Semiotika

Manusia berfikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan simbolis tersebut merupakan ciri khas manusia, yang membedakannya dari hewan. Ernst Cassirer cenderung menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Cassirer menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol. (Cassirer,1944 : 23 - 26) Sebagai sistem simbol, kesenian berfungsi menata pencerapan manusia yang terlibat di dalamnya, atau menata ekspresi atau perasaan estetik yang dikaitkan dengan segala ungkapan aneka ragam perasaan atau emosi manusia. Simbol merupakan komponen utama dalam kebudayaan. Setiap hal yang dilihat dan dialami manusia diolah menjadi serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia (Suparlan dalam Rohidi, 2000 : 13). Di dalam simbol, termasuk simbol ekspresif, tersimpan berbagai makna antara lain berupa berbagai: gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dipahami; di dalam kesenian lebih tepat lagi dapat dihayati secara bersama. Oleh karena itu, kesenian sebagaimana kebudayaan, dapat ditanggapi sebagai sistem-sistem simbol. (lihat C. Geertz, 1973; Parsons, 1966)

Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut.

Umberto Eco (1979 : 48) menyatakan bahwa sebuah tanda senantiasa merupakan unsur dari penghalusan ekspresi yang berkorelasi menurut kaidah tertentu dengan satu atau beberapa unsur yang bermuatan isi. Karya seni merupakan simbol atau kategori tempat yang dibuat oleh manusia secara sengaja, di dalamnya termuat simbol manasuka (arbitrary symbol) maupun simbol ikonik (iconic symbol). Simbol-simbol dalam kesenian adalah simbol ekspresif, yang berkaitan dengan perasaan atau emosi manusia (Parsons, 1951), yang digunakan ketika mereka terlibat dalam kegiatan atau komunikasi seni.

Pendekatan semiotika dipilih dalam kritik seni karena semiotika merupakan salah satu pendekatan yang sedang diminati dewasa ini. Semiotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. (Panuti Sudjiman & Aart van Zoest, 1992) Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya : lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo  Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya (Aart van Zoest, 1978 dan Lavers, t.th.)

Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Peirce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.

Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebut oleh Peirce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa Indonesia disebut "acuan". Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual.

Di samping itu tanda diinterprestasikan. Hal ini menunjukkan setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant di sini jangan dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang menunjukkan penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (lihat Sudjiman, 1991)

Aart van Zoest (1978) dengan mengutip pendapat Peirce yang membagi keberadaan menjadi tiga kategori : Firstness, Secondness dan Thirdness, membagi tanda berdasarkan ground dari tanda-tanda tersebut sebagai berikut : (1) Qualisign, (2) Sinsign, dan (3) Legisigns. Awalan kata Quali- berasal dari kata "quality", Sin- dari "singular", dan Legi- dari "lex" (wet/hukum).

Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan.

Sinsign (singular sign) adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bisa merupakan sinsign. Misalnya suatu jeritan, dapat berarti heran, senang, atau kesakitan. Seseorang dapat dikenali dari caranya berjalan, caranya tertawa, nada suara dan caranya berdehem. Kesemuanya itu adalah sinsign. Suatu metafora walaupun hanya sekali dipakai dapat menjadi sinsign. Setiap sinsign mengandung sifat sehingga juga mengandung qualisignSinsign dapat berupa tanda tanpa berdasarkan kode.

Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa adalah kode, setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu second yang menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan yang berlaku umum, maka legisign sendiri adalah suatu thirdness.

Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Peirce membedakannya menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu : (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol. Hal ini dinyatakan sebagai berikut : Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. (3) Akhirnya hubungan ini dapat pula berbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol.

Tanda ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan di antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.

Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi Peirce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya. Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan sebagainya.

Simbol adalah suatu tanda, di mana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi). Misalnya tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.

Ditinjau dari hubungan tanda dengan interpretannya, tanda dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Rheme bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan, (2) Decisign (dicentsign) bilamana antara lambang itu dan intepretannya terdapat hubungan yang benar ada (merupakan secondness), (3) Argument bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan thirdness).

Menurut pendapat Aart van Zoest, adanya tanda ditentukan oleh 3 (tiga) elemen, yaitu : (1) tanda yang dapat dilihat atau tanda itu sendiri, (2) sesuatu yang ditunjukkan atau diwakili oleh tanda, (3) tanda lain dalam pikiran penerima tanda. Di antara tanda dan yang diwakilinya ada sesuatu hubungan yang menunjukkan representatif yang akan mengarahkan pikiran kepada suatu interpretasi.

Hal ini menunjukkan representasi dan interpretasi merupakan karakteristik tanda.

Tanda mempunyai arti langsung dari suatu tanda yang telah diketahui bersama atau yang menjadi pengertian bersama yang disebut denotasi. Sedangkan pengertian tak langsung atau arti ke 2 dari denotasi tadi disebut konotasi. Tanda yang diberi arti sepihak oleh penerima disebut symptom, dengan demikian artinya konotatif. Pengertian symptom sendiri adalah jika suatu tanda tidak dimaksudkan tanda oleh pengirim tanda.

Selanjutnya menurut Aart van Zoest, studi semiotika dibagi menjadi 3 (tiga) daerah kerja, yaitu : (1) Semiotik Sintaksis, studi tanda yang dipusatkan pada penggolongannya, dan hubungan dengan tanda-tanda yang lain caranya berkerja sama dalam menjalankan fungsinya. Namun semiotik sintaksis tidak hanya dibatasi mempelajari hubungan antara tanda di dalam sistem tanda yang sama, melainkan juga mempelajari tanda dalam sistem lain yang menunjukkan kerjasama. Misalnya dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada dasarnya berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerja sama. (2) semiotik semantik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan acuannya (denotasi), serta interprestasi yang dihasilkan. (3) semiotik Pragmatik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan pemakai tanda Dengan adanya tiga tataran tersebut, maka akan semakin lengkap usaha untuk mempelajari 'gramatika' sistem semiotika tertentu. Perbedaan yang paling penting dalam taraf pragmatik adalah di antara symptom-symptom dan signal-signal. yang dimaksud dengan symptom adalah bila suatu tanda tidak dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Sedangkan signal adalah suatu tanda yang memang dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Dalam signal ada aspek repretentatifnya, ada denotasi tertentu, berbeda dengan symptom yang tidak memiliki denotasi tertentu yang sengaja diberikan. Pada situasi komunikasi, perhatian pertama ditujukan kepada signal, namun dalam situasi demikian bisa juga muncul symptom-symptom yang tidak disengaja. Menurut Aart van Zoest, justru terkadang symptom memiliki kekuatan kebenaran yang lebih jika dibanding dengan signal, karena signal dapat berbohong, sedangkan symptom tidak.

Sehubungan dengan uraian di atas, semiotika sebagai pendekatan meninjau karya adalah dengan melakukan kritik terhadap karya-karya yang dibuat. Unsur kritik dalam meninjau karya adalah perian atau deskripsi, yaitu menyebutkan, mencatat dan melaporkan hal yang tersaji secara langsung yang tampak melalui penglihatan mengenai wujud. Unsur kedua adalah orakan atau analisis, yaitu menyatakan bagaimana suatu hal yang disebutkan dalam perian tergambar atau tersusun, dengan menyatakan sifat, kualitas dan elemen-elemen seni rupa (garis, warna, bidang, tekstur) bertalian dengan yang telah diuraikan. Unsur ke tiga adalah tafsir atau interprestasi, yaitu menyatakan atau mengutarakan makna dari hasil seni. Unsur yang ke empat atau terakhir adalah menyatakan nilai atau mutu hasil seni. (lihat Feldman, 1967 dan Garret, 1978)

Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat karena Karya seni merupakan suatu tanda yang diciptakan seniman yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda.

Komposisi merupakan salah satu aspek pokok pertama yang dilihat penonton dalam karya seni, sebab dapat mengkomunikasikan visi seniman dalam arti karya seninya kepada pengamat. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seperti tekstur, garis, bidang dan sosok gumpal, yang disusun dalam satu kesatuan, akan memberikan kesan yang berbeda-beda, misalnya stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara qualisign (istilah dalam ilmu semiotik) garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian, bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign menggambarkan kekokohan, kestabilan, kemegahan dan kekuatan. Garis diagonal menandakan tidak dalam keadaan seimbang, sehingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah dan meliuk. Garis yang dibuat zig-zag secara qualisign menyiratkan semangat dan gairah. Garis horisontal juga menunjukkan tanda ikonis, karena mengingatkan benda-benda yang di alam seperti cakrawala, pohon yang tumbang dan lain-lain. Garis vertikal secara ikonis dapat diasosiasikan pokok pohon, dinding gedung dan batu karang. Garis diagonal sebagai tanda ikonis bertautan dalam ingatan pada pucuk-pucuk pohon yang di tiup angin, orang berlari dan kuda yang sedang melonjak. Sedangkan garis bengkok atau melengung, berkaitan dengan gerak ombak yang mengalun menuju pantai.

Seperti yang telah disebut di muka, warna merupakan qualisign, sifat merah dapat dipakai sebagai tanda bahaya dan larangan. Selain itu, sifat merah yang panas dapat dipakai untuk menunjukkan gairah, semangat dan cinta. Biru secara qualisign memperlihatkan kedalaman dan ketenangan. Kuning menerangkan kehangatan dan keramahan. Putih mengesankan sesuatu yang terang, ringan dan netal. Hitam secara qualisign menandakan suatu kedalaman, kekokohan dan keabadian.

Sebagai tanda ikon, warna biru mengingatkan pada langit, warna putih bertautan dengan awan, warna kuning mengingatkan pada bulan, warna merah pada matahari dan bunga mawar, warna hitam pada batu.

Tekstur atau barik adalah nilai raba suatu permukaan, secara qualisign tekstur memperlihatkan sifat keras, halus, lunak, kasar atau licin. Sebagai tanda ikon, barik keras mengingatkan pada tekstur batu, barik halus dapat diasosiasikan pada kapas, barik lunak bertautan ingatan pada helai bunga dan daun muda, barik kasar berkaitan dengan ingatan pada kulit kayu dan pasir, barik licin mengingatkan pada lumut.