Apresiasi

Istilah apresiasi berasal dari kata Latin appretiatus yang merupakan bentuk past participle yang artinya to value at price atau penilaian pada harga. Dalam bahasa Inggris disebut appreciation yang artinya penghargaan dan pengertian.

Apresiasi seni merupakan suatu proses sadar yang dilakukan seseorang dalam menghadapi dan memahami karya seni. Mengapresiasi adalah sebuah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya seni. Seorang pengamat seni yang sedang memahami karya seni sebaiknya terlebih dahulu mengenal struktur bentuk karya seni, pengorganisasian elemen seni rupa atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang dihayati. Lebih jauh lagi, seorang pengamat seni rupa berkwajiban mengenal struktur dasar seni rupa; dengan mengenal garis atau goresan, mengenal shape (bidang/bangun) yang dihadirkan, mengetahui warna dengan berbagai peranan dan fungsinya, memahami dimensi ruang dan waktu dalam karya seni, dan sebagainya.

Memahami estetika dalam seni rupa merupakan salah satu wujud pelaksanaan apresiasi seni, dan merupakan suatu proses penyadaran yang dilakukan penikmat dalam menghadapi dan menghargai sebuah karya seni. Apresiasi adalah proses pengenalan nilai-nilai seni, untuk menghargai, dan menafsirkan makna (arti) yang terkandung di dalamnya.

Apresiasi menuntut ketrampilan dan kepekaan estetik guna mendapatkan pangalaman estetik ketika mengamati karya seni rupa. Pengalaman estetik bukanlah sesuatu yang mudah muncul dengan sendirinya atau mudah diperoleh, karena memerlukan latihan dan perhatian yang sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang adalah persoalan psikologis yang banyak dibahas dalam persoalan estetika. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana seseorang dapat menanggapi atau memahami bahwa suatu benda itu indah atau sebagai karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat dan kualitas dari wujud benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas abstrak dari benda estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni (The Liang Gie, 1978: 51).

Seorang yang merasakan kepuasan setelah menikmati suatu karya, maka orang tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetika yang merupakan kombinasi antara sikap subyektif dan kemampuan melakukan persepsi secara kompleks. Pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil suatu interaksi antara karya seni dengan penikmatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam penangkapan nilai-nilai seni yang terkandung dalam karya seni tersebut; yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional.

Steppen C. Pepper dalam The Liang Gie menulis pendekatan psikologis dengan mencontohkan kesenadaan yang berlebihan membuat karya menjadi monoton, sedangkan kekacaubalauan (confusion) yang berlebihan membuat karya menjadi tidak indah. Untuk mengatasi kedua faktor merusak dari pengalaman estetik itu, penyusunan karya seni harus diusahakan adanya keanekaan (variaty) dan keseimbangan ( lihat The Liang Gie, 1976: 54).

Apresiasi bukanlah sebuah proses pasif, ia merupakan proses aktif dan kreatif, agar secara efektif mengerti nilai suatu karya seni, dan mendapatkan pengalaman estetik (Feldman, 1981). Adapun pengalaman estetik seperti yang dinyatakan oleh John Dewey (1934) adalah pengalaman yang dihasilkan dari hasil penghayatan karya.

Seorang pengamat yang sedang memahami karya seni diharapkan terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang diamati. Misalnya seorang pengamat seni rupa, maka ia harus terlebih dahulu mengenal struktur dasar seni rupa; ia harus mengenal garis atau goresan, mengenal shape (bidang/bangun) yang dihadirkan, mengenal warna dengan berbagai peranan dan fungsinya, mengenal dimensi ruang dan waktu dan lain sebagainya, serta mengetahui asas desain penyusunan, juga karakter pada tiap unsur pendukungnya.

Untuk mengenal struktur dasar memang tidaklah mudah, namun kalau mau membiasakan diri (hibitation), maka lambat laun dapat mengenal struktur tersebut. Semuanya itu tergantung sensitivitas penghayatan dalam menangkap tanda-tanda atau signal informasi yang disampaikan pencipta karya lewat pesan-pesan yang kadang-kadang tidak kasatmata. Seorang pengamat yang kreatif akan dapat menangkap signal-signal tersebut lewat daya kreasi imajinatifnya. Seorang pengamat dengan segala kemampuan berusaha menafsirkan lambang-lambang yang dihadirkan oleh sang seniman.

Daya imaji merupakan hasil tanggapan sesaat oleh indera yang kemudian menghasilkan interaksi antara presepsi luar dan presepsi dalam. Hasil interaksi tersebut disebut interpretasi yang kemudian terkumpul sebagai nilai hayati (isi atau makna ). Begitu juga kalau menghayati karya puisi, musik, tari, drama, maka sebenarnya kita berusaha memahami pesan-pesan seniman yang diinformasikan lewat karya seninya.

Untuk memahami kesenian dibutuhkan pengalaman estetika bagi seorang penikmat, pengalaman yang ditemukan dari hasil penghayatan suatu karya seni, disamping tergantung pada karya seni itu sendiri, juga tergantung pada kondisi intelektual serta kondisi emosional si penikmat. Kemampuan dalam menerima tanda-tanda dalam karya seni yang dihadapi, seolah-olah menjadi suatu media informasi bagi penikmat. Untuk dapat menangkap informasi tersebut tergantung dari kepekaan dan pengalaman estetika yang dimiliki seorang penikmat.

Seorang apresiator yang baik tentu paham akan sistem pengorganisasian karya seni antara lain mencakup: harmoni, irama, pusat perhatian, proporsi, kontras, gradasi, serta hukum keseimbangan formil atau non formil yang dihadirkan oleh sang senimannya, di samping itu juga seorang penikmat harus memahami teknik di dalam menghadirkan unsur-unsur rupa tersebut dan tata cara mencapai nilai karakter khusus dari unsur yang dihadirkan.

Dapat disimpulkan sementara bahwa seorang apresiator yang baik, harus mengalami atau mengenal teori dasar seni rupa serta tata cara mewujudkan karya seni rupa. Secara obyektif seseorang harus dapat menangkap lambang-lambang atau simbol-simbol yang di informasikan sang seniman terhadap penikmat, dan seorang penikmat harus dapat menafsirkannya dengan segala pengalaman estetik dan intelektualnya guna menafsirkan lambang-lambang yang dihadirkan seniman.

Menghadapi karya seni, seni pertunjukan, seni rupa; lukisan dan cabang seni yang lain, maka seorang penikmat harus dapat menafsirkan struktur bentuk karya yang disajikan seniman lewat lambang-lambang atau simbol yang berwujud gerak, suara, warna, atau kata-kata sesuai dengan karya seni yang dinikmatinya. Lambang-lambang yang dihadirkan tersebut, bukan sekedar menginformasikan gerak, suara, warna atau kata-kata dalam arti baku atau wantah, tetapi seorang penikmat harus benar-benar dapat menangkap maksud sang seniman lewat gerak, suara, warna dan kata-kata yang mereka komposisikan. Sehingga bukan sekedar ragam struktur baku yang diinformasikan, tetapi dibalik lambang-lambang yang disampaikan tersebut tersimpan makna-makna yang hakiki. Di sini seorang penikmat dicoba kemampuannya menafsirkan setiap unsur, setiap karakter yang disampaikan seniman lewat karyanya. Di sinilah kenapa seseorang dengan cepat dapat memahami karya musik, karya tari, karya teater dan karya sastra, karena memang mereka sering terlibat dalam proses pemahaman lewat sajian karya.

Penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, sekaligus proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya seni. Hasil dari interaksi tersebut bukan merupakan sebuah ultimatum senang atau tidak senang terhadap keberlangsungan karya seni. Relatifitas kajian tersebut tergantung dari tingkat pemahaman relatif seseorang dalam menghadapi sebuah karya seni. Tingkat pemahaman sesorang tergantung dari tingkat intelektual dan latar belakang budayanya. Tingkatan tersebut menurut Steppen C. Pepper dalam bukunya berjudul The principles of Appreciation memberikan empat tingkatan ultimatum kesenangan berdasarkan tingkat relatifitas seseorang.

Tingkatan pertama disebut tingkat subyektif relatifitas, dimana seseorang dalam memberikan ultimatum senang dan tidak senang karena adanya keputusan subyektivitas, misalnya; “Saya senang karena film itu dimaikan oleh Rano Karno tokoh idolaku.”, ultimatum tersebut berdasarkan keputusan yang berorientasi pada selera pribadi, lepas sebelum atau setelah menikmati karya tersebut. Keputusan senang dan tidak senang lahir dari akibat pengaruh aspek psikologis secara instrinsik.

Tingkatan kedua disebut tingkat culture relatifitas yang merupakan ultimatum senang atau tidak senang atas keputusan sikap psikologis karena ikatan latar belakang budaya. Tingkatan ini selalu berorientasi terhadap sikap budaya dimana mereka hidup. Misalnya; “Saya senang karena karya seni yang disajikan merupakan kebudayaan daerah asalku”. Alasan yang menyangkut atas budaya kesukuan, kebangsaan, dan semua yang menyangkut tentang adanya orentasi budaya yang sepihak terhadap budayanya, akan mempengarui ultimatum senang dan tidak senang terhadap karya seni setelah atupun sebelum karya seni tersebut dinikmati.

Tingkatan ketiga disebut tingkat biologikal relatifitas , dimana ultimatum senang dan tidak senang didasari atas keputusan yang berdasarkan atas intrinsik yang muncul setelah menikmati karya tersebut. Ultimatum tersebut hampir mendekati proses apresiasi, namun masih banyak menggunakan aspek psikologis dibanding logika pemahaman estetik. Keputusan senang dan tidak merupakan proses penikmatan karya estetika yang sedang disajikan. Hal itu biasanya dilakukan pada penikmat yang tidak sepihak terhadap subyektifitas ataupun budaya simpatik.

Tingkatan keempat merupakan tingkatan relatifitas yang disebut absolut, artinya ultimatum senang atau tidak senang bukan dari intrinksik tetapi cenderung kepada sikap ekstrinksik. Ultimatum didasarkan atas pengaruh dari luar. Misal; Semua seni itu indah, tanpa berusaha menikmati dengan segala kekuatan aspek psikogis yang ia punyai.

Semua tingkat relatifitas tersebut menunjukkan adanya tingkat relatifitas yang dipunyai oleh seorang penikmat. Tingkat tersebut merupakan proses interaksi psikologis seorang penikmat. Dalam sajian seni diperlukan penikmatan yang baik, sedang untuk menangkap isi atau makna dalam karya estetika dibutuhkan sikap logis seorang penghayat. Sehingga apabila seseorang mampu melakukan kedua aspek tersebut sekaligus maka barulah ia siap dengan kajian kritik seni pada karya seni.

Ketidakpuasan dengan teori keindahan yang ada, maka munculah teori pemahaman yang cukup punya pengaruh, ialah teori Einfuhlung. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang guru besar Jerman Friedrich T. Vischer (1807-1887), kemudian dikembangkan selengkapnya oleh Theodor Lipps (1851-1914) dalam bukunya yang berjudul Aesthetik dalam 2 jilid (The Liang Gie, 1976:54)

1.    Empati (feeling into)

Istilah Einfuhlung  dalam bahasa Jerman lazim diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Empathy atau feeling into, istilah lain yang pernah dipakai adalah introjection, autoprojection dan simbolyc sympathy; yang artinya sebagai merasakan diri sendiri ke dalam sesuatu. Pada prinsipnya merupakan suatu teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri kedalam benda estetis. Sewaktu kita menikmati ceritera, kita tidak hanya mengenal mereka, tetapi kita juga merasa terlibat dengan mereka (The Liang Gie, 1976:54).

Pada sebuah pementasan drama, barangkali saja terhadap seseorang kita tidak menyenangi watak atau karakter yang mereka bawakan, sekalipun demikian toh kita tetap akan mengagumi apa yang ia bawakan. Pada saat kita benar-benar merasa terlibat, kita ikut merasa sedih, senang, seperti juga para pemain itu. Bahkan kita lupa bahwa kita hanyalah salah seorang penonton, kita merasa telah benar-benar menjadi satu dengan mereka.

Empati merupakan suatu respon terhadap suatu gerakan yang dimulai dari gerakan otot atau psikomotorik. Dan ini adalah suatu cara untuk meniru gerakan obyek ke dalam diri kita, artinya bahwa potensi yang dipancarkan oleh struktur organisasi, kita tangkap dan kita identikkan ke dalam perasaan kita. Menurut Viscer bahwa seseorang pengamat karya seni cenderung untuk memproyeksikan perasaannya kedalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari karya tersebut dan dari kegiatan itu akan mendapatkan sesuatu rasa yang menyenangkan.

Berdasarkan ide pokok itu, Theodore Lipps mengembangkan teori tersebut secara lebih rinci. Menurut Lipps; bahwa proses pemancaran perasaan ke dalam suatu karya seni tidak semata-mata bersifat subyektif dan tergantung pada pengamat, tetapi juga bersifat obyektif berdasarkan sifat-sifat dari karya seni yang bersangkutan. Secara garis besar teori Lipps menyatakan bahwa kegiatan pemahaman estetik dengan cara memproyeksikan perasaannya kedalam suatu karya seni, dan dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi, karena akan menemukan kepuasan atau kesenangan yang diakibatkan oleh bentuk obyektif dari karya yang dihayati. Kegiatan si penghayat itu merupakan aktivitas psikis yang berlangsung dalam situasi psikologis ketika seorang berhadapan dengan karya estetik. Nilai dari tanggapan subyektif tergantung pada kualita obyektif dari karya yang bersangkutan.”Aesthetic pleasure is an enjoyment of our own activity in an obyect” ; Kesenangan estetik adalah suatu penikmatan dari kita sendiri di dalam suatu benda/karya (The Liang Gie, 1976: 55).

Bagaimana kita menghayati sebuah lukisan yang bersifat dua dimensi dan hadir statis karena tidak mempunyai gerakan nyata?. Sebenarnya hal ini sama saja, karena kita juga meresponnya dengan gerakan, sewaktu kita melihat, otot mata kita bergerak mengikuti tanda-tanda yang ada yang ada pada karya tersebut yang ia lanjutkan ke semua susunan syaraf, dan kemudian menyatu dengan gerakan-gerakan psikomotorik dalam tubuh kita. Pada saat inilah terjadi apa yang disebut innermimicry oleh Karl Groos.

2.    Distansi Psikis

Teori ini dikembangkan oleh seorang tokoh bernama Edward Bullough dalam tulisannya yang berjudul “Psychical Distance as a factor in Art and Aestetic Principle”. Menurut Bullough, jarak psikis tidak ada hubungannya dengan jarak fisik, yaitu jarak yang ditentukan oleh ruang dan waktu, sekalipun jarak itu memang ada. Yang dimaksud dengan “psychic distance” (jarak psikis) ialah tingkat keterlibatan pribadi atau self involvement.

Bulough berpendapat, bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni orang justru harus menciptakan jarak diantara dirinya dengan hal-hal yang mempengaruhi dirinya. Agar seseorang terhindar dari keterlibatan secara psikis, seseorang penghayat harus membiasakan diri untuk menindas penghayatan psikis. Kebiasaan tersebut diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penghayatan. Misalnya seseorang sewaktu menghayati drama, kita harus sadar bahwa apa yang kita lihat itu bukan sesuatu kenyataan, demikian pula terhadap lukisan. Distansi sebenarnya dapat dimaksudkan sebagai adanya keterpisahan atau dengan kata lain ada jarak antara kehidupan yang nyata dan realitas feeling lewat karya. Ia mewujudkan kerja sama dengan karya untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tetapi ia menyadari bahwa realitas feeling semacam itu, tidak akan diperoleh lewat penghayatan praktis (Liang Gie,1976: 57).

Seorang penghayat haruslah bersifat obyektif artinya harus benar-benar terhindar dari faktor pengaruh, seperti halnya seorang ilmuwan dalam mengumpulkan data penelitian. Dalam waktu yang sama ia harus membuat ukuran bahwa ia mempunyai minat yang kuat untuk mendapatkan hasil yang diperolehnya. Di sini seorang penghayat harus benar-benar memfokuskan perasaannya (feelingnya) untuk kemudian ia proyeksikan ke dalam karya dengan tanpa terpengaruh oleh unsur pribadi, sehingga seorang penghayat dengan sengaja tidak memproyeksikan egonya ke dalam satu karya dengan segala kemampuan imajinasi dan kreatifitasnya.

Adapun hal-hal yang mempengaruhi antara lain adalah segi manfaat atau kegunaan benda seni itu atau kualitas materialnya, dan kebutuhan (interest/kepentingan) subjek terhadap objek (benda seni). Dengan kata lain –menurut teori ini-tidak mendekati seni dalam batasan praktis. Hal ini sejalan dengan pendapat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa dalam menikmati seni, subjek harus bersifat tanpa pamrih. Usaha membangun kesenangan estetis dengan mempertinggi kemampuan subjek dalam mengamati objek seni. Teori ini sebenarnya dianggap kurang sempurna dan diperkuat lagi oleh P. A. Michelis (tulisannya Aesthetic Distance dalam Journal of Aesthetic and Art Criticsm, vol. 18, 1969). Michelis menganalisa pendapat Bullough dan pendapatnya tentang jarak kejiwaan. Dia lebih mengarahkan pada jarak estetik (Aesthetic Distance). Bahkan secara lebih rinci, bahwa membuat jarak terhadap benda seni tidak hanya jiwa saja, tetapi juga ruang dan waktu (distansi ruang dan distansi waktu).

Untuk memahami distansi ruang, Michelis membuat ilustrasi sebagai berikut. Ketika kita menikmati lukisan dari jarak dekat, maka kita akan kehilangan keutuhan dari satu unit format karya lukis. Kita akan hanya terpaku detail insidental serta tekniknya, yang seringkali sambil merabanya, dan merasakan tekstur materialnya. Dengan demikian lukisan itu telah sampai pada apresiasi kita dalam keadaan berubah, dari suatu image menjadi suatu objek, yakni suatu benda. Namun sebaliknya, jika mengamati dari jarak yang terlampau jauh, lukisan tersebut hanya bisa ditangkap dengan kesan globalnya saja, mungkin hanya bayangan atau siluetnya. Yang paling baik adalah distansi tengah, yang akan membimbing kita untuk mengapresiasi relasi di bagian-bagian bentuk keseluruhan, dan keseluruhan itu sebagai unit. Maertens (seperti yang dikutip Michelis) menegaskan bahwa distansi tengah merupakan distansi terpenting, yang membentuk sudut optis 27 derajat. Teori ini bukan hanya untuk pengamat saja, tetapi juga untuk pencipta (seniman). Seniman yang sedang berkarya perlu sekali menjaga distansi tengah dalam menghadapi modelnya atau objek lukisan yang sedang digarapnya. Bahkan kadangkala perlu setengah pusat pandangan. Distansi tengah adalah distansi ruang yang harus dipertahankan baik oleh pengamat maupun pencipta (seniman) pada waktu mengamati atau mencipta karya seni untuk memperoleh pengalaman yang utuh.

Selain distansi ruang ada lagi satu pendapat bahwa distansi waktu (=diartikan selang waktu) diperlukan sebagai jarak dalam berkontemplasi terhadap karya seni yang dihadapi ataupun proses penciptaan seni. Waktu bisa menyempurnakan suatu proses berkarya, sebab pengamatan dan imajinasi yang subur bisa berkembang karena ada jarak waktu. Seorang pelukis, jika ingin melukis suasana pantai dan gemuruh ombak, secara relatif –menurut pengalaman beberapa pelukis- ada yang memerlukan waktu kontemplasi lebih dahulu dengan realita alam yang akan dijadikan inspirasi melukisnya. Ada yang hanya sekilas, tetapi ada juga yang sambil membuat sketsanya tentang laut dalam beragam komposisi. Barulah menyelesaikan studi awalnya di studio., atau langsung di outdoor studio. Distansi waktu bagi si seniman diperlukan untuk memantapkan kadar emosinya. Begitupun bagi si pengamat dalam menikmati karya seni memerlukan distansi waktu, bahkan melihat sekilas tapi memerlukan durasi kontemplasi (permenungan) yang cukup, sampai pada tingkat pemahaman dan penghayatan.