalam proses kreatif. Aspek kreatif intelektual terdiri atas proses yang saling melengkapi, yaitu assosiasi dan dissosiasi. Teori assosiasionistik berkenaan dengan kemampuan berfikr secara produktif dan menggunakan sejumlah ikatan assosiatif yang ada pada diri individu.

Rangkuman Teori Asosiasi

Berpikir merupakan asosiasi berbagai gagasan, dan berasal dari pengalaman.

Hukum: frekuensi, kekinian, kejelasan

Gagasan baru dikembangkan dari gagasan lama melalui trial & error.

Kreativitas merupakan pengaktifan koneksi mental untuk menemukan kombinasi gagasan.

Kreativitas dilakukan melalui asosiasi langsung atau analogi.

Makin banyak asosiasi makin kreatif