Tiga kata kunci psikoanalis Lacan

Yang Real (The Real)

Yang Real adalah dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasakan; wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia. Kondisi ini adalah semacam kondisi alami (the state of nature) nya Thomas Hobbes. Lacan menggambarkannya sebagai “saat kepenuhan” atau “keutuhan” (wholeness, unity) yang hilang ketika kita masuk ke dalam wilayah bahasa (Symbolic Order). Tetapi yang Real tetap berpengaruh, karena tidak dapat ditembus oleh fantasi dan struktur linguistik. Yang Real ini terjadi pada masa seorang anak berusia 0-6 bulan. Sang anak belum mampu membedakan dirinya dari orang tua dunia sekitarnya, yakni belum menyadari batas-batasannya.

Yang Real adalah suatu wilayah psikis yang belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan. Yang ada hanyalah pemenuhan utuh dan kesatuan sempurna. Wilayah yang Real pada mulanya dinikmati oleh subjek sebagai sesuatu kondisi yang tidak berkekurangan (pengalaman atau kondisi sebelum subjek terpisah dari kenikmatan tubuh dan rahim sang ibu). Karenanya, tidak ada bahasa di dalamnya, tidak ada kehilangan dan belum ada keterpisahan; sehingga yang Real tidak dapat dimediasi oleh bahasa. Kemudian, yang Real adalah sesuatu kehilangan yang tidak dapat diraih kembali, ketika subjek masuk ke dalam wilayah bahasa (Symbolic Disorder).

Dengan demikian jelaslah bahwa subjek selalu berada di wilayah perbatasan antara yang Simbolis dan yang Real. Melalui yang Simbolis, subjek berusaha memahami, meraih, dan mengungkapkan yang Real dan masuk kembali ke dalam kondisi “kesatuan”, tetapi selalu terlempar kembali. Nah, gap antara yang Real dan yang Simbolis ini menghasilkan trauma. Dan subjek hidup dengan menyandang trauma ini.


Yang Imajiner (The Imaginary)

Yang Imajiner ditandai dengan proses yang disebut dengan “tahap cermin” (mirror stage). Tahap ini terjadi saat yang berusia 6-18 bulan. Menurut Lacan, manusia dilahirkan secara premature, artinya mereka tidak dapat secara langsung mengkoordinasikan gerakan dan organ-organ tubuhnya hingga usia tertentu.

Tahap cermin mencakup dinamisme libidal disebabkan oleh identifikasi si anak dengan “Aku ideal” atau “ego ideal:. Tahap ini adalah tahap pengenalan awal dirinya sebagai aku, sebelum kemudian masuk ke dalam wilayah bahasa.

Masa ini merupakan masa peralihan dari tubuh terfragmentasi pada gambaran totalitas. Pengenalan diri dalam cermin menghasilkan perasaan kesatuan- diri yang narsistik ketika si anak melihat gambar dirinya terpantul di dalam cermin, ia akan membuat identifikasi imajiner dengan gambar tersebut. Si anak kemudian gembira dan kagum melihat dirinya di dalam cermin. Ini adalah sebuah penemuan kedirian. Namun, apa yang terpantul dalam cermin mengalami distorsi, artinya si anak masih tergantung tergantung dengan yang lain untuk keamanan fisik dan kesejahteraannya. Tubuhnya masih mengalami fragmentasi dan tidak terkoordinasi. Taha ini harus di transendensikan dengan individuasi berikutnya, tetapi tahap imajiner ini berlangsung terus dengan perangkap serta distorsinya dan terulang kembali dengan orang lain. Karena itu, analisis Lacan memberikan pengaruh besar pada analisis budaya kontemporer, iklan, televisi, ikonografi pop dan media komodifikasi politik. Semuanya memainkan peran kunci dalam pembentukan identitas, gender dan aspirasi, dimana masyarakat mereproduksi dalam tatanan imajiner.

Pada tahap cermin subjek beralih dari “kebutuhan primer” (need)  ke “tuntunan” (demand). Yang imajiner itu bersifat narsistik. Kebutuhan dapat  dipenuhi, namun tuntutan tidak dapat terpuaskan – karena kitadibawa ke arah suatu “kekurangan” (lack). Ketika sang anak tahu tubuhnya terpisah dari ibunya dan dunia, maka ia mulai cemas, karena merasa ada suatu yang hilang. Tuntutan anak adalah menjadikan yang lain bagian dirinya, sehingga sang anak tidak lagi berada dalam “kondsisi alami”. Tuntutan yang tidak terpenuhi menimbulkan ingatan akan “kehilangan” dan “kekurangan”. Keinginan (desire) berada dalam wilayah yang simbolik, sementara “tuntutan” (demand) hanya terbatas pada hubungan anatara diri dan objek.

Jadi, Ego mengalami keretakan, yakni: dirinya imaji tentang dirinya. Keretakan ini tinggal selamanya dan manusia berusaha menyatukan dirinya yang retak ini. Karenanya, ego selalu mempertanyakan serta mendambakan kesatuan yang utuh.

Yang Simbolis (The Symbolic)

Tantangan simbolik merupakan realitas yang telah diungkapkan melalui bahasa. Ia merupakan kerangka impersonal yang berlaku dalam masyarakat, sebuah arena dimana setiap orang mengambil tempat di dalamnya. Tahap ini terjadi pada seorang anak yang berusia 18 bulan – 4 tahun. Tatanan simbolik merupakan ranah makna social, logika dan diferensiasi yang di terima – di dalam dan melalui itu si anak mulai menampilkan keinginan dan karenanya membentuk sebuah subjek manusiawi.

Jika yang the Real terkait dengan “kebutuhan” (need) dan yang imajiner terkait dengan tuntutan (demand), maka yang simbolik terkait dengan keinginan (desire). Ketika kita masuk ke dalam wilayah bahasa, maka keinginan kita terkait dengan permainan bahasa (language game). Tatanan simbloik tidak bisa membatasi gerak keinginan manusia, karena manusia ingin mengatasi bahasa, misalnya cinta. Cinta dalam komunitas manusiawi hanya terbatas pada system simbolik antar manusia, namun manusia ingin melampauinya.

Bagi Freud keinginan melekat pada kehidupan psikis dan Nampak dalam mimpi dan berbagai ‘simptom’ (symptom). Libido juga mengandung makna keinginan.

Bagi Kojave, manusia pada dasarnya adalah keinginan (akan pengakuan). Keinginan menunjukan suatu kekurangan akan satu hal atau yang lain. Keinginan adalah ‘kehadiran dari ketidak hadiran’ (presence of absence).

Bagi Lacan, keinginan bukan merupakan ‘keinginan’ internal individu, tetapi pengalaman yang disituasikan dalam konteks kelainan (otherness). Walaupun keinginan adalah keinginan akan yang lain, tetapi keinginan tidak pernah mencapai objek keinginan. Namun kita tidak dapat melepaskan keinginan kita, karena tanpa keinginan kita tidak dapat menjadi subjek. Keinginan diatur oleh sebuah system linguistik atau tatanan simbolik. Dalam arti tertentu, keinginan bukanlah berasal dari diri kita, tetapi tercipta melalui fantasi (S. Zizek). Keinginan terletak dalam “kekurangan” (lack), karena fantasi tidak pernah bersesuaian dengan segala sesuatu dalam Real.

Apa yang di sebut Lacan sebagai “kenikmatan” (Jouissance), menyangkut baik yang menyakitkan maupun menyenangkan Jouissance mengatasi tatanan kata, keinginan fallik maskulin dan mengatasi kepuasan; jouissance terkait dengan feminitas. Jouissance sebagian mengganti kenikmatan yang hilang karena kastarsi. Tampaknya Jouissance menyentuh wilayah yang Real, mengatasi yang Imajiner dan yang Simbolik.

Setiap orang – secara terberi – sudah “dikutuk” untuk masuk ke dalam ‘yang simbolik’ sebagai penjara bagi subjek.

Yang Simbolis merepresentasikan diri dalam the Other dan the Big Other. Lacan menafsirkan kembali kompleks Oedipus Freud dengan menyatakan bahwa pemisahan pasangan imajiner anak/ ibu terjadi karena simbolisasi. Artinya kesatuan imajier si anak dengan ibunya terkoyak oleh pengaruh proses budaya dan social yang lebih luas. Hal ini terjadi karena masuknya sang ayah ke dalam dunia psikis si anak. Sang ayah mengacaukan hubungan libidal antara ibu dan anak, meretakan kesatuan imajiner yang nikmat dan mengarahkan si anak pada jaringan budaya yang lebih luas dan memaksakan tabu inses.

Inovasi Lacan terletak pada tekanan atas hubungan simbolik yang mengatur kehidupan sosial. Name-of-the-father atau Law-of-the-Father (Nom du pere) adalah kawasan linguistik sebagai kunci revisi komplek Oedipus. Menurut Lacan, sang ayah mengganggu hubungan ibu- anak dalam kapasitas simboliknya, sebagai wakil jejaring sosial budaya yang lebih luas dan tabu social tentang inses. Si anak dipisahkan  dari kebutuhan imajiner tubuh sang ibu dan dimasukan ke dalam dunia simbolik yang terstruktur. Si anak diekskomunikasikan dari yang imajiner dan harus belajar menampilkan diri dalam jejaring social dalam hubungan ini “phallus” lantas mendapat arti yang lebih luas dari “penis”. Jadi phallus merujuk pada num-du-pere, yang lebih daripada ayah aktual, tetapi suatu terstruktur yang mengendalikan kehidupan kita, yang membuat larangan-larangan pada tindakan kita, misalnya hukum, agama, pendidikan, dan kesehatan.