Aspek yang dikritik

Sebuah karya seni dibuat atau diciptakan bukan sekedar untuk ditampilkan untuk dilihat dan didengar saja, tetapi penuh dengan gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunikasikan penciptanya. Di samping itu, penciptaan karya seni juga diharapkan dapat merespon ruang dan waktu di mana dia diciptakan. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan bentuk, gaya perseorangan, kreatifitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Para kritikus seni diharapkan mampu mengkomunikasikan serbaneka aspek-aspek tersebut di atas beserta nilainya kepada masyarakat. 

Suatu karya seni yang baik, bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau suatu manifestasi sembarangan, dan mencipta asal jadi. Penciptaan karya seni yang baik membutuhkan pemikiran dan perenungan yang dalam, serta adanya dorongan menyeluruh yang kuat dari berbagai aspek. Pada saat ide atau gagasan muncul dan hendak diwujudkan dalam sebuah karya seni, seniman tentunya mulai mempertimbangkan bahan dan teknik yang bagaimana yan sesuai untuk mewujudkan ide atau gagasan tersebut. Falsafah hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik. Hal ini bukan berarti seorang seniman harus menjadi filsuf seperti Emanuel Kant, Georg Wilhelm Friederich Hegel, dan sebagainya terlebih dahulu sebelum menjadi seniman. Jika seorang seniman dituntut menguasai filsafat seperti filsuf dengan melahirkan sistem filsafat baru yang lengkap, maka gagalah seniman tersebut dalam berkarya seni, dan akhirnya justru menjadi filsuf baru serta batal menjadi seniman. 

Falsafah seorang seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan pangkal artistiknya. Jika dalam sejarah seni rupa moderen dikenal Piet Mondrian, Filippo Tornasso Marinetti, Ozenfant, Andre Bretton yang berurutan dikenal sebagai pelopor neo plastisisme, futurisme, purisme dan surealisme, karena mereka adalah seniman kreatif sekaligus pelopor yang selalu berfikir, merenung, menghakekati fenomena dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, ke mana, sejauh mana, dan sebagainya. Singkat kata Piet Mondrian berpendapat “We want to penetrate nature in such a way that the inner construction of reality is revealed us”. Baginya, alam selalu berubah dapat disiasati sampai pengalaman bentuk tertentu. Seni mempunyai pengertian yang intuitif dan matematis yang merupakan representasi fundamental dari alam kosmos. Bentuk matematik ini sebagai sesuatu yang universal. Berdasarkan pandangan filosofis tersebut diketahui siapa sesungguhnya Piet Pondrian. Pandangan semacam ini pada masanya merupakan hal baru dan masih segar dalam perkembangan seni rupa, sehingga sangat berharga karena kreatif. Landasan filosofis gerakan futurisme kutipannya sebagai berikut: “A new beauty … a rearing motorcar, which runs like a machine gun is more beautyful than the winged victory of Samothrace … we wish to glorifi, war …” (lihat Sudarmaji, 1979 : 26) 

Keseimbangan pada rangkaian bunga di Cina menggunakan paradok Taoisme yang dikenal dengan istilah Yin Yang (Im Yang), yaitu mencari jalan tengah antara unsur positif dan negatif. Jika kedua unsur yang tampaknya saling bertentangan itu  dalam keadaan imyang, maka dapat dikatakan dalam keadaan selaras dan produktif. Apabila rangkaian bunga terdiri hanya salah satu unsur saja, positif atau negatif, maka dikatakan disharmonis atau berkeseimbangan kuno yang simetris. Bangsa Cina melihat keseimbangan dan harmoni dengan belajar kepada alam. Bukankah keseimbangan tampak pada sesuatu yang kelihatannya bertentangan seperti pria dan wanita yang merupakan sepasang pengantin? Hal ini serupa dengan konsepsi seni dan sistem simbolisme Jawa yang melihat keseimbangan atau keselarasan berdasarkan klasifikasi simbolis dua kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori, oleh orang Jawa dikaitkan pada hal-hal yang berlawanan, bertentangan, bermusuhan, atau justru yang saling membutuhkan. Positif – negatif, baik – buruk, tinggi – rendah, panas – dingin, halus – kasar, kanan – kiri, siang – malam, dan lain-lain merupakan perbedaan yang mendasari sistem klasifikasi dua kategori. 

Konsep klasifikasi dua kategori ini seperti gula Jawa atau gula kelapa yang wujudnya setengah lingkaran karena dicetak menggunakan bathok kelapa. Gula Jawa dalam wujud dan ukurannya dikenal dengan istilah lirang dan tangkep. Meskipun lirang wujudnya setengah dari tangkep (setengah lingkaran), lirang itu sendiri memiliki pengertian yang utuh. Ia tidak lazim disebut setengah tangkep. Selirang ditambah selirang menjadi dua lirang, tetapi dua lirang yang disatukan menjadi setangkep atau satu tangkep. (lihat Bahari, 2004) 

Keutuhan wujud itu memang setangkep, meskipun lirang itu sendiri juga utuh sebagai kesatuan. Ringkasnya hal ini memberi pelajaran tentang prinsip satu ditambah satu sama dengan satu, walaupun dua juga. Klasifikasi dua kategori ini sering juga disebut sebagai dwitunggal atau dua menjadi satu. Dwitunggal ini juga merupakan simbol dari konsep jumbuhing kawulo-Gusti, yaitu suatu tingkat pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual manusia. Pada tingkat mutakhir terjadi manunggal Subyek – Obyek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan, kawruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan. 

Simbolisasi dua kategori ini secara visual juga sering diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni. Dalam alam pikiran orang Jawa ada kecenderungan kedudukan yang tinggi sering dikaitkan dengan hal-hal yang asing, formal, kanan, suci, dan halus. Sebaliknya kedudukan yang rendah dikaitkan dengan hal-hal yang dekat, informal, kiri, profan, dan kasar. 

Orang Jawa berdasarkan kategori “kanan” dan “kiri” mewujudkannya dalam sopan santun dengan menganggap melakukan sesuatu dengan tangan kanan lebih baik, halus, dan beradab; sebaliknya melakukan sesuatu dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, kurang ajar, dan biadab. Sejak masih kecil, anak-anak orang Jawa sudah diajarkan untuk makan menggunakan tangan kanan. Dalam pertunjukan wayang kulit, tokoh-tokoh yang jahat disusun berjajar di sebelah kiri dalang; sedangkan tokoh-tokoh yang baik dan pihak yang benar disusun di sebelah kanan dalang. 

Dalam legenda Jawa, setelah Allah SWT menciptakan dunia, keturunan Nabi Adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu alur panengen atau keturunan kanan yang di dalamnya termasuk Nabi Muhammad SAW, tokoh-tokoh suci agama Islam, dan para Wali di Jawa yang menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan kiri atau alur pangiwa meliputi para dewa Hindu, para pahlawan ceritera-ceritera Mahabharata dan Ramayana, yang menurunkan dinasti-dinasti “kiri” raja-raja Jawa. (Pigeaud, 1967 : 151) Hal ini mungkin sengaja diciptakan oleh pujangga kraton untuk mensyahkan proses integrasi unsur agama dan budaya Islam ke dalam krebudayaan kraton pada paruh kedua abad ke 18 hingga awal berikutnya. (lihat Koentjaraningrat, 1994 : 431) 

Secara psikologis, langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan. Ilmu jiwa fenomenologi memberikan pelajaran kepada kita bahwa peristiwa mengamati itu sesungguhnya bukan peristiwa lepas yang berdiri sendiri sebagaimana pandangan yang pernah dianut ilmu jiwa unsur. Terhadap stimulus yang datang, seseorang akan menenangkap makna yang personal sesuai dengan pengalamannya. 

Arti stimulus jelas berbeda bagi setiap individu karena dalam rangkaian pengalamannya yang disimpan dalam memorinya ketika menjalani masa lalu. Sebaliknya bisa berbeda lagi lantaran endapan cita-citanya ke masa depan. Sebagai contoh ketika seseorang mendapatkan stimulus bunga anyelir, orang tersebut seketika berseri wajahnya karena teringat pengalaman masa lampau yang menggembirakan dan tak terlupakan ketika ketemu Si Manis dengan anyelir yang mencuri hatinya, dan telah menjadi kekasihnya yang sangat dicintainya hingga sekarang. Sebaliknya bagi orang lain ketika menerima stimulus bunga anyelir justru langsung jatuh pingsan, karena dengan anyelir didekapan anaknya yang bungsu menjadi berkeping-keping digilas truk gandengan sewaktu aanak tersebut tertatih-tatih menyeberang jalan raya. (lihat Sudarmaji, 1979 : 26) 

Tanggapan orang terhadap bunga anyelir seperti contoh di atas berbeda-beda, dan terbentuk suatu keadaan jiwa atau suasana hati (mood) yang berbeda. Seandainya harus mengungkapkan keluar ekspresi ini, yang melihat akan mendapatkan manifestasi yang sangat lain. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa manifestasi karya seni adalah manifestasi perseorangan, sehingga dalam mengevaluasi sebuah karya seni tidak boleh terlalu kaku berpegang pada kriteria yang umum sifatnya atau justru apriori terlebih dahulu karena sudah mempunyai atau mempersiapkan kriteria sebelumnya. 

Kondisi pribadi seseorang dan juga latar belakangnya mempengaruhi persepsi yang diterimanya. Setiap orang memberikan respon atau tanggapan kepada stimulus berdasarkan pengalaman atau cita-citanya. Sudah menjadi kodratnya bahwa setiap manusia berbeda dengan watak serta temperamentalnya. Banyak ahli ilmu jiwa yang mempelajari dan meneliti secara khusus watak manusia yang dinamakan karakterologi, seperti Ludwig Klages, Carl Gustav Jung, Heymans, Kretchmer, dan sebagainya. 

Sebagai contoh, Carl Gustav Jung secara garis besar membagi manusia menjadi dua tipe, yang pertama adalah seseorang yang jiwanya selalu menoleh keluar atau exstrovert, dan tipe kedua justru kebalikannya yang jiwanya selalu menoleh ke dalam disebut introvert. Tipe extrovert mempunyai kecenderungan dengan mudah menanggapi peristiwa di luar dirinya. Wataknya riang gembira, terbuka dan tidak pendendam, suka meniru, dan suka bercanda atau tidak serius. Tipe introvert kebalikannya, cenderung tafakur dan punya hati tertutup. Kuat imajinasi dan fantasinya daripada mengamati dengan teliti. Teori watak Jung ini bersesuaian dengan hasil penelitian Viktor Lowenfeld, seorang sarjana Amerika berasal dari Austria yang berulangkali meneliti dan menyelidiki seni rupa anak. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lowenfeld menggolongkan gambar anak menjadi dua kelompok, pertama yang menunjukkan adanya pengamatan yang kuat sehingga menghasilkan karya yang cenderung realistis disebutnya dengan anak tipe visual; kedua adalah kelompok anak yang imajinasinya kuat, dan menghasilkan karya yang cenderung non visual. 

Secara psikologi manusia menangkap gejala di sekelilingnya secara pribadi atau personal terutamam dalam hubungan dengan penciptaan kesenian. Selain itu secara psikoanalis diketahui bahwa di samping dikendalikan oleh kesadarannya, manusia juga dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Bahkan pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud, antara kesadaran dan ketidak sadaran manusia dapat diibaratkan berbanding sebagai gunung es di tengah lautan, atau satu berbanding sembilan. 

1. Gaya Perseorangan / pribadi 

Berhubung pribadi manusia yang terbentuk kokoh dan kuat, serta dibina oleh unsur dari dalam (internal), sekaligus juga unsur yang datang dari luar (eksternal), atau dengan kata lain unsur subyektif dan obyektif, maka para seniman yang bermutu akan menghasilkan karyakarya yang mempunyai ciri khas pribadi dengan simbol-simbol yang pribadi dalam perambahannya di dunia kesenirupaan. Dalam proses kelahiran karya seninya, terbuka peluang bagi pengembangan pribadi dalam karyanya, yang hasilnya terus diuji berulang-ulang melalui simbol-simbol dalam sistem pemberian makna bersama. Inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gaya individual dalam ciptaan atau tampilan seni. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa fungsi dari seni itu beroperasi dalam konteks situasi yang berbeda-beda, dan ekspresi gaya berkaitan dengannya. Orang yang hidup dalam suatu lingkungan kebudayaan akan memberi pedoman untuk bertindak dalam suatu kerangka pola bagi kelakuan, yang terwujud dalam bentuk kebiasaan, kesepakatan, dan berbagai cara penanggulangan yang dipranatakan dalam kehidupan sosialnya, di mana perwujudan karya seni yang mencerminkan suatu kelompok juga menjadi ciri-ciri umum yang mendasari ciri-ciri pribadi. Pengertian ini menunjukkan meskipun gaya individual sangat menonjol dalam karya seni tersebut, akan diterima secara sosial jika terdapat asas-asas di dalamnya yang dapat dipahami secara bersama. 

Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut. 

2. Tema 

Tema merupakan gagasan yang hendak dikomunikasikan pencipta karya seni kepada khalayak. Tema yang hadir dalam sebuah karya seni, misalnya tema-tema sosial, budaya, religi, pendidikan, politik, pembangunan, dan sebagainya. Aspek yang dapat dikritisi dalam hal ini adalah sejauhmana tema tersebut dapat menyentuh penikmat karya seni pada nilai-nilai tertentu dalam kehidupannya sehari-hari atau mengingatkan pada hal-hal tertentu. 

3. Kreatifitas 

Pengertian orang kreatif adalah orang yang selalu berkreasi, sedangkan pengertian berkreasi adalah membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya menjadi ada. Prinsip dasar dari kreatifitas, dan inovasi adalah memberi nilai tambah pada benda-benda, cara kerja, cara hidup dan sebagainya, agar senantiasa muncul produk baru dan lebih baik dari produk yang sudah ada sebelumnya. 

Penciptaan sebuah karya seni mengandung pengertian mewujudkan suatu karya seni yang mempunyai arti dan nilai baru. Misalnya untuk membuat sebuah patung, seniman memanfaatkan batu sebagai media karyanya dengan cara memahatnya, sehingga menghasilkan sebuah patung yang tidak berwujud sebuah batu alam yang utuh lagi. Ketika batu alam untuk pertamakali dimanfaatkan sebagai media patung, maka orang yang pertamakali melakukannya dapat disebut sebagai orang yang kreatif dan inovatif. Bagaimana dengan orang berikutnya yang ingin membuat patung dengan memanfaatkan batu alam? Apakah masih bisa disebut sebagai seorang yang kreatif atau sekedar peniru saja? Meskipun masih menggunakan media batu alam yang sama, masih terbuka lagi kemungkinan kreatifitas dengan penggunaan bahan batu alam menjadi patung. Kreatifitas lain dapat muncul dari hal-hal seperti cara memahatnya, cara membentuknya, dan wujud akhir patung yang dihasilkan, mungkin secara prinsip sangat lain dari yang sudah diciptakan pematung sebelumnya. Seniman kreatif adalah orang yang selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membuat sesuatu yang baru dan asli. Guna mewujudkan keinginannya yang kreatif, maka harus sering melakukan percobaan-percobaan dengan menghubungkan beberapa hal menjadi sesuatu yang baru dan lebih berarti. 

Kreatifitas di sini sangat erat kaitannya dengan gaya perseorangan, karena proses penciptaan karya seni merupakan perpaduan faktor internal dan eksternal. Dalam tinjauan psikologi telah disebutkan bahwa setelah persepsi akan memunculkan personalisasi, dan ditambah dengan kekayaan visi serta falsafah hidup yang hakiki, merupakan landasan dasar perseorangan yang berbeda dengan orang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan karya Paul Klee menjadi khas, berbeda dengan rusli, tidak sama dengan Diego Rivera atau Jackson Pollock. 

4. Teknik mewujudkan karya 

Ketika seniman mempunyai gagasan, maka dipikirkannya bagaimana tata cara mewujudkan idenya tersebut, atau dengan kata lain bagaimana cara mentransformir wujud 

yang idiil menjadi sensuil sehingga bernilai sebuah karya seni yang bermutu tinggi. Teknik untuk mewujudkan karya antara lain teknik dalam mengolah bahan untuk mewujudkannya dengan cara-cara khusus seperti teknik cor, teknik kerok, teknik tempel, dan teknik tuang untuk seni patung; teknik dusel dan teknik arsir untuk gambar; teknik kuas kasar, teknik palet, teknik transparan, dan teknik pointilis untuk seni lukis; teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak sdaring untuk seni grafis; dan teknik-teknik lainnya. Setiap bahan dan alat dapat digunakan untuk diolah guna menghasilkan efek-efek yang diinginkan sesuai dengan gagasan senimannya. 

Aspek yang dinilai dalam hal ini adalah sejauhmana penggunaan teknik-teknik tersebut dapat menghasilkan efek-efek visual yang estetis dan khas, dan seberapa jauh teknik tersebut dapat memenuhi atau mewakili keinginan senimannya dalam mewujudkan karyanya. 

 Sumber: Buku Kritik Seni, Wacana Apresiasi dan Kreasi, karya Nooryan Bahari, Penerbit:  Pustaka Pelajar , Edisi kedua 2017