Topic outline
Pengertian metode penciptaan dan metodologi penciptaan
Pengertian metode penciptaan dan metodologi penciptaan
Banyak yang masih salah dalam menggunakan kata antara metode dan metodologi. Seharusnya menggunakan kata metode, tapi malah kata metodologi yang digunakan. Begitu juga sebaliknya. Istilah antara metode dan metodologi memiliki pengertian yang berbeda di antara keduanya. Jika dilihat dari istilahnya saja sudah berbeda, metodologi jelas terdiri dari dua kata, method dan logos, yang artinya ilmu tentang metode. Berbeda dengan metode yang hanya terdiri dari satu kata, method, yang artinya metode atau cara.
Pengertian Metode Penciptaan
Metode (method), secara harfiah berarti cara. Metode atau metodik berasal dari bahasa Yunani, metha (melalui atau melewati), dan hodos (jalan atau cara), jadi metode bisa berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Penciptaan berasal dari kata “cipta” yaitu kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, atau mewujudkan angan-angan yang kreatif. “Menciptakan” berarti menjadikan sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang baru (belum pernah ada). Metode penciptaan adalah tata cara menciptakan sesuatu yang baru guna mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks penciptaan, yang termasuk metode penciptaan adalah aktivitas penjelajahan menggali sumber ide, pengumpulan data & referensi, pengolahan dan analisa data, hasil dari penjelahan atau analisis data dijadikan dasar untuk membuat rancangan atau desain karya.
Ada satu istilah lainnya yang berkaitan dengan 2 istilah ini, yaitu teknik adalah cara yang spesifik dalam pemecahan masalah tertentu yang ditemukan dalam pelaksanaan prosedur.
Pengertian Metodologi Penciptaan
Secara harfiah istilah Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “metodos” dan “logos”. Kemudian kata “metodos” terdiri atas 2 suku kata yakni “metha” yang artinya melewati atau melalui “hodos” yang artinya cara atau jalan.
Metode artinya sebuah jalan yang dilewati untuk mencapai tujuan. Sedangkan “logos” berarti ilmu. Jadi Metodologi adalah cara atau ilmu-ilmu yang dipakai untuk menemukan kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas apa yang dikaji.
Ilmu terdiri dari 4 prinsip yaitu:
- Orde (keteraturan)
- Determinisme (sebab-musabab)
- Parsimoni (kesederhanaan)
- Empirisme (pengalaman yang bisa diamati)
Dari prinsip-prinsip tersebut maka terdapat banyak jalan untuk dapat menemukan kebenaran. Metodologi adalah sebuah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang ingin digunakan.
Metodologi penciptaan adalah sekumpulan kegiatan, peraturan serta prosedur yang dipakai untuk penciptaan suatu karya. Metodologi penciptaan juga merupakan suatu analisis teoritis tentang sebuah metode penciptaan atau caranya. Penciptaan merupakan sebuah penyajian yang sistematis dengan tujuan untuk menghasilkan suatu karya.
Metodologi terkait penelitian adalah analisis teoritis sistematis dari metode yang diterapkan pada bidang studi. Ini terdiri dari analisis teoritis dari tubuh metode dan prinsip-prinsip yang terkait dengan cabang pengetahuan. Biasanya, ini mencakup konsep seperti paradigma, model teoritis, fase dan teknik kuantitatif atau kualitatif.
Metodologi juga merupakan studi tentang metode, pertimbangan filosofis dan analitis dasar untuk, kesesuaian dan batas logis dari berbagai pendekatan dan perspektif pada penelitian atau penciptaan karya itu sendiri.
Perbedaan Metode dan Metodologi
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan secara ringkas perbedaan metode dan metodologi yaitu :
- Berdasarkan Etimologi
· Metode (method) berarti metode atau cara
· Metodologi terdiri dari dua suku kata yaitu method dan logos yang artinya adalah ilmu tentang metode
- Berdasarkan Pengertian
· Metode adalah “prosedur, teknik, atau langkah untuk melakukan sesuatu, terutama untuk mencapai tujuan tertentu.
· Metodologi adalah “prosedur ilmiah yang didalamnya termasuk pembentukan konsep, preposisi, model, hipotesis, dan teori, termasuk metode itu sendiri.
- Berdasarkan Sifat
· Metode bersifat khusus. Metode lebih berkaitan dengan teknis saja dari keseluruhan yang dibahas dalam metodologi.
Metodologi bersifat umum. Metodologi merupakan sistem panduan untuk memecahkan persoalan, dengan komponen spesifiknya adalah bentuk, tugas, metode, teknik dan alat.Buatlah tulisan mengenai metode penciptaan menurut pengetahuan dan pengalaman saudara, sesuai dengan disiplin ilmu atau bidang yang diminati!
Tahapan Eksplorasi dan Literature Review
Eksplorasi dan Kreativitas
Salah satu cara untuk memicu kreativitas adalah melalui eksplorasi. Menjelajah, menghadapi hal-hal baru, dapat menginspirasi. Saat menjelajah, mungkin menemukan cara baru dalam melakukan sesuatu, atau hal baru yang akan dilakukan, tentunya yang lebih bagus. Terkadang hanya menemukan sedikit informasi yang sesuai dengan hal-hal yang telah dipikirkan sebelumnya dan dapat melengkapi (atau membantu melengkapi) gambaran yang telah dikembangkan dalam pikiran. Di lain waktu, mungkin menemukan alat, proses, atau pendekatan yang digunakan orang lain yang tidak ada hubungannya, tetapi masih dapat menginspirasi. “Jika mereka bisa melakukan, berarti saya pasti bisa melakukan juga!”
Eksplorasi bisa memicu kreativitas, namun apa sebenarnya arti "eksplorasi"?
Eksplorasi adalah tindakan mencari atau berkeliling suatu medan (termasuk luar angkasa , melihat eksplorasi ruang angkasa) untuk tujuan penemuan sumber daya atau informasi .
Dictionary.com memberikan definisi:
1. tindakan atau contoh mengeksplorasi atau mennyelidiki; pemeriksaan.
2. investigasi daerah yang tidak diketahui.
Untuk tujuan kreatif, sebut saja:
Mencari informasi melalui investigasi daerah baru.
Setelah sepakat menyetujui definisi, dapat menjelajahi beberapa metode eksplorasi yang berbeda.
Eksplorasi Perkotaan
Pergilah ke kota lain dan habiskan waktu dengan berjalan-jalan. Kunjungi toko lokal. Toko pakaian vintage dan bekas, toko barang antik, toko kerajinan, toko mainan, pasar loak, museum, dan galeri seni. Temukan taman, pantai, monumen, dan area pertemuan baru lainnya. Bicaralah dengan orang yang ditemui - mulailah percakapan dengan semua orang!
Kadang-kadang hal tersebut dapat membantu untuk serangkaian tujuan, guna memberikan beberapa struktur pada pengembaraan kreatif. Hal ini juga dapat dimulai untuk menemukan setidaknya 6 galeri seni baru (tanpa bantuan GPS atau peta), menjelajahi 2 museum baru, atau berbicara dengan setidaknya selusin pemilik toko yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Salah satu eksplorasi kreatif terstruktur adalah perburuan fotografi. Bentuknya bisa bermacam-macam, dapat membuat karya foto sepenuhnya sendiri, berkolaborasi, atau dapat berbagi foto dengan teman atau grup media sosial. Saat melibatkan orang lain, diharapkan semua anggota grup dapat bekerja sama atau menjadikannya sebuah kompetisi. Perburuan itu sendiri bisa ringan atau liar sesuai imajinasi. Bisa juga dipersiapkan daftar objek yang berbeda untuk difoto (daftar yang sangat spesifik dan daftar yang sangat samar keduanya memicu kreativitas dengan caranya sendiri) atau memotret sebagian besar gambar dari satu jenis (kelompok foto rambu lalu lintas, obyek foto rumah dengan tanaman, kelompok foto grafiti, potret sepeda, dll.). Ada banyak cara lain untuk memainkan jenis eksplorasi berburu obyek kreatif!
Cara hebat lainnya untuk melihat bagian baru kota adalah dengan naik bus atau kereta api secara acak. Naiklah bus atau kereta yang belum pernah dinaiki sebelumnya dan cari tahu kemana perginya. Jika melihat sesuatu yang menarik, berhenti dan lihatlah, bicaralah dengan beberapa orang, lalu naik bus / kereta lain dan lakukan perjalanan lagi.
Banyak kota memiliki biro perjalanan yang sering kali dapat menjadi cara hebat lain untuk menikmati kota dengan cara baru.
Tentu saja ini tidak harus di kota sendiri.Cobalah menjelajahi kota baru sesering mungkin. Hal ini sering kali meningkatkan jumlah informasi baru yang dapat diperoleh.
Eksplorasi Pedesaan
Bentuk eksplorasi fisik sederhana lainnya adalah menyelidiki pedesaan di luar kota atau pinggiran kota. Seringkali sepeda lebih efisien daripada berjalan kaki karena jarak yang ditempuh. Saat berjalan atau berkendara melintasi pedesaan, dapat menggunakan banyak alat yang sama yang digunakan untuk menjelajahi kota. Bicaralah dengan semua orang yang ditemui! Carilah persawahan atau perkebunan. Lihat beberapa peralatan pertanian. Temukan toko atau warung di pedesaan, dan tentu saja, ambil banyak foto! Berburu foto, rekreasi, dan perjalanan semuanya merupakan cara yang menyenangkan untuk menjelajahi daerah pedesaan.
Eksplorasi Online
Dunia tanpa batas tidak lagi dibatasi pada alam fisik untuk eksplorasi. Berkat Internet dan World Wide Web, ada banyak jalur yang bisa dijelajahi tanpa harus meninggalkan rumah. Hypertext Transfer Protocol (HTTP) memungkinkan penautan data dengan cara dan pada skala yang hanya bisa diimpikan oleh para ilmuwan sekitar 25 tahun yang lalu, dan web terus berkembang. Jadi manfaatkan itu! Berikut beberapa ide untuk memulai:
Ketik kata-kata acak ke dalam pencarian web, jelajahi tautannya
Ketik kata-kata acak ke dalam pencarian gambar, jelajahi situs yang menghosting gambar yang dihasilkan
"Mengikuti" profil media sosial teman (gambar, suka, pembaruan, dll.), Jelajahi hal-hal yang mereka sukai yang mungkin tidak disadari
Cari Twitter untuk hashtag acak atau bermakna, jelajahi orang-orang dan tautannya
Temukan aplikasi baru atau game baru untuk jelajahi web dengan cara baru, dengan alat baru
Eksplorasi Lainnya
Jelas tulisan ini tidak bisa menampung segala kemungkinan untuk eksplorasi kreatif, karena eksplorasi adalah kategori tindakan seluas kreativitas itu sendiri. Harapannya di sini bukan untuk membuat catatan lengkap tentang cara-cara mengeksplorasi secara kreatif. Sebaliknya, usahakan menjadikan eksplorasi sebagai pemicu kreativitas, dan memberikan beberapa contoh dan titik awal untuk eksplorasi kreatif sendiri.
Dengan pemikiran tersebut, dapat diperoleh daftar beberapa area lagi untuk eksplorasi kreatif:
Eksplorasi Musik: Musik baru adalah informasi baru dan bisa sama menginspirasi seperti melihat lukisan baru atau bisnis baru. Menjelajahi musik baru cukup mudah dengan semua alat online untuk mencari dan mendengarkan musik baru.
Menjelajahi Pengetahuan Manusia: Kedengarannya sangat tidak mungkin, dan memang demikian adanya, namun tidak serumit yang diperkirakan. Belajar sesuatu yang baru. Belajar bahasa baru. Dengarkan pembicara berbicara tentang topik yang tidak diketahui sebelumnya. Ikuti kelas di prodi lain. Hadiri lokakarya. Belajar mengikat 10 simpul berbeda. Merupakan upaya penjelajahan pengetahuan manusia.
Jelajahi Pikiran: Ini adalah salah satu yang sering terdengar lebih sulit daripada yang sebenarnya. Mulailah dengan melamun. Cobalah meditasi. Pikirkan tentang berpikir. Apa yang membuat tergerak? Apa harapanmu, Mimpi? Ketakutan? Apa yang dilakukan dengan baik? Apa yang bisa dilakukan dengan lebih baik? Mulailah berlatih mengamati diri sendiri - akan belajar banyak, tentang diri sendiri.Literature Review dan Art Review
Pengertian Literatur Review
- Literatur Review adalah uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas dari perumusan masalah yang ingin diteliti
- Tujuan akhir Literatur riview adalah untuk mendapatkan gambaran yang berkenaan dengan apa yang sudah pernah dikerjakan orang lain sebelumnya
- Literatur review atau disebut juga tinjauan penelusuran pustaka merupakan langkah pertama untuk mengumpulkan informasi yang relevan bagi penelitian
- Penelusuran pustaka berguna untuk menghindari duplikasi dari pelaksanaan penelitian
- dengan penelusuran pustaka maka akan dapat diketahui penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
- Literatur review berisikan ulasan rangkuman dan pemikiran penulis tentang beberapa sumber pustaka (dapat berupa artikel, buku, slide, informasi dari internet, dll) terkait dengan topik penelitian yang dibahas
- Literatur review yang baik haruslah bermafaat relevan, mutakhir dan memadai.
- Landasan teori, tinjauan teori dan tinjauan pustaka semuannya merupakan cara untuk melakukan tinjauan literatur
- Literatur review merupakan suatu cara untuk menemukan, mencari artikel artikel, buku- buku dan sumber-sumber lain seperti tesis, disertasi, prosiding,yang relevan pada suatu isi tertentu atau teori atau riset yang menjadi minat si peneliti
- Literatur review yang didapatkan biasanya masih bersifat umum atau general (general problem)
Literatur rwview merupakan diskusi dari pengetahuan tentang topik yang sedang dipelajari atau bisa juga berupa hasil pengetahuan yang didukung dengan literatur riset dan merupakan fondasi dari penelitian
2 Komponen Utama Literatur Review
- Kerangka teori (Theorical Freamwork)
- Kajian yang terkait dengan topik maupun tema penelitian
3 Aspek Utama melakukan Literatur Review
- Survey artikel yang terkait dengan isu yang diminati oleh peneliti
- Lakukan evalusai, ringkas gambaran gambaran yang ada
- Dapatkan masukan yang terkait dengan isu dari publikasi yang terbaru hingga publikasi terlama sehingga peneliti bisa mendapatkan gambaran penelitian secara umum dan kompherensif
Beberapa Hal Terkait Literatur Review
- Apa yang menjadi masalah dan kenapa masalah itu penting untuk dipecahkan?
- Apakah masalah tersebut telah berhasil dipecahkan/ dipecahkan oleh peneliti lain?
- Tetapkan permasalahan yang ada se simple/ sesederhana mungkin
- Apakah metodologi penelitian sudah sesuai dan sudah dimulai?
- Apakah kontribusi literatur review terhadap penelitian yang dilakukan?
- Apakah kesimpulan yang bisa diambil terkait dengan permasalahan?
- Apakah kesimpulan yang dibuat sudah cukup menjawab dari permasalahn yang ada?
Manfaat Literatur Review
- Identifikasi kesenjangan (identify gaps) penelitian
- Hindari pembuatan ulang (reinventing the wheel), sehingga bisa hemat waktu dan untuk hindari kesalahan kesalahan yang pernah dilakuakan orang lain
- Identifikasi metode yang pernah dilakukann dan yang relevan dengan penelitian yang dilakukan
- Meneruskan penelitian sebelumnya yang telah tercapai, sehingga penelitian yang akan dilakukan dapat dibangun diatas platform pengetahuan atau ide yang sudah ada
- Untuk mendapatkan informasi tentang orang lain yang melakukan penelitian di area/fokus riset sama, sehingga dapat bergabung didalam komunitas ynga dapat memberikan kontribusi penelitian yang berharga
Langkah langkah Literatur Review
Langkah 1: Formulasikan Permasalahan
- Pilihlah topik yang sesuai isu dan minat
- Permasalahan harus ditulis secara lengkap dan tepat
Langkah 2: Cari Literatur
- Cari literatur yang relevan dengan penelitian
- Dapatkan gambaran(overview) topik penelitian
- Sumber sumber penelitian sangan membantu bila didukung pengetahuan topik yang dikaji.
- Sumber sumber tersebut berikan gambaran/ringkasan penelitian sebelumnya
Langkah 3: Evaluasi Data
- Lihatlah kontribusi apa saja terhadap topik yang dibahas
- Cari dan temukan sumber data yang tepat sesuai kebutuhan guna mendukung penelitian
- Data bisa berupa data kualitatif, data kuantitatif maupun data yang berasal dati kombinasi keduanya
Langkah 4: Analisis dan Interpretasikan
- Diskusikan dan temukan serta ringkas literatur
Untuk review sebuah literatur dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti:
- Cara kesamaannya (compare)
- Cari ketidaksamaannya (contrast)
- Berikan pandangan (criticize)
- Banadingkan (synthesize)
- Ringkasan (summarize)
Tips!
- Hal terpenting dalam membuat literatur review adalah fitur utama dalam membangun teori, yaitu dengan bandingkan antara konsep, teori dan hipotesis dengan literatur yang ada
- Kunci utama dari proses ini adalah melihat sebanyak banyaknya literatur yang ada
- Kemudian cari persamaan dan perbedaan yang terjadi antara literatur yang satu dengan literatur lainnya. dan cari alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi
Sumber Sumber Literatur Review
- Publikasi paper dijurnal nasional dan internasonal
- Tesis (S2), penulis ilmiah yang sifatnya mendalam dan mengungkapkan suatu pengetahuan baru yang diperoleh melalui penelitian
- Disertasi (S3), merupakan penulisan ilmiah tingkat tinggi untuk dapatkan gelar Doktor Falsafah (ph.D). Disertasi berisi fakta berupa penemuan dari penulis berdasarkan metode dan analisis yang dapat dipertahankan kebenarannya
- Jurnal, Hasil hasil konferensi. Jurnal biasanya dihunakan sebagai bahan sitiran (sitasi) utama dalam penelitian karena jurnal memuat suatu informasi baru yang bersifat spesifikasi dan terfokus pada pemecahan masalah pada suatu topik penelitian
- Majalah, pamflet, kliping. majalah ilmiah merupakan sumber publikasi yang biasanya berupa teori, penemuan baru maupun berupa materi materi yang sedang populer dibicarakan dan diteliti
- Abstrak hasil penelitian
- Prosiding (proceedings). Pengambilan prosiding sebagai bahan literatur bisa memudahkan peneliti karena adanya kolaborasi antara peneliti dengan penulis prosiding yang mungkin berada astu Institusi, komuniti, peer group yang sama.
- Website yang memuat literatur ilmu komputer seperti, http://citeseer.nj.nec.com/cs, dan lainnya
Cycle Of Scientific Literature
Sitasi/Penyitiran
- Sitasi (citation) sangat penting dalam penulisan ilmiah, karena penulis memerlukan bahan pustaka (literatur review) untuk mendukung hasil tulisan pnelitiannya
- Sitasi menunjukan asal usul atau sumber suatu kutipan, mengutip pernyataan, atau salin.ulangi pernyataan seseorang dan mencantumkannya di dalam suatu karya tulis yang dibuat, namun tetap indikasikan bahwa kutipan tersebut merupakan pernyataan dari orang lain
- Suatu dokumen akan disitir apabila relevan dengan kegiatan penilisan karya ilmiah yang dilakukannya
- Penyitiran dokumen dilakukan dengan maksud membantu pengarang daptkan informasi tambahan guna memecahkan masalah yang diteliti
- Pada dasarnya, semua kalimat, ide atau hasil karya yang bukan karya sendiri harus disebutkan sumbernya
- Salah satu pemilihan dokumen yang disitir adalah kesesuaian topik dengan penelitian, namu ada juga yang menyitir dari dokumen yang berbeda dari topik penelitian, misalnya : untuk melihat analisa statistik/ analisa data lain yang mungkin bisa digunakan pada penelitian yang sedang dilakukan
- Tahun terbitan dokumen adalah hal penting karena dokumen yang terbitannya lebih terbaru atau termutakhir memuat informasi dan pengetahuan baru yang sedang berkembang saat itu
- Dokumen yang sifatnya lama.klasik juga masih bisa disitir, karena dokumen tersebut memberikan informasi yang masih relevan dengan keadaan saat ini, atau dokumen tersebut berisikan informasi awal perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini
Beberapa Refrensi dalam Mengacu Sumber Informasi :
1. IEEE (Institute of Electrical dan Electronics Enginers) Citation Style
Model IEE: Setiap refrensi diberi nomor berdasarkan urutan kemunculannya pada dokumen. ketika mengacu suatu refrensi dalam tulisan, digunakan nomor refrensi yang diapit oleh kurung siku [].2. Chicago Citation Style
Model Chicago: Berbeda dengan model acuan IEEE, pada model acuan chicago, refrensi refrensi diurutkan berdasarkan abjad pada daftar pustakaModel Lain Sitasi
1. APA Style ( American Psychological Association)
untuk rumpunan ilmu pisikologi, pendidikan dan ilmu ilmu sosial. contoh :2. MLA Style (Modern language Association)
untuk rumpun ilmu literature, seni, humanities. contoh:3. AMA Style ( American Medical Association)
1. Uraiakan masalah tahapan eksplorasi sesuai dengan minat / bidang seni rupa dan desain yang saudara tekuni (pilih salah satu : seni rupa, desain, kriya)
2. Buatlah paper / tulisan (mini research) dengan literature review tentang proyek karya seni / desain yang akan dibuat. Analogikan literature review pada konsep dan visualisasi karya guna mencari celah-celah untuk kebaruan karya (novelty)
Art Review
How to Write an Art Review and Make a Good Impression
Sumber : https://answershark.com/writing/creating-review/how-to-write-art-review.htmlArt Review Definition
An art review is an evaluation of art that can include a rating to indicate the work’s relative merit. Works of art, which are exhibited for public viewing and evaluation, bring great pleasure to visitors of museums and exhibitions. Most of us need to receive joy, seeing what a creative person is capable of doing. Sometimes it can be difficult or, on the contrary, it is very easy to accept the point of vision of the surrounding world by this or that artist. And they themselves are interested in getting appreciation for their creativity and the impetus for the further development of their talent. This is greatly helped by an art review, which can be done by both professionals and ordinary connoisseurs of the art.
The Purpose of an Art Review
The artist’s exhibition is not only the viewing of works of art, but also the sale of paintings and the collection of reviews of visitors and connoisseurs of painting. The reviews help to open a new facet of the artist’s talent, to evaluate its expositions and to look in a new light on what has already been done and what is to be done in order to gain more admirers and reach world-level fame and popularity.
How to Prepare for Writing an Art Review
Before you start writing a review, you should remember that a detailed retelling of what is going on in the painting reduces the value of the review: first, it is not interesting to read the work itself; secondly, one of the criteria for a weak review is rightly considered substitution of analysis and interpretation of the text by retelling it. Every painting begins with a title that you interpret as you look at it. Next, after you are finished preparing for the writing, it is time to understand how to write an art review.
Questions to Ask Before Writing an Art Review
- What format should be followed while writing an art review?
- What is depicted in the painting?
- What did the author want to say by this painting?
- Which moments left an indelible impression on you?
- What is the artist famous for?
- What are other memorable works of the artist?
- What associations occurred during the viewing?
- Can you use epithets and other expressive means?
- How can your own view of what you see be translated into a review?
- Would you add, or, on the contrary, expel something from the painting?
Art Review Writing Steps
- A review of a work of art must consist of several points. In the first paragraph, give the general characteristics of the picture, its actual description, and specify in detail what you see in it. Make a special emphasis on the moments that are especially attracting attention and leave an indelible impression. For example: “The picture depicts a turquoise sea, the beautiful silvery sand attracts attention, the endless blue sky catches your eye, and there is a sense of silence, which is disturbed only by the sound of the surf and the distant outbursts of the oars.”
- Further, it will be helpful to sort out all the associations and thoughts that came to your mind from what you saw. For example: “The landscape of the painting is associated with the vacation, which the viewer wants so much to spend on the shores of the azure sea, far from the hustle and bustle of daily worries, plunging into peace and quiet.”
- In the next paragraph, describe all the feelings from what you saw. You can express admiration from the viewed work in rapturous form. For example: “delightful,” “amazing,” “cool,” “super,” and “I want to see such the picture daily, waking up in the morning.” Give an assessment that is closest to you in the conversation genre.
- Develop your own idea. Describe in detail what happened to you after what you saw. Describe what needs to be added, what detail the artist has missed, what impression the picture would have made if additional landscapes were added, and if the color of the paint was changed or the canvas was decorated in a different style.
- In the conclusion of the description, give a general description of the artist’s works and your description of the picture viewed. Give a direction for further creativity, indicate what style, what genre you would like to see in the future, and what products you plan to purchase for your own interior, collection, or as a gift. Summarize everything you described. For example: “Modern painting is increasingly pleased with burning and saturated works. Modern creativity overcame postmodernism and expressiveness, returning connoisseurs to the real world of reality, and young artists opened the entire brink of creative potential that had previously been inaccessible and shone with new colors.”
Art Review Sample Analysis
Thanks to the art review example presented below, your own review can become more impressive. You can see how the writer talks about the matter of color, design, and technique of painting. An art review sample contains a general assessment concerning all the artist’s works and, directly, the one about which he writes. It is appropriate to read through art samples if you don’t know where to start. You can find reviews on the picture that you need to write on and also art review examples presented on our site will be helpful.
Click the images to see their full size.
Tips for Writing an Art Review
- Remember and tell what you know about the life and work of the artist. Briefly describe the historical era and the peculiarities of his or her native country. Indicate the main milestones of the life of the painter, his creative achievements, and a special contribution to the development of art. List the most famous works of the master.
- Designate the genre of the painting, and note the technique of performance and other artistic features of the picture. Specify how typical it is for a particular artist. Perhaps you want to talk about the only self-portrait in the creative biography of the illustrator of fairy tales.
- Tell about the plot of the picture. Summarize its main theme, what it is devoted to. Note whether the picture is related to certain historical events, whether it is a continuation of any significant topic in the artist’s work, and whether it evokes associations with literary sources. Determine exactly what the painter wanted to express.
- Analyze the features of the composition of the picture. Pay special attention to what is depicted in the foreground and what is attributed to the background by the author. Describe in detail the various details: the number of characters in the picture, their poses and emotions, the presence of main and secondary actors, and their interaction among themselves. Tell how detailed the general background of the picture is, and whether additional details have been introduced to support the main idea.
- Draw a connection between the plot and the color scheme of the picture, and think on what effect the artist wanted to achieve using these very tones. Do not ignore the way the artist placed light accents on the canvas.
- Describe the novelties applied by the artist in this picture. Here you can talk about plot constructions that have no analogues among contemporaries, and about the nuances of the artist’s artistic manner.
- Express your own impression of the picture. Explain how exactly it impressed you, to what thoughts it pushed, and what memories and associations it caused. If your opinion does not coincide with the reaction of critics, explain why you took this picture in such a way, and not otherwise.
How to Write an Art Exhibition Review
To express your impressions of the exhibition, you can use the resources of two genres. In the review, you can focus on evaluating the works of art that you saw. The report gives an opportunity to create the impression of a “live” picture in the text.
- A review is designed to evaluate works of art. In the introduction, tell the reader about where the exhibition is held and what it is devoted to. Briefly introduce the concept of the event in the form in which it was formulated by the curators themselves – they usually provide such information at the time of the opening or afterward as an announcement on the site of the museum or gallery.
- Correlate the official concept with what you saw at the exhibition with your own eyes. You can move from general to particular and first describe the impression that you received from all the works in general. And only after this, speculate on the impressions that have developed. Or, use the method of induction. Stop in detail on all significant works. If this is important in this case, tell us about the creator of each object, its creative evolution, and favorite techniques. Give an assessment of each work, arguing it.
- Draw a conclusion: whether the organizers succeeded in translating the declared idea, and whether the average visitor could catch and feel it. In the finale of the text, briefly formulate your impressions of the exhibition. If you want to make the text more dynamic, “live,” use the form and techniques of reportage.
After reading through our post, you have learned how to write an art review. It doesn’t matter whether you need to write a review on a picture, painter, or exhibition, as we tried to cover all of these issues. Besides this guide, feel free to look through our samples. If you need to deal with other academic papers, visit our blog for finding the right guide for you. Also, check out our article review example.
Buatlah paper / tulisan (mini research) dengan Art Review tentang proyek karya seni / desain yang akan dibuat. Analogikan literature review pada konsep dan visualisasi karya guna mencari celah-celah untuk kebaruan karya (novelty)
Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches
PURPOSE
This book advances a framework, a process, and compositional approaches for designing qualitative, quantitative, and mixed methods research in the human and social sciences. Increased interest in and use of qualitative research, the emergence of mixed methods approaches, and continuing use of the traditional forms of quantitative designs have created a need for this book's unique comparison of the three approaches to inquiry. This comparison begins with preliminary consideration of philosophical assumptions for all three approaches, a review of the literature, an assessment of the use of theory in research designs, and reflections about the importance of writing and ethics in scholarly inquiry. The book then addresses the key elements of the process of research: writing an introduction, stating a purpose for the study, identifying research questions and hypotheses, and advancing methods and procedures for data collection and analysis. At each step in this process, the reader is taken through qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. The cover illustration depicts a mandala, a Hindu or Buddhist symbol of the universe. Creation of a mandala, much like creation of a research design, requires looking from the vantage point of a framework, an overall design, as well as focused attention on the detail-a mandala made of sand can take days to create because of the precise positioning of the pieces, which sometimes are individual grains of sand. The mandala also shows the interrelatedness of the parts of the whole, again reflecting research design, in which each element contributes to and influences the shape of a complete study.
AUDIENCE
This book is intended for graduate students and faculty who seek assistance in preparing a plan or proposal for a scholarly journal article, dissertation, or thesis. At a broader level. the book may be useful as both a reference book and a textbook for graduate courses in research methods. To best take advantage of the design features in this book, the reader needs a basic familiarity with qualitative and quantitative research; however, terms will be explained and defined and recommended strategies advanced for those needing introductory assistance in the design process. Highlighted terms in the text and a glossary of the terms at the back of the book provide a working language for understanding research. This book also is intended for a broad audience in the social and human sciences. Readers' comments since the first edition indicate that individuals using the book come from many disciplines and fields. I hope that researchers in fields such as marketing, management. criminal justice, communication studies, psychology, sociology, K-12 education, higher and postsecondary education, nursing, health sciences, urban studies. family research, and other areas will find the third edition useful.
RESEARCH DESIGN, Quantitative, Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory Research Approaches
Buatlah resume Arts-Based dari buku Research Design : Quantitative, Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory Research Approaches, karya PATRICIA LEAVY !
DESIGN FOR THE REAL WORLD
The Vienna-born designer Victor Papanek was in his early 40s and bouncing from one U.S. teaching job to the next when, in the mid-1960s, he began writing Design for the Real World: Human Ecology and Social Change. The book would not only become the best-known product of his long career, but also help lay the foundation for the green architecture and humanitarian design movements that emerged over the course of the next generation. When it was finally published in 1971—with an introduction by Papanek’s friend and fellow iconoclast R. Buckminster Fuller—the book joined a groundswell of important critiques of modernism and postwar excess in architecture, design, industry, and corporate America. Indeed, the period between the early 1960s and the early 1970s produced a now-canonical group of reform-minded titles, including Jane Jacobs’s The Death and Life of Great American Cities, Rachel Carson’s Silent Spring, Richard G. Lillard’s Eden in Jeopardy, Bernard Rudofsky’s Architecture Without Architects, and Ralph Nader’s Unsafe at Any Speed.
Like most of those books, Design for the Real World was an impatient, jargon-free, and often passionate cri de coeur. Its main targets were examples of product design, architecture, and city planning that Papanek considered wasteful, dangerous, bad for the environment, or detached from the needs and lives of ordinary people. Early in the book, he savages the “Kleenex culture” of Western societies. (“That which we throw away, we fail to value.”) And he tears into the lemming-like qualities of designers who accept their roles as mere stylists, harshly calling them “the good Germans of the profession.” Superficiality, in people and design, is his consistent enemy, and he reserves special scorn for approaches that are both lacking in depth and form the basis of design school curricula.
“By designing criminally unsafe automobiles that kill or maim nearly one million people around the world each year, by creating whole new species of permanent garbage to clutter up the landscape, and by choosing materials and processes that pollute the air we breathe, designers have become a dangerous breed,” he writes. “And the skills needed in these activities are taught carefully to young people.” (Emphasis added.)
And at that point he’s just getting going. Still to come are attacks on “the lacy mantles and Gothic minarets” of the architects Edward Durell Stone and Minoru Yamasaki (not surprisingly, Papanek prefers the work of Paolo Soleri and the young Moshe Safdie); on the cozy alliance between designers and Madison Avenue; on the American “preoccupation with making things pretty”; and, in an especially memorable phrase, on “the glib, slicked-up Kitsch that characterizes most of the design work coming out of schools and offices.”
“So far the action of the profession,” he writes of designers, “has been comparable to what would happen if all medical doctors were to forsake general practice and surgery, and concentrate exclusively on dermatology and cosmetics.”
Zing!
Beyond the pummelingly entertaining rhetoric, Design for the Real World was remarkably prescient. Sure, there are a few stretches that seem dated today, and some of the design solutions Papanek holds up as models of a new approach—the clogs, the beanbag chairs, the “tricycle for adults with battery power-assist”—seem quaintly earnest. But much of the book could be published today and not seem at all out of place. The links between Papanek’s philosophy and the rising humanitarian-design movement are particularly strong, and in fact designers including Emily Pilloton, founder of Project H, and William McDonough have called the book an inspiration.
Papanek’s focus on ecological and social responsibility as the twin pillars of design practice seems particularly timely four decades later. So does his advice to designers about both the importance and the ethical pitfalls of working in poor parts of America or in the developing world.
“Ideally,” he writes, the designer would not only “move to the country” in question but also “train designers to train designers. In other words he would become a ‘seed project’ helping to form a corps of able designers out of the indigenous population of a country. Thus within one generation at most, five years at the least, he would be able to create a group of designers firmly committed to their own cultural heritage…and their own needs.”
Elsewhere, Papanek anticipates the universal-design debates of the 1980s as well as the contemporary interest in urban agriculture, the slow food and slow cities movements, and so-called maker culture. And his critique of design and architecture education seems especially relevant today. “The main trouble with design schools,” he writes, “seems to be that they teach too much design and not enough about the social and political environment in which design takes place.”
Given how unflinching many of the book’s critiques were, it’s not surprising that Papanek became persona non grata in certain design circles—though it seems clear in retrospect that to a certain extent he enjoyed his status as an outsider. When Papanek reported that thanks to the book he’d been “derided” and “savagely attacked,” he said it with some of the same pride that undergirded his generally accurate claim, in the 1985 edition of the book, that Design for the Real World had become “the most widely read book on design in the world.”
More interesting—and more pressing—is the question of what the continuing freshness of Papanek’s ideas says about the rising humanitarian design movement. It means, first of all, that the fissure in the profession that Papanek identifies between real engagement and salesmanship—between design with a conscience and design that has been, in his words, “sexed up” for the marketplace—is never going to go away. In both design and architecture this gap, this split personality, is fundamental. There will always be money and prestige to be found in the kind of design practice that answers primarily to the marketplace. And there will always be figures like Papanek to appeal to designers’ morality and the deeper, broader needs of human beings and the planet.
But there is also a good deal for younger readers to learn from the book, provided they use it more as a mirror than a primer. The book’s lessons for a new generation of socially engaged designers have less to do with the particulars of design practice—though there is plenty of strong practical advice in these pages—and more to do with the importance of careful, even ruthless, self-assessment. What does it mean, younger designers ought to ask, that the strategies of humanitarian design are so similar to the ideas Papanek laid out in 1971? Why, in other words, doesn’t the book seem more dated?
Certainly the answer in part is that the movement is concerned with timeless questions about access, morality and equity. Those ideals don’t—or shouldn’t—change over time, and in fact Papanek fills plenty of pages in the book railing against the idea of the merely fashionable. For him, trends and the distasteful notion of “planned obsolescence” were intertwined; objects go in and out of fashion, he argued, mostly as a pretext for getting the public to buy more stuff—usually stuff they and the environment don’t need.
But you could also make a case that there are certain elements of any movement that must evolve and mature. And in that sense there is some cause for concern among the emerging humanitarians. At the very least, the movement’s political tactics seem significantly underdeveloped. In post-Katrina New Orleans, in shrinking Detroit, in post-tsunami Japan, even in the declining standards of social housing and public architecture in relatively wealthy cities like Los Angeles—in each of these cases what has kept meaningful design from taking root at substantial scale isn’t a limited supply of ideas or projects but quite simply a lack of political savvy. In those locations and countless others, thoughtful, idealistic designers and architects have been outflanked by bureaucrats, engineers, or grandstanding politicians. And the same thing seems likely to happen wherever the next disaster strikes.
Then there is the question of technology. Design for the Real World is a message from a predigital age, from a world without smartphones, iPads, Skype, Twitter, Tumblr, and open-source design software. Again, in this sense the book sends a strong message about the importance of first principles, about the power of mud bricks, simple transistors, and face-to-face human contact. But the truth is that in more than a few ways leaders in humanitarian design have set up themselves up in clear opposition to both the bleeding-edge technology of Silicon Valley and architecture’s parametric camp, with its sleek digital fantasies. And while I can understand much of this impulse—and would kill to read a Papanek review of Patrik Schumacher’s Parametricist Manifesto—the fact remains that for us, in 2012, discovering too much kinship with Design for the Real World, particularly when it comes to its analog worldview, ought to be seen as a pretty big red flag. In technological terms, after all, 1971 was the Stone Age. Nostalgia for the simplicity of that period in the culture—and in the design world—is not so much unwarranted as simply irrelevant.
Understanding Media
Understanding Media: The Extensions of Man adalah buku tahun 1964 karya Marshall McLuhan, di mana penulis mengusulkan bahwa media, bukan konten yang mereka bawa, harus menjadi fokus studi. Dia menyarankan bahwa media mempengaruhi masyarakat di mana ia memainkan peran terutama oleh karakteristik media daripada konten. Buku ini dianggap sebagai studi perintis dalam teori media.
McLuhan menunjuk bola lampu sebagai contoh. Bola lampu tidak memiliki konten seperti surat kabar memiliki artikel atau televisi memiliki program, namun itu adalah media yang memiliki efek sosial; yaitu, bola lampu memungkinkan orang untuk membuat ruang pada malam hari yang seharusnya diselimuti oleh kegelapan. Dia menggambarkan bola lampu sebagai media tanpa konten apa pun. McLuhan menyatakan bahwa "bola lampu menciptakan lingkungan hanya dengan kehadirannya".[1]
Lebih kontroversial lagi, dia mendalilkan bahwa konten memiliki sedikit efek pada masyarakat—dengan kata lain, tidak masalah jika televisi menyiarkan acara anak-anak atau program kekerasan. Dia mencatat bahwa semua media memiliki karakteristik yang melibatkan penonton dengan cara yang berbeda; misalnya, sebuah bagian dalam sebuah buku dapat dibaca ulang sesuka hati, tetapi sebuah film harus diputar lagi secara keseluruhan untuk mempelajari bagian individu mana pun darinya.
Buku itu adalah sumber dari frasa terkenal "media adalah pesan". Itu adalah indikator utama dari pergolakan budaya lokal oleh nilai-nilai yang semakin mengglobal. Buku ini sangat mempengaruhi akademisi, penulis, dan ahli teori sosial. Buku ini membahas analisis radikal tentang perubahan sosial, bagaimana masyarakat dibentuk, dan tercermin oleh media komunikasi.
Ringkasan
Sepanjang Memahami Media, McLuhan menggunakan kutipan dan anekdot sejarah untuk menyelidiki cara-cara di mana bentuk-bentuk media baru mengubah persepsi masyarakat, dengan fokus khusus pada efek dari setiap media yang bertentangan dengan konten yang ditransmisikan oleh setiap media. McLuhan mengidentifikasi dua jenis media: media "panas" dan media "keren", diambil dari perbedaan antropologPrancis Lévi-Strauss antara masyarakat panas dan dingin.[2][3]
Terminologi ini tidak mengacu pada suhu atau intensitas emosional, atau semacam klasifikasi, tetapi pada tingkat partisipasi. Media keren adalah media yang membutuhkan partisipasi tinggi dari pengguna, karena definisinya yang rendah (penerima/pengguna harus mengisi informasi yang hilang). Karena banyak indera dapat digunakan, mereka mendorong keterlibatan. Sebaliknya, media panas rendah dalam partisipasi penonton karena resolusi atau definisinya yang tinggi. Film, misalnya, didefinisikan sebagai media panas, karena dalam konteks bioskop gelap, penonton benar-benar terpikat, dan satu indra utama—visual—diisi dalam definisi tinggi. Sebaliknya, televisi adalah media yang keren, karena banyak hal lain yang mungkin terjadi dan penonton harus mengintegrasikan semua suara dan pemandangan dalam konteksnya.
Di Bagian Satu, McLuhan membahas perbedaan antara media panas dan dingin dan cara satu media menerjemahkan konten media lain. Secara singkat, "konten dari sebuah media selalu merupakan media lain".
Di Bagian Dua, McLuhan menganalisis setiap media (sekitar tahun 1964) dengan cara yang mengekspos bentuk, daripada konten dari setiap media. Secara berurutan, McLuhan mencakup:
- Kata Yang Diucapkan;
- Kata Tertulis (yaitu, manuskrip atau incunabulum);
- Jalan dan Rute Kertas;
- Angka;
- Pakaian;
- Perumahan;
- Uang;
- Jam;
- Cetakan (yaitu, litograf bergambar atau potongan kayu);
- Komik;
- Kata yang Dicetak (yaitu, tipografi);
- Rodanya;
- Sepeda dan Pesawat Terbang;
- Fotonya;
- Pers;
- Mobil Motor;
- Iklan;
- Permainan;
- The Telegraph;
- Mesin Ketik;
- Telepon;
- Fonograf;
- Film;
- Radio;
- Televisi;
- Senjata; dan
- Otomatisasi.
Konsep dari "media"
McLuhan menggunakan kata medium, media, dan teknologi secara bergantian.
Bagi McLuhan, media adalah "ekstensi apa pun dari diri kita sendiri" atau, lebih luas lagi, "teknologi baru apa pun".[4]Sebaliknya, selain bentuk-bentuk seperti surat kabar, televisi, dan radio, McLuhan menyertakan bola lampu,[5]mobil, ucapan, dan bahasa dalam definisinya tentang media: semua ini, sebagai teknologi, memediasi komunikasi kita; bentuk atau strukturnya memengaruhi cara kita memandang dan memahami dunia di sekitar kita.
McLuhan mengatakan bahwa pernyataan konvensional gagal dalam mempelajari media karena mereka fokus pada konten, yang membutakan mereka terhadap efek psikis dan sosial yang menentukan signifikansi sebenarnya dari media. McLuhan mengamati bahwa media apa pun "mamplifikasi atau mempercepat proses yang ada", memperkenalkan "perubahan skala atau kecepatan atau bentuk atau pola ke dalam asosiasi, urusan, dan tindakan manusia", yang menghasilkan "konsekuensi psikis, dan sosial".[4][5]Ini adalah "makna atau pesan" nyata yang dibawa oleh media, pesan sosial dan psikis, dan itu hanya bergantung pada media itu sendiri, terlepas dari 'konten' yang dipancarkan olehnya.[4]Ini pada dasarnya adalah arti dari "media adalah pesan".
Untuk menunjukkan kekurangan dari kepercayaan umum bahwa pesan berada dalam bagaimana media digunakan (konten), McLuhan memberikan contoh mekanisasi, menunjukkan bahwa terlepas dari produknya (misalnya, serpihan jagung atau Cadillac), dampaknya pada pekerja dan masyarakat adalah sama.[4]
Dalam contoh lebih lanjut dari ketidaksadaran umum tentang arti sebenarnya dari media, McLuhan mengatakan bahwa orang-orang "menjelaskan goresannya tetapi bukan gatalnya".[6]Sebagai contoh "ahli media" yang mengikuti pendekatan yang cacat secara fundamental ini, McLuhan mengutip pernyataan dari "Jenderal" David Sarnoff (kepala RCA), menyebutnya "suara somnambulisme saat ini".[7]Setiap media "menambahkan dirinya pada apa yang sudah kita lakukan", mewujudkan " amputasi dan ekstensi" pada indera dan tubuh kita, membentuknya dalam bentuk teknis baru. Semenarik pembuatan ulang diri kita ini mungkin tampak, itu benar-benar menempatkan kita dalam "hipnotis narsistik" yang mencegah kita melihat sifat sebenarnya dari media.[7]McLuhan juga mengatakan bahwa karakteristik dari setiap media adalah bahwa kontennya selalu merupakan media (sebelumnya) lain.[5]Sebagai contoh di milenium baru, Internet adalah media yang kontennya adalah berbagai media yang datang sebelum itu—media cetak, radio, dan gambar bergerak.
Pemahaman yang diabaikan dan terus-menerus diulang yang dimiliki McLuhan adalah bahwa penilaian moral (untuk lebih baik atau lebih buruk) dari seorang individu yang menggunakan media sangat sulit, karena efek psikis yang dimiliki media terhadap masyarakat dan penggunanya. Selain itu, media dan teknologi, untuk McLuhan, belum tentu secara inheren "baik" atau "buruk" tetapi membawa perubahan besar dalam cara hidup masyarakat. Kesadaran akan perubahan adalah apa yang tampaknya dianggap paling penting oleh McLuhan, sehingga, dalam perkiraannya, satu-satunya bencana yang pasti adalah masyarakat yang tidak merasakan efek teknologi pada dunia mereka, terutama jurang dan ketegangan antar generasi.
Satu-satunya cara yang mungkin untuk membedakan "prinsip dan garis kekuatan" yang sebenarnya dari sebuah medium (atau struktur) adalah dengan berdiri di sampingnya dan terlepas darinya. Ini diperlukan untuk menghindari kemampuan kuat dari media apa pun untuk menempatkan yang tidak waspada ke dalam "keadaan bawah sadar Narcissus trance", memaksakan "asumsi, bias, dan nilainya sendiri" padanya. Sebaliknya, saat dalam posisi terpisah, seseorang dapat memprediksi dan mengendalikan efek dari medium. Ini sulit karena "mantra dapat terjadi segera setelah kontak, seperti pada bar pertama melodi".[8]Salah satu contoh historis dari detasemen tersebut adalah Alexis de Tocqueville dan media tipografi. Dia berada di posisi seperti itu karena dia sangat melek huruf.[8]Sebaliknya, contoh historis dari pelukan asumsi teknologi terjadi dengan dunia Barat, yang, sangat dipengaruhi oleh literasi, mengambil prinsip-prinsipnya "seragam dan kontinu dan berurutan" untuk arti sebenarnya dari "rasional".[8]
McLuhan berpendapat bahwa media adalah bahasa, dengan struktur dan sistem tata bahasa mereka sendiri, dan bahwa mereka dapat dipelajari seperti itu. Dia percaya bahwa media memiliki efek karena mereka terus-menerus membentuk dan membentuk kembali cara-cara di mana individu, masyarakat, dan budaya memandang dan memahami dunia. Dalam pandangannya, tujuan studi media adalah untuk membuat terlihat apa yang tidak terlihat: efek dari teknologi media itu sendiri, bukan hanya pesan yang mereka sampaikan. Oleh karena itu, studi media, idealnya, berusaha mengidentifikasi pola dalam media dan dalam interaksinya dengan media lain. Berdasarkan studinya di New Criticism, McLuhan berpendapat bahwa teknologi adalah kata-kata seperti budaya di sekitarnya adalah puisi: yang pertama mendapatkan maknanya dari konteks yang dibentuk oleh yang terakhir. Seperti Harold Innis, McLuhan melihat ke budaya dan masyarakat yang lebih luas di mana media menyampaikan pesannya untuk mengidentifikasi pola efek media.[9]
Media "panas" dan "keren"
Pada bagian pertama Understanding Media, McLuhan juga menyatakan bahwa media yang berbeda mengundang tingkat partisipasi yang berbeda dari pihak orang yang memilih untuk mengkonsumsi media. Beberapa media, seperti film, "panas" - yaitu, mereka meningkatkan satu indra tunggal, dalam hal ini visi, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak perlu mengerahkan banyak usaha dalam mengisi detail gambar film. McLuhan membandingkan ini dengan TV "keren", yang dia klaim membutuhkan lebih banyak usaha dari pihak penonton untuk menentukan makna, dan komik, yang karena presentasi detail visualnya yang minimal membutuhkan upaya tingkat tinggi untuk mengisi detail yang mungkin ingin digambarkan oleh kartunis. Sebuah film dengan demikian dikatakan oleh McLuhan sebagai "panas", mengintensifkan satu arti tunggal "definisi tinggi", menuntut perhatian penonton, dan buku komik menjadi "keren" dan "definisi rendah", membutuhkan partisipasi yang jauh lebih sadar oleh pembaca untuk mengekstrak nilai.[10]
"Media panas apa pun memungkinkan partisipasi lebih sedikit daripada yang keren, karena kuliah membuat partisipasi lebih sedikit daripada seminar, dan buku kurang dari dialog."[11]
Media panas biasanya, tetapi tidak selalu, memberikan keterlibatan penuh tanpa stimulus yang cukup besar. Misalnya, cetak menempati ruang visual, menggunakan indera visual, tetapi dapat membenamkan pembacanya. Media panas menyukai presisi analitis, analisis kuantitatif, dan urutan berurutan, karena biasanya berurutan, linier, dan logis. Mereka menekankan satu indera (misalnya, penglihatan atau suara) di atas yang lain. Untuk alasan ini, media panas juga termasuk radio, serta film, kuliah dan fotografi.
Media keren, di sisi lain, biasanya, tetapi tidak selalu, mereka yang memberikan sedikit keterlibatan dengan stimulus substansial. Mereka membutuhkan partisipasi yang lebih aktif dari pihak pengguna, termasuk persepsi pola abstrak dan pemahaman simultan dari semua bagian. Oleh karena itu, menurut McLuhan media keren termasuk televisi, serta seminar dan kartun. McLuhan menggambarkan istilah "media keren" muncul dari jazz dan musik populer dan, dalam konteks ini, digunakan untuk berarti "terpisah".[12]
Contoh media dan pesan mereka
Contoh media dan pesan mereka Penjelasan Esensi (pesan yang sebenarnya) Konten/penggunaan (pesan yang tidak relevan) mekanisasi[4][13] Menyediakan operator manusia dengan mesin untuk membantu mereka dengan persyaratan fisik pekerjaan. Itu dicapai "dengan fragmentasi dari proses apa pun dan dengan menempatkan bagian yang terfragmentasi dalam sebuah seri". Esensinya adalah "teknik fragmentasi". Itu adalah "fragmenter, sentralis, dan dangkal" dalam membentuk kembali hubungan manusia. Dekomposisi membuat proses menjadi urutan, yang tidak memiliki prinsip kausalitas. produk yang diproduksi (misalnya cornflake atau Cadillacs) otomatisasi[4] Menggunakan mesin untuk menggantikan operator manusia. Itu adalah "integral dan desentralisasi secara mendalam" produk yang diproduksi (misalnya cornflake atau Cadillac) film[13] Mempercepat mekanik (urutan bingkai) Dengan "mercepat mekanis, itu membawa kita dari dunia urutan dan koneksi ke dunia konfigurasi dan struktur kreatif. Pesan dari media film adalah transisi dari koneksi lineal ke konfigurasi." listrik[13][14] Era listrik Kecepatan instan listrik membawa simultanitas. Itu mengakhiri pengurutan/pengurutan yang diperkenalkan oleh mekanisasi, dan "penyebab hal-hal mulai muncul untuk kesadaran lagi". "Kecepatan listrik lebih jauh mengambil alih dari urutan film mekanis, kemudian garis gaya dalam struktur dan media menjadi keras dan jelas. Kami kembali ke bentuk ikon yang inklusif." Itu memaksakan pergeseran dari pendekatan fokus pada "segmen perhatian khusus" (mengadopsi satu perspektif tertentu), ke gagasan "kesadaran sensorik instan dari keseluruhan", perhatian pada "bidang total", "rasa dari seluruh pola". Itu membuat jelas dan lazim arti "bentuk dan fungsi sebagai kesatuan", sebuah "ide integral dari struktur dan konfigurasi". Ini memiliki dampak besar dalam disiplin lukisan (dengan kubisme), fisika, puisi, komunikasi dan teori pendidikan. lampu listrik[5] - "benar-benar radikal, meresap, dan terdesentralisasi... itu menghilangkan faktor waktu dan ruang dalam asosiasi manusia persis seperti halnya radio, telegraf, telepon, dan TV, menciptakan keterlibatan secara mendalam." biasanya tidak ada. (walaupun itu dapat digunakan untuk "mengeja beberapa nama merek") tenaga listrik di industri[5] - sama seperti lampu listrik (berbeda dari lampu listrik) telegraf[5] cetak cetak dan tipografi[5][8][15] budaya cetak visual baru Pesannya adalah prinsip keseragaman, kontinuitas, dan linearitas. Dampak pada asosiasi manusia: kata yang dicetak, melalui "saturasi budaya" pada abad ke-18, "homogenisasi bangsa Prancis, melapisi kompleksitas masyarakat feodal dan lisan kuno";[16]ini membuka jalan bagi Revolusi, yang "dilakukan oleh para literasi dan pengacara baru". Batas pada dampak: itu tidak dapat "mengambil sepenuhnya" pada masyarakat seperti Inggris Raya, di mana "tradisi lisan kuno hukum umum" sebelumnya, yang membuat budaya negara begitu terputus-putus dan tidak dapat diprediksi dan dinamis, sangat kuat dan "didukung oleh lembaga hukum Parlemen abad pertengahan"; budaya cetak, malah mengarah pada revolusi besar di Prancis dan Amerika Utara, karena mereka lebih linier dan tidak memiliki institusi kontras dengan kekuatan yang sebanding. kata yang tertulis menulis[5] pidato pidato[5] "Ini adalah proses pemikiran yang sebenarnya, yang dengan sendirinya nonverbal" radio[5] telepon[5] TV[5] "Itu berbicara, namun tidak mengatakan apa-apa."[17] kereta api[5] "itu mempercepat dan memperbesar skala fungsi manusia sebelumnya, menciptakan jenis kota yang benar-benar baru dan jenis pekerjaan dan waktu luang yang baru." pengiriman; "berfungsi di lingkungan tropis atau utara" pesawat terbang[5] "dengan mempercepat laju transportasi, itu cenderung membubarkan bentuk kereta api kota, politik, dan asosiasi" perjalanan cepat Kritik dari Memahami Media
Beberapa ahli teori telah menyerang definisi dan perlakuan McLuhan terhadap kata "sedang" karena terlalu sederhana. Umberto Eco, misalnya, berpendapat bahwa media McLuhan menggabungkan saluran, kode, dan pesan di bawah istilah menyeluruh dari media, membingungkan kendaraan, kode internal, dan konten pesan yang diberikan dalam kerangka kerjanya.[18]
Dalam Media Manifestos, Régis Debray juga mempermasalahkan pandangan McLuhan tentang media tersebut. Seperti Eco, dia juga tidak nyaman dengan pendekatan reduksionis ini, meringkas konsekuensinya sebagai berikut:[18]
Daftar keberatan dapat dan telah diperpanjang tanpa batas waktu: membingungkan teknologi itu sendiri dengan penggunaan media membuat media menjadi kekuatan abstrak, tidak terdiferensiasi dan menghasilkan citranya dalam "publik" imajiner untuk konsumsi massal; kenaifan magis dari dugaan kausalitas mengubah media menjadi "mana" yang menangkap semua dan menular; millenarianisme apokaliptik menciptakan sosok homo massa-mediaticus tanpa ikatan dengan konteks sejarah dan sosial, dan sebagainya.
Selanjutnya, ketika Wired mewawancarainya pada tahun 1995, Debray menyatakan bahwa dia memandang McLuhan "lebih sebagai penyair daripada sejarawan, master kolase intelektual daripada analis sistematis.... McLuhan terlalu menekankan teknologi di balik perubahan budaya dengan mengorbankan penggunaan pesan dan kode yang dibuat dari teknologi itu."[19]
Dwight Macdonald, pada gilirannya, mencela McLuhan karena fokusnya pada televisi dan untuk gaya prosa "aforistik"-nya, yang dia yakini membuat Understanding Media dipenuhi dengan "kontradiksi, non-sequitur, fakta yang terdistorsi dan fakta yang bukan fakta, berlebihan, dan ketidakjelasan retoris yang kronis".[20]
Selain itu, Misunderstanding Media karya Brian Winston, yang diterbitkan pada tahun 1986, menegur McLuhan atas apa yang dia lihat sebagai sikap deterministiknya secara teknologi.[20] Raymond Williams dan James W. Carey lebih jauh tentang poin pertikaian ini, mengklaim:
Karya McLuhan adalah puncak khusus dari teori estetika yang menjadi, secara negatif, teori sosial ... Ini adalah determinisme teknologi yang tampaknya canggih yang memiliki efek signifikan dalam menunjukkan determinisme sosial dan budaya ... Jika media - apakah cetak atau televisi – adalah penyebabnya, dari semua penyebab lainnya, semua yang biasanya dilihat pria sebagai sejarah sekaligus direduksi menjadi efek. (Williams 1990, 126/7)[20]
David Carr menyatakan bahwa telah ada garis panjang "akademisi yang telah berkarir dengan mendekonstruksi upaya McLuhan untuk mendefinisikan ekosistem media modern", apakah itu karena apa yang mereka lihat sebagai ketidaktahuan McLuhan terhadap konteks sosio-historis atau gaya argumennya.[21]
Sementara beberapa kritikus mempermasalahkan gaya penulisan dan cara argumen McLuhan, McLuhan sendiri mendesak pembaca untuk menganggap karyanya sebagai "probe" atau "mosaik" yang menawarkan pendekatan toolkit untuk berpikir tentang media. Gaya penulisan eklektiknya juga telah dipuji karena kepekaan postmodernnya[22]dan kesesuaian untuk ruang virtual.[23]
Menjelajahi teori
Teori McLuhan tentang "media adalah pesan" menghubungkan budaya dan masyarakat. Topik yang berulang adalah kontras antara budaya lisan dan budaya cetak.[8]
Setiap bentuk media baru, menurut analisis McLuhan, membentuk pesan secara berbeda sehingga membutuhkan filter baru untuk terlibat dalam pengalaman melihat dan mendengarkan pesan-pesan itu.
McLuhan berpendapat bahwa sebagai "urutan menghasilkan simultan, seseorang berada di dunia struktur dan konfigurasi". Contoh utama adalah bagian dari mekanisasi (proses terfragmentasi menjadi urutan, koneksi linier) ke kecepatan listrik (lebih cepat hingga simultanitas, konfigurasi kreatif, struktur, bidang total).[14]
Howard Rheingold mengomentari McLuhan "media adalah pesan" dalam kaitannya dengan konvergensi teknologi, khususnya komputer. Dalam bukunya Tools for Thought Rheingold menjelaskan gagasan tentang mesin universal - konsepsi asli komputer.[24]Akhirnya komputer tidak akan lagi menggunakan informasi tetapi pengetahuan untuk beroperasi, pada dasarnya berpikir. Jika di masa depan komputer (media) ada di mana-mana, lalu apa yang terjadi dengan pesan McLuhan?
Contoh sejarah
Menurut McLuhan, Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika terjadi di bawah dorongan cetak sedangkan pra-eksistensi budaya lisan yang kuat di Inggris mencegah efek seperti itu.[8]
Catatan kaki
- Memahami Media, hal. 8.
- Claude Lévi-Strauss (1962) Pikiran Buas, bab.8
- Taunton, Matthew (2019) Inggris Merah: Revolusi Rusia dalam Budaya Abad Pertengahan, hal.223
- hal.7
- pp.8-9
- hal.10
- hal.11
- p.15
- Old Messengers, New Media: The Legacy of Innis and McLuhan Diarsipkan 2007-10-01 di Wayback Machine, sebuah pameran museum virtual di Library and Archives Canada
- Memahami Media, hal. 22.
- Memahami Media, hal. 25.
- Lihat Arsip Radio CBC
- hal.12
- hal.13
- hal.14
- Alexis de Tocqueville (1856) Rezim Lama dan Revolusi
- dikutip dari Romeo dan Juliet
- Debray, Regis. "Manifesto Media" (PDF). Pers Universitas Columbia. Diakses tanggal 2 November 2011.
- Joscelyne, Andrew. "Debray pada Teknologi". Diakses tanggal 2 November 2011.
- Mullen, Megan. "Berdamai dengan Masa Depan yang Dia ramalkan: Pemahaman Media Marshall McLuhan". Diarsipkan dari versi asli pada 5 November 2011. Diakses tanggal 2 November 2011.
- Carr, David (6 Januari 2011). "Marshall McLuhan: Media Savant". The New York Times. Diakses tanggal 2 November 2011.
- Paul Grossweiler, Metode adalah Pesannya: Memikirkan Kembali McLuhan melalui Teori Kritis (Montreal: Black Rose, 1998), 155-81
- Paul Levinson, Digital McLuhan: Panduan untuk Milenium Informasi (New York: Routledge, 1999), 30.
- "Alat untuk Pemikiran oleh Howard Rheingold: Daftar Isi".
Tautan eksternal
- Situs web resmi Marshall McLuhan (penulis)
Buatlah resume dari buku Understanding Media karya Marshall McLuhan !
E-book dikirim lewat WAG.
Ujian Tengah Semester
Buatlah proposal penciptaan seni dengan tema :
A. Go Green
B. Upcycled and Recycled
(pilih salah satu)
Sistematika dan ketentuan proposal sebagai berikut :
1. Ringkasan proposal penciptaan tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penciptaan, tujuan dan tahapan metode penciptaan, luaran yang ditargetkan
2. Pendahuluan tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan yang akan diciptakan, tujuan khusus, dan urgensi penciptaan. Pada bagian ini perlu dijelaskan uraian tentang spesifikasi khusus terkait dengan disiplin dan minat kepada seni rupa dan desain.
3. Literature review dan literature visual tidak lebih dari 1000 kata dan 5 gambar dengan mengemukakan state of the art dan peta jalan (road map) dalam bidang yang diciptakan. Bagan dan road map dibuat dalam bentuk JPG/PNG yang kemudian disisipkan dalam isian ini. Sumber pustaka/referensi primer yang relevan dengan mengutamakan hasil penelitian/penciptaan pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang terkini.
4. Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata. Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penciptaan yang menggambarkan apa yang sudah dilaksanakan dan yang akan dikerjakan selama waktu yang diusulkan. Format diagram alir dapat berupa file JPG/PNG. Bagan penciptaan harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang jelas, mulai dari awal bagaimana proses dan luarannya, dan indikator capaian yang ditargetkan.
5. Referensi diusahakan 10 tahun terakhir dan yang terkait dengan usulan penciptaan
Presentasi Proposal Penciptaan Seni
Presentasikan proposal penciptaan seni dengan tema yang dipilih!
Desain Karya Visual
Buatlah desain / rancangan karya yang dilengkapi dengan data teknis, spesifikasi serta narasi / penjelasan karya yang akan dibuat mencakup latar belakang, tahapan visualisasi dan kebaruannya !
Otokritik Karya Visual
Dalam kesenian sering disebutkan bahwa karya yang dihasilkan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya seni tradisional, konvensional atau klasik, kemudian dapat dikelompokkan sebagai karya seni moderen, dan terakhir dalam pembagian klasifikasi adalah karya seni post-modern atau kontemporer. Masing-masing kategori tentunya mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kategori yang lain.
Terkait dengan relasi pertandaan pra-modernisme, modernisme, dan post-modernisme, terlihat perbedaan relasi pertandaan yang sangat mencolok dalam bidang seni rupa dan desain. Pada masa klasik atau pra-modernisme, seni berfungsi menyampaikan pesan-pesan ideologis atau spiritual yang sudah mapan secara konvensional. Pada abad pertengahan, seni lebih banyak diwarnai upaya penyampaian tanda tentang wahyu, ajaran, atau kebenaran lewat ikon-ikon. Hal ini secara umum dapat digambarkan dalam sebuah prinsip: form follows meaning, yang artinya bentuk selalu bermuara pada makna-makna ideologis atau spiritual.
Pada masa moderen, seni berusaha menolak keterkaitannya dengan makna-makna ideologis atau spiritual, dan berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu sendiri. Seni moderen berusaha melepaskan diri dari perangkap mitos, tradisi, kepercayaan, dan konvensi sosial. Sebagai gantinya, modernisme mengajukan prinsip: form follows function, yang artinya bahwa setiap ungkapan bentuk pada akhirnya akan menyandarkan maknanya pada aspekfungsi dari suatu obyek. Dalam seni murni, aspek fungsi dapat dijelaskan dengan istilah formalisme, yang maksudnya sebuah bentuk dikatakan bermakna bukan berdasarkan relasi strukturalnya dengan realitas di luar bentuk tersebut, tetapi relasi formal di antara elemen-elemen seni rupa seperti: garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur, yang membangun bentuk tersebut, dan sekaligus menentukan fungsinya.
Pada seni post-modernisme, relasi pertandaan lebih bersifat ironis dengan menolak acuan penanda pada makna ideologis yang konvensional, sekaligus juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Post-modernisme meminjam dan mengambil tanda-tanda dari periode klasik dan moderen, bukan untuk menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, tetapi untuk menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional, dan meleburkan diri dalam ajang permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, sebagaimana dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Post-modernisme mengajukan satu prinsip baru pertandaan: form follows fun, yang maksudnya dalam post-modernisme bukan makna-makna ideologis yang ingin dicapai, tetapi justru kegairahan dalam bermain dengan penanda. (lihat Piliang, 1999 : 121 – 124)
Kritik seni merupakan pembicaraan mengenai karya seni, sedangkan kritik seni rupa adalah pembicaraan mengenai karya seni rupa. Guna mewujudkan tujuan tersebut, maka diperlukan cara pertimbangan penilaian yang akan mempermudah dalam memahami karya seni rupa dengan segala aspeknya, baik faktor intraestetik maupun ekstraestetik.
Kreasi dan apresiasi merupakan tindakan penciptaan karya seni oleh pencipta karya seni atau seniman dan pemanfaatan / penghargaan oleh pemakai seni (user) untuk memenuhi kebutuhan estetik sesuai dengan pedoman pada model pengetahuan yang ada dalam kesenian yang didukungnya, dan berpegang pada tradisi yang berlaku. Penciptaan atau kreasi karya seni dipengaruhi faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman danpemakai seni / user. Pendekatan intraestetik, yaitu faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsur struktur, bentuk, dll.) dengan kriteria yang ditetapkan universal oleh para ahli seni. ( bandingkan H. G. Blocker, 1979 : 22–24 ; M. Dufrenne, 1979 : 301-329; T. Munro, 1969 : 358 - 360)
Faktor intraestetik sering juga disebut dengan penilaian formalisme yang menempatkan unsur-unsur estetika dalam suatu karya seni merupakan tinjauan utamanya. Melalui penilaian formalisme, maka kritik lebih bersifat mementingkan bentuk-bentuk visualnya. Penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Menurut Edmund Burke Feldman, seorang formalis adalah yang melihat hubungan antara perencanaan dan perhitungan menjadi sesuatu yang jelas dan benar-benar sama bobotnya. Karya-karya Mondrian dianggap lebih jelas bagi kaum formalis karena dalam karyanya cenderung mengurangi suatu akibat yang bersifat kebetulan. (lihat Feldman, 1967 : 459)
Pendekatan formalisme dalam menelaah karya seni rupa dengan cara memandang obyek utamanya atau karakteristik materialnya, sehingga masalah kecakapan dalam mengolah bentuk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni dalam mewujudkan karya seninya yang kasat mata merupakan pokok perhatian utama pendekatan ini. Penilaian formalisme dapat dilakukan dengan cara mengurai secara obyektif seluruh tampilan visual dengan pendekatan kontruktif dan struktural pada formalitas bentuknya. Pengorganisasian dari elemen-elemen visual merupakan bagian terpenting dalam penilaian mewujudkan sebuah karya seni.
Formalisme sebagai suatu teori dalam kritik seni cenderung mengkesampingkan atau mengabaikan faktor ekstraestetik atau faktor-faktor di luar karya seni yang dinilai, seperti faktor nilai-nilai estetika yang berhubungan dengan latar belakang pencipta karya, faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, pendidikan, dan religi.
Berlawanan dengan penilaian formalisme, penilaian ekspresifisme lebih tertarik dengan memperhatikan faktor perasaan dan emosi seniman dalam menghasilkan karyanya. Hal ini disebabkan dalam pendekatan ekspresifisme, faktor unsur-unsur pribadi dalam diri pencipta karya secara disadari atau tidak disadari akan hadir dalam karya-karya yang dihasilkannya. Pendekatan ekspresifisme lebih tertarik kepada karya seni rupa yang diwujudkan melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan yang ada dalam diri seniman. Pendekatan ekspresifisme merupakan kombinasi dari pendekatan faktor intraestetik dan ekstraestetik dalam batas-batas tertentu.
Faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman menjadi pertimbangan penilaian karya seni yang dihasilkannya. Faktor ekstra-estetik ini disebut juga dengan penilaian instrumentalisme, karena tidak hanya mengkaji ungkapan perasaan atau emosi pencipta karya seni seperti pendekatan ekspresifisme, tetapi suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi kehidupan seniman. Pendekatan instrumentalisme merupakan teori pendekatan karya seni rupa yang mencoba mengkaji kaitan antara karya seni yang dihasilkan dengan latar belakang penciptanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk menilai karya seni rupa kontemporer, karena pendekatan ini mencurahkan perhatiannya kepada tema, narasi dan kontekstual gagasan dari karya seni kontemporer yang dihasilkan. Penilaian instrumentalisme cenderung memandang karya seni rupa sebagai tekstual yang dikaitkan dengan kontektual karya tersebut, dan menyadari bahwa karya seni sebagai bentuk “pengabdian” untuk menjalankan beberapa pesan dan tujuan di luar dirinya.
Berdasarkan beberapa uraian penilaian di atas, tampaknya karya yang disajikan oleh seniman dapat mewakili ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, dari masing-masing seniman yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidupnya. Karya seni cenderung berbeda dalam corak dan ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik, seperti dalam seni kontemporer relasi pertandaan cenderung menolak acuan penanda pada maknaideologis yang konvensional, dan juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Seni kontemporer menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru, dan menghanyutkan diri dalam arena permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, dan setiap orang dibebaskan untuk menginterpreatsikan serta memaknai karya seni kontemporer secara terbuka sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan pengalamannya.
Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan dengan gaya selera penulisan media massanya.
Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincangbincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni.
1. Deskripsi
Deskripsi dalam kritik seni adalah suatu penggambaran atau pelukisan dengan katakata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya berhasil dikumpulkan.
Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya, dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran.2. Analisis Formal
Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses pewujudan karya beserta urutannya.
Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandinganperbandingan mulai dapat dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan bentuk.3. Interpretasi
Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479)
Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya, dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah interpretasi yang tepat.
4. Penilaian
Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka 85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga bukan dengan huruf A untuk hasil yang
sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus.
Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsurunsur dalam karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masingmasing nilai dijumlahkan kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah, tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat.
Pada sisi yang lain, ada anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya, kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut pandang tertentu yang melatarbelakanginya
Buatlah otokritik terhadap karya desain visual yang telah dibuat sebelumnya dengan deskripsi, analisis formal, intepretasi dan penilaian !
Otokritik dan kritik dengan 5W + 1H
Rumus 5W 1H identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Biasanya, pelajar akan ditugaskan untuk menelisik cerita atau berita menggunakan rumus 5W 1H. Sebab, cerita dan berita yang baik akan memuat unsur yang lengkap agar mudah dipahami dan informatif.
Rumus 5W 1H diperkenalkan pertama kali oleh seorang penulis dan penyair bernama Rudyard Kipling. Pada perkembangannya, 5W 1H banyak digunakan dalam dunia sastra, jurnalistik, penelitian ilmiah, dan aktivtas lain-lain.Ini karena sifatnya yang sederhana, serbaguna, dan dapat memperoleh informasi secara menyeluruh. Oleh sebab itu, rumus 5W 1H perlu dipahami oleh banyak orang, tidak hanya mereka yang bergelut di dunia sastra.Nah, berikut kami ulas pengertian 5W 1H beserta penjelasan tiap unsurnya:Pengertian 5W 1H
5W 1H merupakan panduan yang memuat pertanyaan, berguna sebagai dasar pengumpulan informasi atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, suatu informasi dianggap baik dan lengkap jika mampu menjawab unsur 5W 1H tersebut.Istilah ini diambil dari singkatan kata tanya dalam bahasa Inggris, yakni what (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), dan how (bagaimana). Untuk memudahkan penghafalan dalam bahasa Indonesia, 5W 1H dikenal dengan singkatan Adiksimba yang merupakan kependekan dari apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, bagaimana.Penjelasan Lengkap Unsur 5W1H
What (apa)Unsur what (apa) merupakan unsur pertama yang wajib ada dalam sebuah penulisan atau penelitian. Sebab, what digunakan untuk menanyakan kejadian/inti cerita yang ingin disampaikan. Unsur what akan mengantarkan penulis untuk mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya terkait peristiwa yang sedang terjadi.Who (Siapa)Sumber : https://kumparan.com/berita-hari-ini/apa-pengertian-dari-5w-1h-simak-penjelasan-berikut-1trlKENy7GI/fullUnsur who (siapa) merupakan pertanyaan yang menjurus kepada pelaku yang terlibat dalam peristiwa yang diulas. Who di sini tidak hanya merujuk pada pelaku utama dalam cerita, tetapi juga orang-orang lain yang turut mendukung cerita tersebut bisa terbentuk.When (Kapan)Unsur when (kapan) merujuk pada keterangan waktu dari masalah atau peristiwa yang terjadi. Dengan adanya keterangan waktu, informasi lebih jelas dan akurat, sehingga kebenarannya juga dapat dibuktikan.Where (Di Mana)Unsur where (di mana) menjelaskan tentang tempat suatu peristiwa terjadi. Dengan adanya unsur where, pembaca dapat memahami alur cerita secara lebih baik. Unsur ini juga bisa memberikan bukti fisik terkait terjadinya suatu peristiwa.Why (Mengapa)Unsur why (mengapa) menitikberatkan pada alasan atau latar belakang terjadinya peristiwa atau masalah yang diulas. Dengan adanya unsur why, orang akan lebih mudah memahami situasi atau kondisi atas peristiwa yang terjadi.How (Bagaimana)Unsur how (bagaimana) menitik beratkan pada penjelasan dan deskripsi tentang suatu peristiwa. Jawaban atas pertanyaan unsur how dapat mendukung pernyataan unsur why.Buatlah tulisan terkait karya seni / desain atau pameran seni rupa / desain dengan menggunakan rumus 5W + 1H!
Pengertian seni dan keindahan beserta latar belakang pemikiran filsafat
Konsep seni adalah berbagai hal-hal abstrak konseptual (teori) yang menyelubungi ide, perancangan dan pembentukan seni secara umum. Apa saja konsep-konsep tersebut? Salah satunya adalah pengertian seni sendiri, sifat dasar seni, unsur pembetuk seni, fungsi, prinsip, hingga ke bentuk konkretnya sebagai karya seni.
Memahami konsep seni membawa kita pada berbagai kemungkinan langkah baru dalam mengeksplorasi dan menciptakan karya seni. Mengapa? karena kita tahu apa saja parameter yang dapat disesuaikan dari masing-masing unsur pembentuk seni.
Tentunya unsur intrinsik seni adalah hal utama yang akan dirangkai untuk menciptakan seni. Namun unsur pembentuk seni tidak hanya dari dalam saja. Lukisan tidak akan menjadi lukisan jika ia tidak diakui sebagai lukisan oleh masyarakat. Seni bela diri akan menjadi koreografi (tari) dalam konteks yang berbeda.
Seni tercipta berdasarkan bentuk konkret atau wujud nyatanya dan berbagai hal-hal pembentuk lainnya pula seperti: sifat, fungsi, bentuk, struktur dan bahkan pengertian seni-nya sendiri. Ya, bahkan pengertian seni akan sangat berpengaruh pada karya seni yang diciptakan.
Misalnya, di masa lalu karya seni kontemporer tidak akan diakui sebagai seni oleh masyarakat. Mengapa? karena pengertian seni pada masa lalu cenderung lebih diartikan sebagai peniruan alam hingga ke media dokumentasi. Sekarang, tugas tersebut sudah hampir digantikan oleh fotografi.
Pengertian Seni dalam Konsep Seni
Menurut Soedarso (2006: 102) Seni adalah karya manusia yang mengomunikasikan pengalaman batin lalu disajikan secara indah atau menarik hingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada orang lain yang menikmatinya.
Namun seni juga dapat menjadi sesederhana peniruan alam dengan segala seginya seperti apa yang diungkapkan oleh Plato. Artinya apa yang dilakukan seni hanyalah melukis pemandangan, menari menirukan gerakan binatang yang elok, bernyanyi mengikutin nada yang disusun melalui rasio alam (fibonaci), dsb.
Bisa juga menggunakan pengembangan pengertian seni Plato oleh Aristoteles yang berpendapat bahwa seni adalah tiruan dunia alamiah dan dunia manusia (sosial). Aristoteles juga berpendapat bahwa seni harus mempunyai keunggulan falsafah (pemikiran yang dalam).
Definisi Seni
Apa bedanya pengertian dan definisi? Pengertian adalah pemahaman umum terhadap arti seni. Setiap ahli, setiap individu memiliki pengertiannya masing-masing dalam menginterpretasikan apa itu seni.
Sementara definisi seni adalah pengertian mengerucut dan ditetapkan sebagai apa yang dipegang oleh seorang seniman, individu hingga ke institusi tertentu. Misalnya seorang seniman akan menggunakan definisi seninya sendiri dalam berkarya, sehingga karyanya berbeda dengan yang lain.
Contoh lainnya adalah suatu institusi seperti galeri menetapkan bahwa karya seni yang mereka aku hanyalah karya seni tradisional, mereka sengaja mengkurasi karya-karya tradisional dan tidak menampung karya digital. Karena definisi seni yang mereka amini adalah karya tradisional.
Peneliti juga biasanya menentukan definisi operasional spesifik, sehingga penelitian mereka objektif dan mengerucut. Ketika orang lain membaca penelitiannya, maka ia harus memperhatikan terlebih dahulu definisi yang telah peneliti tentukan agar penelitian bermanfaat baginya.
Sifat Dasar Seni
Sifat dasar dari seni secara tidak langsung akan menyetir karya yang diciptakan menjadi berkarakter seperti seni sebagaimana mestinya, jika karya memang memenuhi dasar-dasar penciptaannya. Seni pada dasarnya sangat universal, namun juga individual, ekspresif, kreatif dan abadi (Gie, 1976: 41). Berikut adalah penjelasan dari kelima sifat dasar seni:
- Universal, seni berkembang diseluruh belahan dunia dan dapat dimengerti atau dipahami oleh banyak orang.
- Individual, meskipun sifatnya universal, setiap karya seni memiliki ciri khas individual seniman hingga suatu kelompok dalam penciptaan atau penyampaiannya.
- Ekspresif, seni akan menyampaikan ekspresi seniman dan penikmatnya sendiri, keduabelah pihak akan memiliki ekspresi unik sendiri dalam berinteraksi dengan seni.
- Kreatif, seni adalah penciptaan hal-hal baru, rekonstruksi atau saduran orisinal alami dari penciptanya.
- Abadi, seni akan terus hidup baik seutuh mungkin melalui peninggalan artefak yang berhasil dijaga keutuhannya, maupun melalui cercahan kecil oleh seniman generasi penerusnya.
Struktur Seni dalam Konsep Seni
Struktur seni adalah tata hubung unsur-unsur seni yang membangun suatu kesatuan karya seni.
- Struktur, adalah unsur pembentuk internal karya seni, misalnya: garis, bentuk, warna, bentuk dan tekstur untuk seni rupa. Seni musik terdiri dari melodi dan irama, dsb.
- Tema, adalah ide pokok secara keseluruhan mengena apa yang ingin dipersoalkan atau dibawakan dalam karya seni. Misalnya: tema sosial, perihal moral, tema kasih sayang, dsb.
- Medium (Media), merupakan wahana/material dan alat apa yang digunakan untuk menciptakan seni, apakah kanvas untuk lukisan? Instrumen perkusi untuk seni musik? Dsb.
- Gaya, merupakan gaya khas seperti apa yang seniman ingin tonjolkan. Gaya berhubungan dengan kebiasaan, latar belakang dan idealism dari senimannya sendiri, beberapa seniman lebih cenderung suka sesuatu yang tampak liar, alami, intuitif atau justru ada yang ingin sangat terkonsep dan terstruktur ala akademik.
- Aliran (Genre), adalah suatu mazhab, gaya kelompok atau kepercayaan bersama yang ingin digunakan. Bisa jadi realisme, naturalisme, dadaisme untuk seni rupa, pop, jazz, tradisional untuk seni musik, dsb. Seniman juga biasa menggabungkan beberapa aliran dalam karyanya.
Berdasarkan hasil telaah terhadap berbagai filsafat dan teori seni, dapat disimpulkan bahwa seni memiliki 5 ciri yang merupakan sifat dasar seni, yaitu: kreatif, individual, ekspresif, abadi dan universal (Gie, 1976: 41). Dibawah ini akan dijabarkan beberapa sifat dasar seni tersebut menurut The Liang Gie.
Sifat Dasar Seni
Kreatif
Pada dasarnya, seni adalah hasil kegiatan kreatif, yaitu penciptaan hal-hal baru yang belum dikenal. Meskipun sebuah karya seni yang diciptakan meniru alam, proses itu tetap tergolong menjadi penciptaan kreatif. Intinya, seni mengubah sesuatu menjadi hal lain yang baru dan orisnil, sehingga menghasilkan realitas baru.
Individual
Seni yang dihasilkan akan memiliki ciri khas perogangan dari seniman yang menciptakannya. Dalam artian, karya seni yang dibuat oleh seorang seniman akan berbeda dengan hasil yang dibuat oleh seniman lainnya, bahkan ketika subjek atau tema yang diangkat sama.
Beberapa Fotografer dapat memotret model yang sama, namun hasil Foto dari masing-masing Fotografer akan berbeda. Seni yang baik adalah seni yang membebaskan makna atau pesan absolut dan tidak memperkosa pandangan Individu perecapnya; multitafsir.
Ekspresif
Berbagai ekspresi dan emosi yang berasal dari pengalaman hidup seorang seniman akan terpancar pada karyanya. Dampaknya akan dirasakan oleh Apresiator dan merupakan bentuk ekspresi Apresiator itu sendiri terhadap apa yang ia interpretasikan dari karya sang seniman.
Sehingga seni adalah media ekspresi dua arah yang dapat menggerakan hati para pelaku seni melalui emosi dan gagasan yang tercipta dari sebuah karya seni.
Abadi
Konsep karya seni yang telah dihasilkan oleh seorang seniman dan telah diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali atau terhapuskan oleh waktu, meskipun penciptannya telah meninggal. Bahkan ketika karya seni telah rusak dimakan usia, Konsep-konsep dasarnya akan diteruskan oleh para legasi pelaku seni.
Pada dasarnya, ketika kita menciptakan karya seni, kita hanya menyusun mozaik dari berbagai pecahan-pecahan kearifan yang telah ada disekitar kita (Intertekstual). Hingga pada masanya, karya yang telah tercipta juga akan menjadi pecahan kearifan itu sendiri dan akan digunakan oleh generasi penerus untuk menyusun mozaik baru.
Universal
Seni terus berkembang di seluruh dunia dalam sepanjang waktu dan dapat dipahami oleh siapapun, meskipun dalam beberapa kasus butuh waktu pembelajaran atau tepatnya penghayatan. Manusia Purba telah mampu mengembangkan seni sebagai penunjang kebutuhan komunikasi melalui gambar-gambar sederhana.
Gambar telah dikenal jauh sebelum Bahasa ditemukan dan berhasil menjadi media komunikasi pada masa dan komunitas yang sama. Contoh lainnya adalah susunan nada musik yang serupa dapat menggerakan hati Pendengarnya ke arah yang sama, meskipun ia tidak mengerti bahasa lirik lagu yang dinyanyikan.
Struktur yang Membentuk Sifat Dasar Seni
Lalu bagaimana sifat-sifat dasar seni tersebut dapat terbentuk? Jawabannya dapat diambil dari struktur-struktur pembentukan seni itu sendiri. The Liang Gie (1976: 70) menjelaskan bahwa dalam semua jenis kesenian, secara umum terdapat unsur-unsur yang membangun struktur karya seni sebagai berikut ini.
Struktur Seni
Struktur seni
Struktur seni adalah tata hubung sejumlah unsur-unsur seni yang membentuk suatu kesatuan karya seni utuh. Contoh struktur seni dalam bidang seni rupa adalah: garis, warna, bentuk, bidang dan tekstur yang biasa disebut dengan unsur-unsur seni rupa. Sementara itu pada bidang seni musik adalah irama dan melodi. Unsur-unsur bidang seni tari adalah: wirama, wirasa dan wiraga. Bidang seni teater adalah: gerak, suara dan lakon.
Tema
Tema adalah ide pokok yang dipersoalkan dalam karya seni. Ide pokok suatu karya seni dapat dipahami atau dikenali melalui pemilihan Subject Matter atau Pokok Persoalan dan Judul Karya. Subject Matter dapat berhubungan dengan niat estetis atau nilai kehidupan lainnya, yakni: objek alam, kebendaan, suasana dan peristiwa yang dikemas dalam metafor atau simbolisasi lainnya.
Medium
Medium yang dimaksud disini adalah sarana yang digunakan untuk mewujudkan gagasan seniman menjadi suatu karya seni melalui pemanfaatan material/bahan dan alat serta penguasaan teknik berkarya. Tanpa medium karya seni tidak dapat diciptakan, karena Medium adalah tubuh yang dirasuki oleh gagasan atau konsep seni.
Gaya
Gaya atau Style dalam karya seni adalah ciri, kepribadian, atau gaya personal yang khas dari sang seniman. Sering kali orang-orang berpendapat bahwa Gaya dan Aliran adalah sama. Namun, sebenarnya keduanya mempunyai perbedaan prinsipil. Seperti yang diutarakan oleh Soedarso Sp. (1987: 79), bahwa gaya adalah ciri bentuk luar yang melekat pada karya seni. Sementara, Aliran lebih berkaitan dengan pandangan atau prinsip seniman dalam menanggapi sesuatu.
Penelusuran Sifat Dasar Seni
Meskipun struktur dapat menjadi salah satu jawaban atas hadirnya sifat dasar seni, kita tidak hanya dapat menarik kesimpulan dari teori itu saja untuk menentukan asal-muasalnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, The Liang Gie merumuskannya dari berbagai teori dan filsafat seni.
Teori itu mencakup pengertian seni itu sendiri, berbagai filsafat seni dan berbagai pemikiran dari seniman-seniman berdasarkan pandangan Gaya atau aliran seni yang mereka anut. Menelusuri berbagai teori-teori seni tersebut, tentunya adalah cara yang harus ditempuh pula untuk mengetahui pembentukan sifat dasar seni.Fungsi Seni dalam Mengonsep Karya Seni
Mengonsep karya seni juga berarti memperhatikan pertimbangan fungsi dari seni. Apakah seni akan dibuat untuk memenuhi fungsi aplikatif atau menyelesaikan suatu permasalahan sehari-hari yang konkret? atau hanya dibuat berdasarkan keindahannya saja, atau justru ingin menghibur banyak orang?
Setidaknya fungsi seni dapat di generalisasi menjadi:
- Fungsi fisik, seni dapat dinikmati baik secara fisik dari bentuk visual, suara atau gerakan yang indah.
- Fungsi psikis, selain dari keindahan fisik, secara psikis seni juga dapat menjadi penggugah hati nurani seseorang.
- Berfungsi sebagai hiburan atau rekreasi massal.
- Sebagai media alternatif yang sangat efektif untuk sumber belajar pendidikan (tidak menjenuhkan).
- Fungsi religi, yaitu untuk membantu pendidikan keagamaan.
- Sarana komunikasi untuk menyampaikan berbagai pesan moral dan sosial.
- Fungsi riset dan penelitian, untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat, terutama dari segi hiburan.
Konsep Seni dalam Berkarya (Konsep Berkarya Seni)
Berbagai konsep dasar seni diatas akhirnya digunakan digunakan untuk perancangan suatu karya seni. Misalnya, seniman menentukan pengertian atau definisi seni apa yang digunakan, bagaimana cara ia menyikapi sifat dasar seni, bagaimana struktur seni dibuat, dsb.
Misalnya, konsep berkarya seni rupa melibatkan setidaknya 5 tahap, yaitu:
- Melakukan pengamatan & penelitian, pengertian seni, aliran seni dan susunan struktur seperti apa yang cocok dan akan digunakan untuk karya seni yang akan dibuat.
- Menentukan tema, gambaran imaji dan kekhasan seperti apa yang diinginkan? Apakah pertanyaan filsafat? Tema cinta? Atau murni bentuk keindahan estetika saja?
- Membuat sketsa, sketsa yang dimaksud adalah perancangan seni secara umum sebelum dieksekusi.
- Analisis Sketsa, gambar sketsa sangat banyak membantu untuk menumpahkan ide yang abstrak menjadi realita dan memperbaiki atau mengembangkannya secara konkret lewat gambar kasar yang jauh lebih jelas dan nyata dibandingkan dengan imajinasi di kepala.
- Mengeksekusi konsep, artinya, mulai menciptakan karya seni yang telah dirancang sebelumnya. Perlu diketahui bahwa eksekusi konsep atau penciptaan karya dapat dilakukan secara perlahan juga, melalui uji coba terlebih dahulu.
- Evaluasi, karya yang telah diciptakan atau uji coba selalu dapat diperbaiki kembali atau dibuat versi barunya untuk memperbaiki atau mengembangkan karya tersebut.
Sketsa adalah bread and butter atau lalapan dan sambal untuk konsep seni. Semua cabang seni biasanya melibatkan gambar sketsa, baik itu seni tari dalam menentukan koreografi, arsitektur dalam menentukan rancang bangunnya, hingga seni musik yang dapat memanfaatkan draft kasar ala sketsa lewat perancangan draft notasi kasar dan coretan lirik lagu.
Referensi
- Soedarso, SP. (2006). Trilogi Seni – Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. Yogyakarta: Penerbit ISI Yogyakarta.
- The Liang Gie. (1976). Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya.
1. Buatlah resume dari materi pengertian seni di atas !
2. Kumpulkan definisi seni dari berbagai para ahli di seluruh dunia, jelaskan pemahaman saudara terhadap definisi tersebut dan sebutkan sumber definisi tersebut diambil !
Pendekatan Semiotika
Manusia berfikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan simbolis tersebut merupakan ciri khas manusia, yang membedakannya dari hewan. Ernst Cassirer cenderung menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Cassirer menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol. (Cassirer,1944 : 23 - 26) Sebagai sistem simbol, kesenian berfungsi menata pencerapan manusia yang terlibat di dalamnya, atau menata ekspresi atau perasaan estetik yang dikaitkan dengan segala ungkapan aneka ragam perasaan atau emosi manusia. Simbol merupakan komponen utama dalam kebudayaan. Setiap hal yang dilihat dan dialami manusia diolah menjadi serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia (Suparlan dalam Rohidi, 2000 : 13). Di dalam simbol, termasuk simbol ekspresif, tersimpan berbagai makna antara lain berupa berbagai: gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dipahami; di dalam kesenian lebih tepat lagi dapat dihayati secara bersama. Oleh karena itu, kesenian sebagaimana kebudayaan, dapat ditanggapi sebagai sistem-sistem simbol. (lihat C. Geertz, 1973; Parsons, 1966)
Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut.
Umberto Eco (1979 : 48) menyatakan bahwa sebuah tanda senantiasa merupakan unsur dari penghalusan ekspresi yang berkorelasi menurut kaidah tertentu dengan satu atau beberapa unsur yang bermuatan isi. Karya seni merupakan simbol atau kategori tempat yang dibuat oleh manusia secara sengaja, di dalamnya termuat simbol manasuka (arbitrary symbol) maupun simbol ikonik (iconic symbol). Simbol-simbol dalam kesenian adalah simbol ekspresif, yang berkaitan dengan perasaan atau emosi manusia (Parsons, 1951), yang digunakan ketika mereka terlibat dalam kegiatan atau komunikasi seni.
Pendekatan semiotika dipilih dalam kritik seni karena semiotika merupakan salah satu pendekatan yang sedang diminati dewasa ini. Semiotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. (Panuti Sudjiman & Aart van Zoest, 1992) Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya : lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya (Aart van Zoest, 1978 dan Lavers, t.th.)
Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Peirce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.
Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebut oleh Peirce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa Indonesia disebut "acuan". Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual.
Di samping itu tanda diinterprestasikan. Hal ini menunjukkan setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant di sini jangan dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang menunjukkan penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (lihat Sudjiman, 1991)
Aart van Zoest (1978) dengan mengutip pendapat Peirce yang membagi keberadaan menjadi tiga kategori : Firstness, Secondness dan Thirdness, membagi tanda berdasarkan ground dari tanda-tanda tersebut sebagai berikut : (1) Qualisign, (2) Sinsign, dan (3) Legisigns. Awalan kata Quali- berasal dari kata "quality", Sin- dari "singular", dan Legi- dari "lex" (wet/hukum).
Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan.
Sinsign (singular sign) adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bisa merupakan sinsign. Misalnya suatu jeritan, dapat berarti heran, senang, atau kesakitan. Seseorang dapat dikenali dari caranya berjalan, caranya tertawa, nada suara dan caranya berdehem. Kesemuanya itu adalah sinsign. Suatu metafora walaupun hanya sekali dipakai dapat menjadi sinsign. Setiap sinsign mengandung sifat sehingga juga mengandung qualisign. Sinsign dapat berupa tanda tanpa berdasarkan kode.
Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa adalah kode, setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu second yang menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan yang berlaku umum, maka legisign sendiri adalah suatu thirdness.
Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Peirce membedakannya menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu : (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol. Hal ini dinyatakan sebagai berikut : Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. (3) Akhirnya hubungan ini dapat pula berbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol.
Tanda ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan di antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.
Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi Peirce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya. Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan sebagainya.
Simbol adalah suatu tanda, di mana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi). Misalnya tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.
Ditinjau dari hubungan tanda dengan interpretannya, tanda dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Rheme bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan, (2) Decisign (dicentsign) bilamana antara lambang itu dan intepretannya terdapat hubungan yang benar ada (merupakan secondness), (3) Argument bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan thirdness).
Menurut pendapat Aart van Zoest, adanya tanda ditentukan oleh 3 (tiga) elemen, yaitu : (1) tanda yang dapat dilihat atau tanda itu sendiri, (2) sesuatu yang ditunjukkan atau diwakili oleh tanda, (3) tanda lain dalam pikiran penerima tanda. Di antara tanda dan yang diwakilinya ada sesuatu hubungan yang menunjukkan representatif yang akan mengarahkan pikiran kepada suatu interpretasi.
Hal ini menunjukkan representasi dan interpretasi merupakan karakteristik tanda.
Tanda mempunyai arti langsung dari suatu tanda yang telah diketahui bersama atau yang menjadi pengertian bersama yang disebut denotasi. Sedangkan pengertian tak langsung atau arti ke 2 dari denotasi tadi disebut konotasi. Tanda yang diberi arti sepihak oleh penerima disebut symptom, dengan demikian artinya konotatif. Pengertian symptom sendiri adalah jika suatu tanda tidak dimaksudkan tanda oleh pengirim tanda.
Selanjutnya menurut Aart van Zoest, studi semiotika dibagi menjadi 3 (tiga) daerah kerja, yaitu : (1) Semiotik Sintaksis, studi tanda yang dipusatkan pada penggolongannya, dan hubungan dengan tanda-tanda yang lain caranya berkerja sama dalam menjalankan fungsinya. Namun semiotik sintaksis tidak hanya dibatasi mempelajari hubungan antara tanda di dalam sistem tanda yang sama, melainkan juga mempelajari tanda dalam sistem lain yang menunjukkan kerjasama. Misalnya dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada dasarnya berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerja sama. (2) semiotik semantik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan acuannya (denotasi), serta interprestasi yang dihasilkan. (3) semiotik Pragmatik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan pemakai tanda Dengan adanya tiga tataran tersebut, maka akan semakin lengkap usaha untuk mempelajari 'gramatika' sistem semiotika tertentu. Perbedaan yang paling penting dalam taraf pragmatik adalah di antara symptom-symptom dan signal-signal. yang dimaksud dengan symptom adalah bila suatu tanda tidak dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Sedangkan signal adalah suatu tanda yang memang dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Dalam signal ada aspek repretentatifnya, ada denotasi tertentu, berbeda dengan symptom yang tidak memiliki denotasi tertentu yang sengaja diberikan. Pada situasi komunikasi, perhatian pertama ditujukan kepada signal, namun dalam situasi demikian bisa juga muncul symptom-symptom yang tidak disengaja. Menurut Aart van Zoest, justru terkadang symptom memiliki kekuatan kebenaran yang lebih jika dibanding dengan signal, karena signal dapat berbohong, sedangkan symptom tidak.
Sehubungan dengan uraian di atas, semiotika sebagai pendekatan meninjau karya adalah dengan melakukan kritik terhadap karya-karya yang dibuat. Unsur kritik dalam meninjau karya adalah perian atau deskripsi, yaitu menyebutkan, mencatat dan melaporkan hal yang tersaji secara langsung yang tampak melalui penglihatan mengenai wujud. Unsur kedua adalah orakan atau analisis, yaitu menyatakan bagaimana suatu hal yang disebutkan dalam perian tergambar atau tersusun, dengan menyatakan sifat, kualitas dan elemen-elemen seni rupa (garis, warna, bidang, tekstur) bertalian dengan yang telah diuraikan. Unsur ke tiga adalah tafsir atau interprestasi, yaitu menyatakan atau mengutarakan makna dari hasil seni. Unsur yang ke empat atau terakhir adalah menyatakan nilai atau mutu hasil seni. (lihat Feldman, 1967 dan Garret, 1978)
Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat karena Karya seni merupakan suatu tanda yang diciptakan seniman yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda.
Komposisi merupakan salah satu aspek pokok pertama yang dilihat penonton dalam karya seni, sebab dapat mengkomunikasikan visi seniman dalam arti karya seninya kepada pengamat. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seperti tekstur, garis, bidang dan sosok gumpal, yang disusun dalam satu kesatuan, akan memberikan kesan yang berbeda-beda, misalnya stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara qualisign (istilah dalam ilmu semiotik) garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian, bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign menggambarkan kekokohan, kestabilan, kemegahan dan kekuatan. Garis diagonal menandakan tidak dalam keadaan seimbang, sehingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah dan meliuk. Garis yang dibuat zig-zag secara qualisign menyiratkan semangat dan gairah. Garis horisontal juga menunjukkan tanda ikonis, karena mengingatkan benda-benda yang di alam seperti cakrawala, pohon yang tumbang dan lain-lain. Garis vertikal secara ikonis dapat diasosiasikan pokok pohon, dinding gedung dan batu karang. Garis diagonal sebagai tanda ikonis bertautan dalam ingatan pada pucuk-pucuk pohon yang di tiup angin, orang berlari dan kuda yang sedang melonjak. Sedangkan garis bengkok atau melengung, berkaitan dengan gerak ombak yang mengalun menuju pantai.
Seperti yang telah disebut di muka, warna merupakan qualisign, sifat merah dapat dipakai sebagai tanda bahaya dan larangan. Selain itu, sifat merah yang panas dapat dipakai untuk menunjukkan gairah, semangat dan cinta. Biru secara qualisign memperlihatkan kedalaman dan ketenangan. Kuning menerangkan kehangatan dan keramahan. Putih mengesankan sesuatu yang terang, ringan dan netal. Hitam secara qualisign menandakan suatu kedalaman, kekokohan dan keabadian.
Sebagai tanda ikon, warna biru mengingatkan pada langit, warna putih bertautan dengan awan, warna kuning mengingatkan pada bulan, warna merah pada matahari dan bunga mawar, warna hitam pada batu.
Tekstur atau barik adalah nilai raba suatu permukaan, secara qualisign tekstur memperlihatkan sifat keras, halus, lunak, kasar atau licin. Sebagai tanda ikon, barik keras mengingatkan pada tekstur batu, barik halus dapat diasosiasikan pada kapas, barik lunak bertautan ingatan pada helai bunga dan daun muda, barik kasar berkaitan dengan ingatan pada kulit kayu dan pasir, barik licin mengingatkan pada lumut.
Buatlah ringkasan pendekatan Semiotika dari materi di atas, lengkapi dari sumber lainnya!
Hermeneutika
HERMENEUTIKA, SEBUAH CARA UNTUK MEMAHAMI TEKS
Acep Iwan Saidi
Abstract
Hermeneutics is a theory that deals with text interpretation. This theory is commonly used as a method to understand a text although Hermeneutics itself does not explicitly formulate the practical steps to understand a text. Among the theories of interpretation, Hermeneutics has various sub-interpretation theories. In the perspective of Hermeneutics, the initail stage of interpretation involves the objective interpretation of a text before symbolization is made. The message of the text is then related to the other elements of the texts such as the sender of the text, other related disciplines, and socio-cultural aspect of the text. The understanding of a text will eventually be identical with the quality improvement of the interpreter’s own self. However, in practice, Hermeneutics can be used to intrepret various texts. This paper will only discusses the text of artistic and literary work. These two different texts will be analyzed by using one of the perspectives of Hermeneutics in a simple and applicable formulation.
Key words: interpretation, objective text teks, symbolization, methapora, layers of meaning, one own’s self quality
A. Pengantar
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Ada banyak tokoh dalam hermeneutika. Sebut saja, misalnya, F.D.E Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Penulis tidak akan menjelaskan pemikiran hermeneutik semua tokoh tersebut. Dalam tulisan pendek ini metode hermeneutika yang akan disarikan adalah yang dikemukakan Ricoeur. Selanjutnya, secara spesifik, metode yang diuraikan diperuntukkan bagi penelaahan teks seni (termasuk didalamnya sastra).
B. Hermeneutika Paul Ricoeur
Dalam bukunya, Hermeneutics and The Human Sciences (1981: 43) Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai berikut, “hermeneutics is the theory of the operations of understanding in their relation to the interpretation of text”. Berdasarkan pengertian ini Ricoeur kemudian mengatakan, “So, the key idea will be the realisation of discourse as a text; and elaboration of the catagories of the text will be the concern of subsequent study”.
Discourse (wacana) sendiri, dilihat Ricoeur sebagai sesuatu yang lahir dari tuturan individu. Dalam hal ini Ricoeur menyinggung teori linguistik Ferdinand de Saussure yang diperbandingkan dengan konsep Hjemslev. Saussure, dalam Course in Linguistic General (1974) membedakan bahasa dalam dikotomi tuturan individu (parole) dengan sistem bahasa (langue). Sedangkan Hjemslev mengkategorikannya dalam skema dan penggunaan. Dari dualitas inilah, menurut Ricoeur, teori tentang wacana (discourse) lahir. Dalam perspektif Ricoeur, parole atau ujaran individu identik dengan wacana (discourse). Menurut Ricoeur, wacana berbeda dengan bahasa sebagai sistem (langue). Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Karakter peristiwa sendiri merujuk pada orang yang sedang berbicara. Ricoeur menulis, “The eventful character is now linked to the person who speaks; the event consists in the fact that someone speaks, someone expresses himself in taking up speech” (1981: 133). Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana, yakni terdapatnya subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan terdapatnya konteks (ruang dan waktu). Dalam wacana terjadi lalu-lintas makna yang sangat kompleks.
Tindakan pengujaran dan penerimaan gambaran dunia selalu ada dalam temporalitas. Dengan fakta demikian, tidak ada kebenaran mutlak dalam soal penafsiran atas wacana. Pemaknaan atau penafsiran yang bersifat temporal (bersifat sementara karena adanya konteks) selalu diantarai oleh sederet penanda dan, tentu saja, oleh teks. Dengan demikian, tugas hermeneutika tidak mencari kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir. Tugas hermeneutika adalah menafsirkan makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan dengan konteks. Di dalam konteks terdapat berbagai aspek yang bisa mendukung keutuhan pemaknaan. Aspek yang dimaksud menyangkut juga biografi kreator (seniman) dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir. Ricoeur, dengan merujuk pada Dilthey, menyebutnya sebagai lingkaran hermenetik (hermeneutical circle) (1981: 165).
Pertanyaannya, bagaimana objektivitas dapat dicapai atau subjektivitas penafsir bisa dihindari Ricoeur menawarkan empat kategori metodologis sebagai jawabannya, yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Dua yang pertama merupakan kutub objektif. Hal ini penting sebagai prasyarat agar teks bisa mengatakan sesuatu. Objektivasi melalui struktur adalah usaha menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks. Di sini tampak bahwa hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menguraikan teks (objek yang ditafsirkan).
Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural demikian. Bergerak
lebih jauh dari kajian struktur, analisis hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antarelemen tersebut. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya: psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Ini yang dimaksud dengan distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan (Haryatmoko, 2002). Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian, penulis visualisasikan melalui gambar 1.
Dari gambar yang berupa piramida terbalik di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi (Rohidi, 2006).
b. Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
e. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
f. Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Salah satu bagian yang perlu lebih jauh dijelaskan dalam skema di atas adalah soal simbolisasi. Teks, yang tidak lain adalah formulasi bahasa, adalah kumpulan penanda yang sangat kompleks. Saussure mendikotomikan bahasa sebagai penanda (citra akustis, bunyi) versus petanda (konsep). Bahasa adalah lambang yang paling kompleks dibandingkan dengan berbagai hal lain di masyarakat. Dalam kaitan dengan hermeneutika, Ricoeur kemudian menyebut metafora (pengalihan nama, perbandingan langsung, perlambangan) sebagai bagian penting untuk dibahas dalam hermeneutika. Pemahaman atas teks, menurut Ricoeur, niscaya akan berlanjut kepada pemahaman tentang metafora. Dalam tanggapan terhadap Thompson yang menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Inggris, Ricoeur menulis, “Thompson is perfectly right to underline the difference between this initial definition of hermeneutics limited to an interpretation of the hidden meaning of symbols, and the subsequent definition which extends the work of interpretation to all phenomena of a textual order and which focuses less on the notion of hidden meaning than on that of indirect reference (1981: 33)
Selanjutnya, sebagaimana telah disinggung di atas, hermeneutika Ricoeur bersentuhan dengan metode strukturali, khususnya yang dikemukakan Ferdinand de Saussure yang diperbandingankan dengan Hjemslev dalam ilmu linguistik. Oleh sebab itu, sebagai pelengkap dalam tulisan ini disinggung secara selintas teori struktural, khususnya yang dikembangkan oleh Saussure.
Asumsi dasar strukturalisme adalah melihat berbagai permasalahan sebagai sebuah jaringan struktur atau sistem. Di dalam jaringan struktur, relasi menjadi bagian penting. Membaca dunia, dalam perspektif strukturalisme, berarti memahami struktur dan makna dunia melalui relasi-relasi. Kerena melihat segala persoalan sebagai struktur, strukturalisme bersifat statis (anti perubahan), ahistoris (anti sejarah), dan reproduktif (pengulangan). Pendek kata, strukturalisme melihat berbagai objek sebagai fakta otonom yang tidak memiliki hubungan keluar objek tersebut.
Strukturalisme yang dipelopori Saussure ini mula-mula digunakan dalam kajian linguistik. Dalam analisis linguistik, Saussure mengembangkan teori-teori yang bersifat dikotomis. Konsep dikotomis tersebut adalah langue versus parole, penanda versus petanda, sinkronik versus diakronik, dan sintagmatik versus paradigmatik. Penjelasan ringkas mengenai konsep-konsep ini sebagai berikut.
Pertama, parole versus langue. Sebelum sampai pada dikotomi ini, Saussure menyebut satu istilah lain, yakni langage. Istilah-istilah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Parole adalah seluruh ujaran individu termasuk seluruh konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur. Karena demikian, parole bukan fakta sosial. Sedangkan kaidah bahasa adalah seluruh aturan gramatika yang mungkin digunakan oleh para penutur tersebut. Gabungan antara parole dengan kaidah bahasa itu kemudian disebut Saussure sebagai langage. Namun, kata Saussure, untuk mempelajari bahasa langage tidak bisa dijadikan acuan. Masalahnya, dalam langage terdapat ujaran individu. Dalam sebuah masyarakat, ujaran individu tentu saja sangat banyak, beragam, dan kompleks. Saussure kemudian menawarkan istilah langue sebagai objek studi bahasa. Langue adalah keseluruhan produk yang diajarkan masyarakat dan diterima individu secara pasif. Langue bukan kegiatan penutur (Saussure, 1988, hal. 80). Jika langage bersifat heterogen, langue bersifat homogen. Dengan demikian, langue adalah sebuah sistem, semacam kontrak yang telah dilakukan di antara anggota masyarakat di masa lalu.
Meskipun demikian, antara langue dan parole terdapat keterhubungan. Langue diperlukan agar parole dapat dipahami dan menghasilkan segala dampaknya, sedangkan parole diperlukan agar langue terbentuk. Bagaimanapun sistem diproduksi oleh berbagai elemen yang berkembang meskipun sifatnya temporal seperti halnya parole. Namun, Saussure tetap membedakan dua hal ini. Ia menulis, “Kalau perlu kita dapat mempertahankan masing-masing disiplin tersebut dan bicara tentang linguistic parole. Tetapi jangan sampai disiplin tersebut dirancukan dengan linguistik yang sebenarnya, yaitu menjadikan langue sebagai objek satu-satunya” (Saussure, 1988, hal. 87).
Kedua, penanda dan petanda. Bahasa adalah sebuah penanda yang berhubungan dengan petanda lewat sebuah struktur. Relasi antara penanda dengan petanda tidak ditentukan oleh unsur lain di luar bahasa. Dengan perkataan lain, makna bahasa tidak ditentukan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya, melainkan oleh struktur dalam bahasa itu sendiri. Warna merah dalam sistem lalu lintas, misalnya, adalah penanda dari petanda berhenti. Dalam konteks itu, berhenti sebagai makna merah bukan dibentuk oleh sesuatu yang berada di luar bahasa. Merah berarti berhenti karena ada hijau yang berarti jalan terus atau kuning yang berarti hati-hati. Itulah sebabnya fonem (bunyi) dalam bahasa berfungsi untuk membedakan makna. Kata kasur berbeda maknanya dengan kasar sebab yang satu berbunyi akhir u(r), sedangkan yang kedua berbunyi a (r). Demikian Saussure melihat bahasa sebagai sesuatu yang otonom.
Ketiga, diakronik versus sinkronik. Analisis diakronik adalah cara ilmiah yang mempelajari bahasa secara historis atau melihat perkembangannya sepanjang massa Menurut para Junggrammatiker, pada abad ke-19 cara ini merupakan satu-satunya yang bersifat ilmiah. Tapi Saussure menolak pandangan ini. Menurutnya, terdapat fakta-fakta bahasa yang hanya dapat diperoleh secara sinkronis saja, yakni dalam satu kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 1988, hal. 10). Saussure mencontohkannya dengan cara menetak pohon secara horizontal(melintang) dan vertikal (membelah secara memanjang). Dari potongan melintang akan terlihat serat-serat yang saling berhubungan tempat satu perspektif tergantung pada perspektif yang lain, sedangkan pada potongan memanjang akan terlihat serat yang membentuk tumbuhan. Namun, apa yang terlihat pada penampang yang dipotong melintang tidak mungkin terlihat pada potongan memanjang. Dengan ini Saussure ingin mengatakan bahwa dalam menganalisis bahasa tidak harus melihat fakta sejarahnya. Setiap hal bisa ditandai semata-mata dengan melihat berbagai elemen yang hadir secara sinkroknis.
Keempat, sintagmatik versus paradigmatik. Saussure sebenarnya menggunakan istilah asosiatif untuk paradigmatik, tapi istilah asosiatif diganti oleh Louis Hjelmslev menjadi paradigmatik dan istilah inilah yang kemudian digunakan dalam ranah linguistik. Secara sederhana, sintagmatik berarti makna denotatif. Hubungan sintagmatik adalah hubungan ujaran dalam suatu rangkaian. Hubungan ini bersifat in praesentia, yakni elemen-elemennya hadir secara faktual dalam rangkaian ujaran itu. Sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang bersifat in absentia. Dalam hubungan in absentia, hubungan terjadi secara asosiatif. Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti dua hubungan tersebut (Kridalaksana, 1988, hal. 17).
Demikianlah makna bahasa dilihat dari perspektif struktural Saussurian. Pola-pola linguistik ini ternyata kemudian dipakai dalam membedah berbagai gejala kebudayaan dan kemasyarakatan. Dalam bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, strukturalisme melihat realitas masyarakat sebagai sebuah sistem dan kurang menghargai peran individu. Individu ditempatkan pada posisi subjek dalam arti sebagai agen, pekerja dalam perusahaan makna. Dalam situasi ini, individu sebenarnya merupakan subjek sekaligus objek. Ia menjadi agen sekaligus juga sasaran dari aturan main, dari sistem. Strukturalisme juga tidak memperhatikan kausalitas, ia lebih melihat relasi-relasi dalam struktur. Strukturalisme lebih berkonsentrasi pada relasi dalam totalitas daripada mempersoalkan sejarah.
Sebab sifatnya yang demikian, dalam kaitan dengan hermeneutika, sekali lagi, metode struktural hanya berfungsi untuk mengobjektivasi struktur saja. Dengan perkataan lain, penggunaan metode ini berhenti pada pembacaan teks yang otonom untuk mendukung (mengobjektivasi) pemaknaan yang dihasilkan dalam tafsir hermeneutik.
DAFTAR PUSTAKA
Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciences, Essays on language, action and interpretation. Cambridge:Cambridge University Press.
------------. 2002. The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa (terjemahan Musnur Hery). Yogyakarta: IRCiSOD
Saussure, Ferdinand de. 1974. Course in Linguistics General. London: Fontana/Colins
Sumber :Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, April 2008, Page, 376 - 382
1 Tulisan ini mulanya merupakan salah satu bagian dari disertasi penulis di SR ITB bertajuk Narasi Simbolik dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Untuk kebutuhan tulisan pada jurnal, tentu saja telah dilakukan berbagai penyesuaian.
2 Dosen Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual FSRD ITB, Wakil Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.
3 Pemikiran ini dipetakan Haryatmoko dalam makalah “Memahami Diri Lebih Baik; Hermeneutika Menurut Paul Ricoeur”, 2002
4 Pemahaman lebih lanjut tentang metafora bisa dilihat buku Ricoeur berjudul The Rule Of Metaphor, Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in language, (London, Routledge), 1978.
Baca dengan baik tulisan Acep Iwan Saidi, berjudul HERMENEUTIKA, SEBUAH CARA UNTUK MEMAHAMI TEKS. Buatlah rangkuman substansi dengan poin-poin pentingnya!
Ujian Akhir Semester
Buatlah karya penciptaan seni (karya seni rupa atau desain) dengan tema :
A. Upcycle Denim
B. Recycle Denim
(pilih salah satu)
Sistematika dan ketentuan konsep / pengantar karya sebagai berikut :
1. Ringkasan proposal penciptaan seni rupa atau desain tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penciptaan, tujuan dan tahapan metode penciptaan, luaran yang ditargetkan
2. Pendahuluan tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan yang akan diciptakan, tujuan khusus, dan urgensi penciptaan. Pada bagian ini perlu dijelaskan uraian tentang spesifikasi khusus terkait dengan disiplin dan minat kepada seni rupa dan desain.
3. Literature review dan literature visual tidak lebih dari 1000 kata dan 5 gambar dengan mengemukakan state of the art dan peta jalan (road map) dalam bidang yang diciptakan. Bagan dan road map dibuat dalam bentuk JPG/PNG yang kemudian disisipkan dalam isian ini. Sumber pustaka/referensi primer yang relevan dengan mengutamakan hasil penelitian/penciptaan pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang terkini.
4. Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata. Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penciptaan yang menggambarkan apa yang sudah dilaksanakan dan yang akan dikerjakan selama waktu yang diusulkan. Format diagram alir dapat berupa file JPG/PNG. Bagan penciptaan harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang jelas, mulai dari awal bagaimana proses dan luarannya, dan indikator capaian yang ditargetkan.
5. Pembahasan karya dengan melakukan otokritik terhadap karya yang dibuat, dilengkapi sketsa kasar / desain yang dibuat yang disertai data spesifikasi dan foto dokumentasi karya dario berbagai sudut pandang.
6. Penutup terdiri Simpulan dan Saran
7. Referensi diusahakan 10 tahun terakhir dan yang terkait dengan karya penciptaan, berupa data tertulis maupun visualiasi dari karya seni rupa masterpiece atau desain.