Aliran-aliran di Indonesia


 

Para pengulas sejarah seni rupa Indonesia cenderung beranggapan bahwa seni rupa Indonesia modern lahir bersaman dengan lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1937, karena dalam PERSAGI-lah terdapatnya para eksponen yang mendukung lahirnya seni rupa Indonesia modern dan dilain fihak karena PERSAGI adalah organisasi modern pertama yang secara teratur berusaha untuk mengembangkan seni rupa Indonesia modern.

Salah seorang eksponen yang paling vokal adalah S Sudjojono  (1914 -1986), seorang pelukis, kritikus, dan agitator yang berbakat; walaupun ia bukan ketuanya tetapi melalui tulisan-tulisan maupun bimbingannya ia telah berhasil membangun citra seni rupa Indonesia pada waktu itu. Pengaruhnya pada generasi muda besar sekali sehingga karena itu dapatlah kiranya dikatakan bahwa seni rupa Indonesia modern dibangun di atas fondasi pendapat-pendapatnya. Ungkapan bahwa “seni adalah jiwa ketok” (jiwa yang tampak) sangat terkenal dan menghujam sekali di hati para siswanya. Singkat kata Sudjojono  adalah bapak seni rupa Indonesia modern.

Sebetulnya Indonesia mengenal Raden Saleh Syarif Bastaman (1814-1880) yang hidup satu abad lebih dahulu dan merupakan orang Indonesia pertama yang secara langsung  berkesempatan belajar melukis di Eropa dan bermukim di sana selama 20 tahun khususnya di negeri Belanda dan Perancis. Ia belajar seni lukis potret dari pelukis Belanda C. Kruseman dan seni lukis pemandangan dari A. Schelfhout. Sebelum itu, di Indonesia Raden Saleh mendapat didikan pertamanya dari pelukis Belgia A. Payen yang tinggal di Jakarta. Dalam lawatannya di Perancis ia sangat terpengaruh oleh karya-karya Delacroix, termasuk kesukaan pelukis Perancis kenamaan ini akan Afrika Utara. Hal yang terakhir ini dapat disaksikan misalnya pada lukisannya “Perburuan Singa” yang dilukisnya pada tahun 1870 dan pernah pula dilukiskan oleh Delacroix. Lukisan-lukisan yang terkenal, terutama karena dihubungkan  dengan perjuangan bangsa Indonesia adalah “Hutan Terbakar” dan “Antara Hidup dan Mati”. Tokoh utama dalam lukisan tersebut adalah banteng yang bagi banyak orang merupakan simbol perjuangan dan semangat bangsa Indonesia. Raden Saleh sempat berhasil memperoleh pengakuan yang pantas dari masyarakat maupun kalangan kritisi di Eropa, dan dari pemerintah Belanda ia mendapat gelar kehormatan Schilder des Konings dan medali Orde van de Eikenkroon. Sayang, Raden Saleh hanya berjuang untuk dirinya sendiri dan tidak berkeinginan untuk menularkan pengalaman dan keahliannya yang langka itu di Tanah Air sehingga sepeninggalannya terjadi kekosongan sampai datangnya generasi berikut, yaitu generasi Abdullah Surio Subroto (1787-1914), dan sementara itu kehadirannya pun hampir tidak diperhitungkan oleh generasi sesudahnya.

Abdulllah juga pernah belajar di akademi seni rupa di Negeri Belanda, walaupun tujuan semula dari kedatangannya di Negeri Belanda adalah untuk meneruskan pelajarannya dalam ilmu ketabiban. Abdullah yang kemudian dikenal dengan tambahan ‘Senior’ di belakang namanya -untuk membedakannya dengan anak-anaknya yang juga melukis- berkembang menjadi pelukis pemandangan yang sukses dan banyak melukiskan gunung-gunung di sekitar tempat tinggalnya di Bandung. Karya-karyanya tergolong lembut dan di sani-sini agak menyentuh. Salah seorang anaknya, Basuki Abdullah, selain melukis pemandangan juga banyak melukis potret. Tekniknya bagus dengan virtuositas yang tinggi, namun tampaknya ia tidak luput dari bahaya bagi mereka yang memiliki vistuositas tinggi, yaitu kurangnya penjiwaan atau kurang menyatunya lukisan dengan ekspresi si pelukis. Maka kebanyakan karya Basuki terasa kurang berbobot.

Yang hidup sezaman dengan Abdullah Sr adalah Mas Pirngadie (c. 1875-1936), yaitu seorang juru gambar di Dinas Purbakala yang juga melukis pemandangan, dan sementara itu di Sumatera Barat ada juga seorang tokoh yang sedikit lebih muda dari Abdullah dan Pirngadie, yaitu Wakidi. Ketiga-tiganya, yaitu Abdullah, Pirngadie, dan Wakidi, dikelompokkan menjadi satu dalam ‘Mooi-Indië’, yaitu panggilan bagi pelukis-pelukis yang tergabung dalam ‘Indische Schilders” (pelukis-pelukis Hindia Balanda) yang sebagian besar anggotanya adalah pelukis-pelukis Eropa yang sedang berada di Indonesia yang juga dulu disebut Hindia Belanda.

Masyarakat Indonesia mulai berkenalan dengan teknik dan cara cipta atau gaya seni lukis Barat yang visioplastik melalui lukisan-lukisan yang dihadiahkan oleh Belanda kepada para pejabat di Indonesia, raja, atau bupati, yang ternyata sangat menarik minat para penerimanya. Sementara itu, sejak abad XVII sudah mulai ada pelukis Barat yang datang ke Indonesia, makin lama makin banyak dan akhirnya pada abad XX bermunculanlah tokoh-tokoh seperti Walter Spies, Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Hofker, Dezentje, Adolf dan segudang nama lainnya di Indonesia yang kehadirannya jelas ikut mempercepat proses pengenalan masyarakat Indonesia akan trompe I’oeil ala Barat tadi. Namun yang paling efektif memperkenalkan tata cara lukis Barat ini adalah pendidikan di sekolah-sekolah lewat gambar-gambar ilustrasi dan buku-buku. Sayang, perkenalan ini berakhir dengan dilupakannya gaya melukis tradisional Indonesia yang kedekoratifan oleh sebagai masyarakat awam Indonesia; maka seni lukis Indonesia berangsur-angsur beralih dari ideoplastik ke visioplastik.

Di Bali dengan masih bercokolnya agama Hindu yang secara tidak langsung menjadi sponsor seni rupa dengan patung, relief, dan lukisan-lukisannya, pengaruh Barat ini disambut oleh tradisi yang masih lebih kuat, dan lebih hidup daripada yang ada di  Jawa. Oleh karena itu, walaupun tujuan para pelukis Barat itu justru ke Bali sehingga Bali mendapatkan tekanan pengaruh barat yang lebih seru, namun Bali lebih sanggup menghadirkan gayanya yang asli dengan Le Mayeur, Bonnet, maupun Walter Speis talah melahirkan Sobrat, Ida Bagus Made, Mde Wija, Ketut Kobot, sampai Wayan Bendi, dan lusinan lainnya yang karya-karyanya selalu menimbulkan decakan kekaguman dari barang siapa yang melihatnya. Di Jawa sisa-sisa keasliannya tersingkir jauh-jauh di desa-desa yang kebetulan tidak terjamah oleh orang luar, seperti lukisan kaca atau beberapa ilustrasi manuskrip yang bergaya wayang kulit.

Dengan makin banyaknya pelukis-pelukis Barat yang bermukim di Indonesia, demikian pula makin banyaknya jumlah pelukis pribum khususnya di Bandung dan Jakarta. Pada awal abad ini (1902) telah lahir di Jakarta -pada masa itu, Batavia- sebuah organisasi seni dengan nama Nederlands Indische Kunstkring yang banyak menyelenggarakan pameran, baik dari dalam maupun dari luar negeri; dari dalam umumnya karya-karya anggota Indische Schilders yang sebagai besar terdiri dari pelukis-pelukis Eropa di Indonesia, sedang pameran dari luar kebanyakan berasal dari Eropa, walaupun pernah juga memamerkan lukisan-lukisan dari India, dan Jepang. Pendirian ini kemudian diikuti di kota-kota atau propinsi lain dan karena kemudian jumlahnya makin membengkak, maka pada tahun 1916 didirikan Bond van KunstringenSelain mengadakan pameran, tugas Kunstring juga mendatangkan buku-buku atau alat dan bahan melukis. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bahwa para pelukis pribumi banyak memperoleh kesempatan mendalami dan mengagumi karya-karya seni lukis Eropa, dan begitulah, Sudjojono  tertarik sekali pada karya-karya James Ensor dan Affandi tertarik pada lukisan-lukisan Van Gogh dan Kokoschka. Sementara itu Pascin dan Dufy juga banyak mempunyai pengagum. Baik Ensor maupun Van Gogh dan Kokoschka adalah tokoh-tokoh Eropa yang merupakan pelopor lahirnya ekspesionisme. Maka tidaklah mengherankan kalau Sudjojono  berucap bahwa “seni adalah jiwa ketok” dan Affandi menjadi tokoh nomor satu ekspresionisme di Indonesia, dan mereka pun berjuang untuk menjadikan seni lukis atau seni rupa Indonesia ekspresif, karena seni adalah ekspresi, dan dengan pandangan baru tentang seni ini mereka, khususnya Sudjojono  menentang keras karya-karya Mooe-Indië yang dianggapnya sekedar merupakan tour de force teknis saja, tanpa isian yang berarti. Bagi Sudjojono  para pelukis Mooi-Indië ini tidak lain adalah para pelukis yang hanya ingin mengabdikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan yang ada di sekitarnya yang tidak semuanya indah. Dengan lantang Sudjojono  mengecam mereka itu.

Semua serba bagus dan romantik bagai sorga, semua serba enak, tenang, dan  damai. Lukisan-lukisan  tadi tidak lain hanya mengandung suatu arti: Mooi-Indië. Gunung , kelapa dan sawah menjadi trimurti bagi tabel pelukis-pelukis tadi. Gunung, kelapa dan sawah menjadi penarik hati mereka, seakan-akan tak bisa mereka lepas dari dogma tadi dan terus tertarik oleh barang tiga tadi sahaja. Begitu pbulik, begitu pelukis. Dan kalau ada seorang pelukis berani melukis hal-hal yang lain dari trimurti tabel tadi dan mencoba menjual lukisan-lukisannya pada toko-toko gambar di sini, maka kata si handelar:”Dat is neit voor ons, meneer”. Maksud dia: “Dat is neit voor de toeristen of de gepensionneerde Hollandes, meneer”. Dan pelukis yang demikian, kalau tidak mau dimakan penyakit tbc, lebih baik menjadi guru atau mencari pekerjaan klerk statistiek, ….

Setelah revolusi fisik lahirlah di Bandung dan Yogyakarta akademi-akademi seni rupa yang secara formal mendidik para mahasiswanya bagaimana berolah seni dan bersamaan dengan itu masuk pula secara resmi pengaruh seni rupa dan pendidikan seni rupa Belanda, karena kedua akademi tersebut dibimbing oleh Belanda atau orang-orang yang terdidik di Belanda. Namun kemudian bermunculanlah tokoh-tokoh yang mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat yang lambat laun mengubah wajah pendidikan di kedua akademi tadi. Masuk pula buku-buku dari Amerika yang karena isinya tidak begitu terserap oleh para mahasiswa maka gambar-gambarnyalah yang kemudian banyak berbicara. Hal terakhir ini telah menimbulka dampak yang agak serius, yaitu banyaknya timbul epigon-epigon yang kurang mengetahui latar belakang dari apa yang ditirunya. Hal ini juga disebabkan karena macam-macam gaya dan aliran dari Barat seperti realisme, impresionisme, surrealisme, kubisme dan lain lain yang di Barat timbulnya secara wajar dan logis, satu demi satu itu, datangnya di Indonesia secara serentak sehingga sering menimbulkan sikap eklektis yang dangkal, karena yang dipilihnya juga belum tentu dimengertinya.

Seni abstrak dengan katagori “komposisi” bermunculan di mana-mana, namun sebaliknya, karya-karya berbobot yang merupakan hasil perjuangan gigih dan wajar lebih susah dicari. Di Bandung ada kecenderungan berolah bentuk yang merupakan hasil didikan Ries Mulder yang berniat untuk “… to provide an introduction to the language of form in the widest possible sense … dan karena itu bagi mereka objek atau tema itu tidak perlu benar; di Bandung tema-tema yang diangkat dari kehidupan rakyat yang begitu menonjol di Yogya, boleh dibilang tidak ada, sedang yang banyak mereka lukiskan adalah pemandangan, alam benda, atau komposisi yang kesemuanya tidak memerlukan kedalaman isi, karena “the picture is the thing” sebagaimana yang diucapkan Edouard Manet bahwa lukisan adalah persoalan bentuk bukan persoalan isi. “To the revolutionary and romantic generation of artist assembled in Jogja, Bandung art appeared alien dan cold, even meaningless, tulis Claire Holt. Adapun di Yogyakarta, dengan getolnya Sudjojono memperjuangkan ekspresi dalam lukisan, ia seakan-akan mempersetankan teknik melukis dengan maksuud agar teknik akademik dari Barat yang sulit itu tidak menjadi beban bagi para pelukis muda sehingga mereka dapat mencurahkan usahanya dalam ekspresi. Akibat daripadanya jelas, yaitu menjadi suramnya rata-rata palet seni lukis Yogyakarta, karena bercampurnya di atas kanvas oleh tindakan trial and error. Namun dibalik kesuraman warna palet seni lukis Yogya ini terdapatlah kesegaran dalam ekspresi yang ditimbulkan oleh kebebasan dan antusiasme yang besar. Bagi sebagian besar pelukis Yogyakarta seni mereka adalah asli dan nasinalistik walaupun mereka sadar bahwa mereka itu menggunakan bahasa dan idiom Barat.

Dengan makin meningkatnya tekanan komunisme dalam politik di Indonesia pada akhir dekade limapuluhan maka bertambah pula pengaruh-pengaruh yang datang ke Indonesia, yaitu dari Mexico,. Lukisan-lukisan Diego Rivera, Orozco, atau Siqueiros yang diisi dengan muatan untuk memberondong penjajahnya itu dianggap cocok ditiru di Indonesia oleh para pelukis komunis untuk menyikat lawan-lawan partainya. Maka muncullah Diego-diego Indonesia seperti Amrus Natalsya, Suromo, Sembiring, yang gaungnya sekarang masih dapat disimak pada karya-karya Djoko Pekik yang merupakan satu-satunya yang tergolong konsekuen dengn gayanya. Periksa karya-karya Pekik “Keretaku Tak Berhenti Lama” (1989) atau “Pekerja Wanita” (1985)

Sebenarnya tidak ada salahnya melukis dengan dimuati sesuatu, sejauh muatannya beres-beres saja dan muatan itu tidak mengganggu nilai-nilai kesenilukisannya, dan masalah inilah yang dulu dijadikan kaum Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mendapatkan perlawanan dari kelompok “Manifes Kebudayaan” yang biasa disingkat secara sinis menjadi Manikebu oleh lawan kuburnya yang menuntut agar seni, politik, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya itu berstatus sejajar atau setingkat; tidak boleh yang satu menunggangi yang lain. Sebagaimana kita ketahui  Lekra terkenal dengan slogannya “Politik adalah Panglima” yang mengandung maksud bahwa politik harus berada di atas aspek-aspek budaya lainnya, yang dalam praktek bisa berarti bahwa walaupun sebuah lukisan kurang memenuhi syarat estetik, misalnya bisa saja ia terpilih karena syarat-syarat politisnya sudah terpenuhi.

Salah satu fase yang menarik dalam perkembangan seni rupa Indonesia modern adalah merebaknya masalah identitas nasional. Sejak kelahiran PERSAGI yang hampir bersamaan waktu dengan timbulnya polemik besar kebudayaan dalam dekade tigapuluhan, identitas nasional atau kepribadian nasional (menurut sebutannya dalam dekade limapuluh dan enampuluhan) selalu menjadi dambaan para seniman Indonesia. Hal tersebut tampaknya merupakan “the spirit of the age” ketika itu, sebagaimana yang banyak disebut-sebut dalam polemik, karena mereka menyadari sepenuhnya betapa kuatnya dominasi Barat. Mereka ingin agar seni rupa Indonesia modern tidak hanya jatuh dalam bayang-bayang seni rupa modern Barat sebagaimana yang banyak dituduhkan oleh kritisi mereka. Dalam bukunya ‘Seni Lukis, Kesenian dan Seniman’ (1946) Sudjojono  secara panjang lebar membahas masalah ini, dan semenjak Presiden Soekarno pun mencanangkan perlunya identitas nasional itu, maka silih berganti para budayawan dan pejabat negara mengamininya. Maka di akhir tahun limapuluhan dan awal eanmpuluhan masalah ini menjadi masalah nasional yang ditulis berbagai media, dibahas di banyak seminar, dan dicari oleh para praktisinya. Sentimen revolusi juga mewarnai usaha ini karena Belanda yang baru saja diperangi dalam revolusi fisik adalah wakil dari dunia Barat.

Berbagai jalan telah dilalui oleh para seniman Indonesia untuk menemukan identitas nasional tersebut. Agus Djaya, sang ketua PERSAGI, dengan lukisan-lukisannya seperti “Arjuna Wiwaha” (1937) dan “Dalam Taman Nirwana” (1950), berusaha untuk mencari kepribadian nasional melalui relief-relief Borobudur, suatu produk budaya yang keindonesiaannya tidak disangsikan lagi. Relief-relief tersebut diolah kembali, diwarnai sesuai dengan interpretasinya sendiri, dan dengan demikian jadilah ia sebuah lukisan yang khas Agus. Otto Djaya, adiknya, mencarinya melalui tema-tema yang keindonesiaan seperti “Penggoda” (1950), “Wanita Impian” (1951), atau “Pelangi” (1951). Hal ini juga dilakukan oleh Surono (‘Ketoprak’, 1950), Hendra Gunawan (‘Mencari Kutu Rambut’, 1953), Batara Lubis (‘Gerobag Sapi’, 1955), Abas Alibasyah (‘Kesibukan Kota’, 1960, dan masih banyak yang lain. Bagi Widayat dan beberapa pelukis lain yang menganggap bahwa gaya dekoratif adalah gaya khas Indonesia, mengembangkan gaya ini dengan citarasa individual yang berbeda-beda; dan terciptalah dengan itu gaya dekoramagis Widayat, dekoraprimitf Suhadi, dan dekoratif ornamental ala Irsam.

Pada akhir tahun enampuluhan seni lukis batik mulai dirintis oleh banyak pelukis. Walaupun semula menimbulkan polemik yang seru mengenai mungkin tidaknya teknik batik yang sulit itu melayani ekspresi dalam seni lukis, namun akhirnya ia berkembang biak seperti cendawan di musim hujan, dan disangkutpautkan pula dengan kepribadian nasional. Kali ini bukan subjek lukisannya yang digarap tetapi tekniknya. Teknik batik adalah Indonesia. Pelukis yang berhasil dan cukup lama menekuni teknik tersebut antara lain adalah: Amri Yahya, Abas Alibasyah, dan Tulus Warsito.