Konsep yang melatari kritik seni untuk Otokritik

Dalam kesenian sering disebutkan bahwa karya yang dihasilkan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya seni tradisional, konvensional atau klasik, kemudian dapat dikelompokkan sebagai karya seni moderen, dan terakhir dalam pembagian klasifikasi adalah karya seni post-modern atau kontemporer. Masing-masing kategori tentunya mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kategori yang lain.

Terkait dengan relasi pertandaan pra-modernisme, modernisme, dan post-modernisme, terlihat perbedaan relasi pertandaan yang sangat mencolok dalam bidang seni rupa dan desain. Pada masa klasik atau pra-modernisme, seni berfungsi menyampaikan pesan-pesan ideologis atau spiritual yang sudah mapan secara konvensional. Pada abad pertengahan, seni lebih banyak diwarnai upaya penyampaian tanda tentang wahyu, ajaran, atau kebenaran lewat ikon-ikon. Hal ini secara umum dapat digambarkan dalam sebuah prinsip: form follows meaning, yang artinya bentuk selalu bermuara pada makna-makna ideologis atau spiritual.

Pada masa moderen, seni berusaha menolak keterkaitannya dengan makna-makna ideologis atau spiritual, dan berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu sendiri. Seni moderen berusaha melepaskan diri dari perangkap mitos, tradisi, kepercayaan, dan konvensi sosial. Sebagai gantinya, modernisme mengajukan prinsip: form follows function, yang artinya bahwa setiap ungkapan bentuk pada akhirnya akan menyandarkan maknanya pada aspek

fungsi dari suatu obyek. Dalam seni murni, aspek fungsi dapat dijelaskan dengan istilah formalisme, yang maksudnya sebuah bentuk dikatakan bermakna bukan berdasarkan relasi strukturalnya dengan realitas di luar bentuk tersebut, tetapi relasi formal di antara elemen-elemen seni rupa seperti: garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur, yang membangun bentuk tersebut, dan sekaligus menentukan fungsinya.

Pada seni post-modernisme, relasi pertandaan lebih bersifat ironis dengan menolak acuan penanda pada makna ideologis yang konvensional, sekaligus juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Post-modernisme meminjam dan mengambil tanda-tanda dari periode klasik dan moderen, bukan untuk menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, tetapi untuk menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional, dan meleburkan diri dalam ajang permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, sebagaimana dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Post-modernisme mengajukan satu prinsip baru pertandaan: form follows fun, yang maksudnya dalam post-modernisme bukan makna-makna ideologis yang ingin dicapai, tetapi justru kegairahan dalam bermain dengan penanda. (lihat Piliang, 1999 : 121 – 124)

Kritik seni merupakan pembicaraan mengenai karya seni, sedangkan kritik seni rupa adalah pembicaraan mengenai karya seni rupa. Guna mewujudkan tujuan tersebut, maka diperlukan cara pertimbangan penilaian yang akan mempermudah dalam memahami karya seni rupa dengan segala aspeknya, baik faktor intraestetik maupun ekstraestetik.

Kreasi dan apresiasi merupakan tindakan penciptaan karya seni oleh pencipta karya seni atau seniman dan pemanfaatan / penghargaan oleh pemakai seni (user) untuk memenuhi kebutuhan estetik sesuai dengan pedoman pada model pengetahuan yang ada dalam kesenian yang didukungnya, dan berpegang pada tradisi yang berlaku. Penciptaan atau kreasi karya seni dipengaruhi faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman dan

pemakai seni / user. Pendekatan intraestetik, yaitu faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsur struktur, bentuk, dll.) dengan kriteria yang ditetapkan universal oleh para ahli seni. ( bandingkan H. G. Blocker, 1979 : 22–24 ; M. Dufrenne, 1979 : 301-329; T. Munro, 1969 : 358 - 360)

Faktor intraestetik sering juga disebut dengan penilaian formalisme yang menempatkan unsur-unsur estetika dalam suatu karya seni merupakan tinjauan utamanya. Melalui penilaian formalisme, maka kritik lebih bersifat mementingkan bentuk-bentuk visualnya. Penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Menurut Edmund Burke Feldman, seorang formalis adalah yang melihat hubungan antara perencanaan dan perhitungan menjadi sesuatu yang jelas dan benar-benar sama bobotnya. Karya-karya Mondrian dianggap lebih jelas bagi kaum formalis karena dalam karyanya cenderung mengurangi suatu akibat yang bersifat kebetulan. (lihat Feldman, 1967 : 459)

Pendekatan formalisme dalam menelaah karya seni rupa dengan cara memandang obyek utamanya atau karakteristik materialnya, sehingga masalah kecakapan dalam mengolah bentuk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni dalam mewujudkan karya seninya yang kasat mata merupakan pokok perhatian utama pendekatan ini. Penilaian formalisme dapat dilakukan dengan cara mengurai secara obyektif seluruh tampilan visual dengan pendekatan kontruktif dan struktural pada formalitas bentuknya. Pengorganisasian dari elemen-elemen visual merupakan bagian terpenting dalam penilaian mewujudkan sebuah karya seni.

Formalisme sebagai suatu teori dalam kritik seni cenderung mengkesampingkan atau mengabaikan faktor ekstraestetik atau faktor-faktor di luar karya seni yang dinilai, seperti faktor nilai-nilai estetika yang berhubungan dengan latar belakang pencipta karya, faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, pendidikan, dan religi.

Berlawanan dengan penilaian formalisme, penilaian ekspresifisme lebih tertarik dengan memperhatikan faktor perasaan dan emosi seniman dalam menghasilkan karyanya. Hal ini disebabkan dalam pendekatan ekspresifisme, faktor unsur-unsur pribadi dalam diri pencipta karya secara disadari atau tidak disadari akan hadir dalam karya-karya yang dihasilkannya. Pendekatan ekspresifisme lebih tertarik kepada karya seni rupa yang diwujudkan melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan yang ada dalam diri seniman. Pendekatan ekspresifisme merupakan kombinasi dari pendekatan faktor intraestetik dan ekstraestetik dalam batas-batas tertentu.

Faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman menjadi pertimbangan penilaian karya seni yang dihasilkannya. Faktor ekstra-estetik ini disebut juga dengan penilaian instrumentalisme, karena tidak hanya mengkaji ungkapan perasaan atau emosi pencipta karya seni seperti pendekatan ekspresifisme, tetapi suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi kehidupan seniman. Pendekatan instrumentalisme merupakan teori pendekatan karya seni rupa yang mencoba mengkaji kaitan antara karya seni yang dihasilkan dengan latar belakang penciptanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk menilai karya seni rupa kontemporer, karena pendekatan ini mencurahkan perhatiannya kepada tema, narasi dan kontekstual gagasan dari karya seni kontemporer yang dihasilkan. Penilaian instrumentalisme cenderung memandang karya seni rupa sebagai tekstual yang dikaitkan dengan kontektual karya tersebut, dan menyadari bahwa karya seni sebagai bentuk “pengabdian” untuk menjalankan beberapa pesan dan tujuan di luar dirinya.

Berdasarkan beberapa uraian penilaian di atas, tampaknya karya yang disajikan oleh seniman dapat mewakili ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, dari masing-masing seniman yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidupnya. Karya seni cenderung berbeda dalam corak dan ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik, seperti dalam seni kontemporer relasi pertandaan cenderung menolak acuan penanda pada makna

ideologis yang konvensional, dan juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Seni kontemporer menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru, dan menghanyutkan diri dalam arena permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, dan setiap orang dibebaskan untuk menginterpreatsikan serta memaknai karya seni kontemporer secara terbuka sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan pengalamannya.

Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan dengan gaya selera penulisan media massanya.
Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincangbincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni.
1. Deskripsi
Deskripsi dalam kritik seni adalah suatu penggambaran atau pelukisan dengan katakata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya  berhasil dikumpulkan.
Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya, dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran.

2. Analisis Formal
Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses pewujudan karya beserta urutannya.
Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandinganperbandingan mulai dapat dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan bentuk.

3. Interpretasi 

Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479) 

Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya, dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah interpretasi yang tepat. 

4. Penilaian 

Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka 85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga bukan dengan huruf A untuk hasil yang 

sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus. 

Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsurunsur dalam karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masingmasing nilai dijumlahkan kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah, tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat. 

Pada sisi yang lain, ada anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya, kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut pandang tertentu yang melatarbelakanginya