Evaluasi Karya Seni

Membahas persoalan seni akan berkaitan selalu dengan pengalaman seni dan nilai-nilai seni. Seni bukanlah sebatas benda seni, tetapi nilai-nilai sebagai respon estetik dari publik melalui proses pengalaman seni. Antara nilai-nilai dan pengalaman seni tidak bisa lepas dari konteks bahasan filsafat estetika seni.

1.    Beberapa Metode Menanggapi Karya Seni

Metode yang dapat digunakan untuk mengkritisi karya seni antara lain pendekatan induktif, deduktif, empati, dan interaktif. (Chapman, 1978 : 80)

1.    Metode Induktif

Metode induktif meliputi langkah-langkah sebagai berikut : (1) mendiskripsikan ciri-ciri pokok atau utama, (2) mendiskripsikan hubungan antara unsur-unsur atau bagian, (3) mengamati kualitas-kualitas parsial dan totalnya, (4) mengamati aspek yang dicoba digambarkan atau ditunjukkan, (5) menafsir dan meringkas gagasan, tema, kualitas yang ada dalam kerangka menggambarkan makna yang hendak diungkap atau diekspresikan, (6) buat pertimbangan atau penilaian dengan mengkutip atau menyebutkan kriteria tertentu berikut argumentasi atau bukti-bukti yang mendukungnya.

2.    Metode deduktif

Metode deduktif menggariskan langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) tentukan atau pilih kriteria yang akan digunakan, (2) telaah karya yang dihadapi untuk mendapatkan petunjuk ada atau tidaknya bagian atau aspek yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan, (3) tentukan sampai sejauhmana kriteria itu terpenuhi.

3.    Metode empati

Metode empati bertumpu pada teori yang mengatakan bahwa jika mengempati karya seni, maka beranggapan seolah-olah karya yang diamati adalah seperti pengamatnya yang memiliki perasaan dan kapasitas tertentu. Garis terasa bergerak, pohon yang digambarkan berdiri sendiri, terasa seperti kesepian. Jika menggunakan metode empati, disarankan mengambil sikap atau langkah sebagai berikut: (1) jangan mengkesampingkan yang nyata terlihat, jika melihat perahu, sebutlah perahu, meskipun bisa digambarkan sebagai tatanan garis dan warna yang menarik, (2) jangan berbuat sebaliknya, melupakan kualitas visual yang murni, (3) gunakan analogi atau metafora selayaknya penyair, agar dapat menegakkan hubungan antara yang tampak dan yang dirasakan, (4) gunakan pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman yang diperoleh, (5) coba bertahan pada suatu aspek, jika aspek tersebut memang bedlum bisa dipahami, (6) usahakan bisa terlibat dalam ciptaan secara fisik dan imajinatif, (7) kalau dikehendaki, buatlah pertimbangan atau penilaian.

4.    Metode interaktif

Metode interaktif sebenarnya merupakan metode induktif dengan tambahan upaya mencari kesepakatan kelompok tentang makna karya seni termasuk bobotnya lewat diskusi dan perdebatan. Diskusi diselenggarakan melalui langkah-langkah yang digariskan pada metode induktif. Meskipun akan terasa sangat analitis, namun perbedaan pendapat yang muncul akan memperkaya pendapat atau pemahaman terhadap karya seni tersebut. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah: (1) tentukan moderator dan jelaskan tugasnya, (2) libatkan orang sebanyak mungkin dalam proses deskripsi karya yang ditelaah, (3) jika proses ke 2 macet, moderator menghidupkan kembali dengan jalan memancing dugaan atau hipotesis, (4) membicarakan hipotesis lewat diskusi kelompok, yang diharapkan dapat melahirkan interpretasi yang disepakati kelompok untuk mendekati makna yang dicari.

2.    Beberapa Persoalan dalam Menanggapi Karya Seni

Ada 3 (tiga) persoalan pokok dalam filsafat seni, yaitu benda seni (karya seni) sebagai hasil proses kreasi seniman, pencipta seni (seniman), dan penikmat seni (publik seni). Berdasarkan benda seni (karya seni) akan muncul persoalan kausal, sebagai hasil proses pemahaan seni dari publik/apresiator terhadap seni yaitu berupa nilai-nilai seni. Seperti yang dikemukan Jakob Sumardjo dalam kumpulan tulisannya Menikmati Seni, bahwa filsafat seni meliputi 6 (enam) persoalan utama, yaitu : (1) benda seni,  (2) seniman,  (3) publik seni,  (4) konteks seni,  (5) nilai-nilai seni, dan (6) pengalaman seni (Sumardjo, 1997:16). Dengan demikian pengalaman seni termasuk salah satu pokok kajian filsafati.

Seniman berupaya mengkomunikasikan idenya lewat benda-benda seni kepada publik. Publik yang menikmati dan menilai karya seni tersebut memberikan nilai-nilai. Nilai-nilai seni  merupakan respon estetik publik terhadap benda seni bisa muncul berbeda. Hal ini tergantung pada subjek publik sebagai pemberi nilai. Betapapun seorang seniman banyak menghasilkan karya, tetapi jika publik seni tidak pernah menganggap bahwa karya itu bernilai, maka karya semacam itu akan lenyap dan tak pernah memilki arti apa-apa.

Seorang pelukis ekspresionalisme Barat, Vincent van Gogh, melukis dengan tekun dan konsekuen dalam konsep estetiknya. Namun ternyata pada jaman itu karyanya belum bisa teradaptasi nilai dengan publik seninya. Nilai-nilai seni van Gogh baru tumbuh dan berkembang di masyarakat setelah dia meninggal dunia. Pertumbuhan dan perkembangan seni dalam suatu masyarakat, didukung oleh adanya nilai-nilai yang dianut masyarakat itu terhadap karya seni.

Faktor latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan, kepentingan (interest) menentukan seseorang dalam memiliki pandangan terhadap seni. Pandangan seni mempengaruhi pertumbuhan seni itu sendiri, karena perkembangan seni  tergantung pula terhadap nilai yang diberikan publik seni terhadap karya seni. Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai-nilai seni tumbuh sebagai akibat adanya proses apresiasi seni, dengan bukti empirik pengalaman estetika dalam hal pengalaman seni.

Pada bagian berikut ini diperlihatkan korelasi dan interaksi antara persoalan-persoalan dalam kajian filsafat seni. Kedudukan pengalaman seni dan nilai-nilai seni merupakan dua persoalan penting dalam tinjauan seni.

Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880-1934).

Guna membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan dianggap searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.

Menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai?.  Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dalam Dictionary od Sociology and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).

Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebut axiology atau kini lebih sering disebut theory of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).

Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory value, yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.

Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita metafisis.

Hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).

Perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.

Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda  untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.

Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan “teori keindahan” (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.

Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.

Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.

Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat. Dikatakan oleh Hegel, bahwa: “Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).

Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata “seni” dan “keindahan”, kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indah itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).

Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang nyata dan utuh.

Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer) sebagai berikut:

Tingkatan pertama adalah pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara, gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain. Tingkatan kedua merupakan penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi. Tingkatan ketiga adalah susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.    

Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.

Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang adanya “selera subyektif” sebagai bahan perasan di satu pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di dalam daya rasa (Sin­nlichkeit) seperti ketiada-pastian, kekhususnya oleh penyusun baru; dan di pihak lain mengenai idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universil dan pasti (universal and necessary taste).Idea mengenai selera perasaan (Geschmack/taste) ini berke­sudahan kepada kesenangan dan kadang-kadang kepada penilain, sehingga akhornya selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa. Namun filsafat Kant mempunyai ciri yang khusus, yaitu ditemu­kannya “kritik ketiga” yang merupakan suatu teori baru mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekedar penilain tentang perasaan “Gefuehlsurtheil” ttapi juga merupakan perasaan mengenai penilaian “Urtheilsgefuehl”, dan dengan kata lain ia bersifat universil, pasti, berdasar emosi (Wadjiz 1985:29)

Bosanquet mencatat di dalam bukunya “A History of Aesthetics” bahwa buku “Kritik der Urtheilskraft” terbit agak belakangan, dan terdapat di dalamnya beberapa pengaruh yang berasal dari Rous­seau, akan tetapi semua itu hanyalah merupakan “pengecualian-pengecualian yang memperkuat prinsipnya”. Karena buku “Kritik der Urtheilskraft” itu dalah karya orisinil yang tidak mempunyai hubungan dengan pembacaan sebelumnya (Wadjiz 1985:30).

“Kritik der Urtheilskraft” (kritik daya penilaian) terdiri dari sebuah pendahuluan di mana Kant mengemukakan delapan pokok per­soalan di ataranya cara bagaimana ia berusaha merukunkan dua karya kritiknya yang lain di dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Perlu dikemukakan bahwa sebelum buku “Kritik der Urtheilskraft” ini, Kant mempunyai dua buah kritik: “Kritik der reinen Vernunft” (Kritik akal murni) dan “Kritik der Praktischen Vernunft” (Kritik akal praktis).Bagian pertama dari karya itu berjudul “Kritik daya penilaian estetis” dan terbagi menjadi dua bagian yaitu: analisa daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian estetis. Dan bagian kedua tidak begitu penting karena berhubungan dengan kritik daya penilaian teleologis taua penyelidikan abyektive purposivenness di dalam alam. Analisa putusan estetis dibagi lagi menjadi dua bagian. Analisa tentang cantik (beautiful) dan analisa tentang agung (sublime) (Wadjiz 1985:30).

Bagian pertama buku tersebut mepaparkan empat pertimbangan yaitu: Pertimbangan pertama mengenai penilaian terhadap selera perasaan dari segi kualitas. Setelah menganalisa dengan teliti perasaan puas yang menjadi ciri dari putusan yang diberikan oleh selera, yaitu suatu perasaan yang tidak bertujuan apapun, Kant memperbandingkan antara bentuk-bentuk pemuasan ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan, dan kebaikan. Dan setelah memperbandingkan bentuk-bentuk ini, ia menyimpulkan definisi kecantikan berdasarkan pertimbangan pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk memberikan putusan senang atau tidak senang atas suatu obyek atau perbuatan tertentu dengan syarat bahwa putusan itu bebas dari tujuan. Obyek dari rasa puas ini disebut cantik”.

Pertimbangan kedua mengenai keputusan selera dari segi kuantitas. Tatkala Kant memandang selera dari segi kategori kedua dengan mengikuti perencanaan tadi ia mengemukakan bahwa kecantikan berwujud tanpa konsep, sebagai obyek dari pemuasan hajat yang mendesak, dan bahwa selera mengandung rasa senang dan putusan yang tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal tadi. Definisi lain tentang keindahan berdasarkan pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa “Keindahan ialah apa yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak berkonsepsi”.

Pertimbangan yang ketiga mengenai putusan selera dari segi hubungan: Putusan selera bersandar kepada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “Emosi” dan juga bebas dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga tentang keindahan ialah bahwa “konsepsi tentang adanya tujuan pada obyek tapi tujuan itu tidak berwujud dengaan tegas”.

Pertimbangan yang keempat mengenai putusan selera menurut arahnya (menurut kesenangan yang timbul dari obyek tertentu): yaitu bahwa “keharusan kesenangan umum yang terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subyektif, akan tetapi terwujud dalam bentuk obyektif tatkala dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir dari keindahan ialah bahwa keindahan ialah apa yang diakui sebagai obyek pemuasan darurat yang tidak berkonsep” (Dharsono 1993: 19-21).

Kant, selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik dan agung. Ia sependapat dengan Burke bahwa agama adalah tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya ialah termasuk dalam penilaiaan estetis; kecantikan termasuk putusan selera (the judgment of taste), sedangkan keagungan mempunyai akar di dalam emosi kecer­dasan (geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya bergantung kepada formal dan adakalanya bergantung kepada non-forma (“Uniform”) yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat. Kant memperbedakan antara dua bentuk keagungan; bentuk mathematis yang statis dan bentuk dinamis. Kemudian menguraikan keindahan, seni, dan seni rupa dengan penyusunan menurut orang-orang genial yang mencipta­kannya (Wadjiz 1985:32)

Perasaan estetis menurut Kant berada pada keselarasan pikiran dengan imaginasi dengan dasar bebasnya kerja imaginasi. Di samp­ing itu semangat (Geist) kreatif yang menghasilkan obyek-obyek seni tersembunyi pula di dalam adonan antra pikiran dan imagina­si. Teori “Keselarasan subyektif” ini mentafsirkan segala idea-idea estetis Kant. Keselarasan inilah yang melahirkan adanya tujuan (purposiveness) yang tak bertujuan selain mewujudkan rasa keindahan. Seni menurut Kant ialah penciptaan sadar terhadap obyek-obyek yang menyebabkan orang yang mengenangnya merasa seolah obyek-obyek itu dicipta serti alam tanpa tujuan. Ciri utama dari seni berada pada geni adalah berdasarkan pembagian geni kemanusiaan, menjadi seni bahasa (rhetorika dan puisi) seni rupa (pahat, arsitektur, lukis, seni mengatur kebun), seni suara (musik) atau lebih tepat seni “permainan perasaan”, dan akhirnya seni campuran antara pelbagi seni di atas dengan cara berbeda-beda seperti drama, menyanyi, opera, atau tari-tarian (Wadjiz 1985:33).

Secara ringkas, apa yang dikemukakan di atas baru merupakan pada hakekatnya suatu bagian kecil dari persada yang luas dari nazhab Kant, tapi telah meletakkan dasar-dasar penting bagi beberapa ilmu tentang keindahan. Dan agaknya Kant telah berhasil merombak sendi-sendi filsafat seni dengan “berani dan tenang”, menurut Bousanquet, dan belum pernah ada orang sebelumnya dapat mencapai ketelitian demekian dalam membedakan istilah-istilah estetis, dan dapat dikatakan dialah orang pertama yang mengetrapkan logika di dalam Estetika dan menganalisa seni dengan cara yang sangat ilmiah. Estetika seperti Ethika, juga mempunyai pendekar dan orang-orang suci, dan Kant dapat dianggap salah satu dari pahla­wan-pahlawannya yang hampir mencapai derajat dewa. Sistem yang diciptakannya adalah sistem raksasa, meski belummencapai kesem­purnaan. Memang filsafat Kant tidak akan mencapai titik kesuda­han, karena dasar revolusi Kopernik adalah gerakan yang tak kunjung berhenti (Wadjiz 1985:32-33).