Salah satu cara untuk memicu kreativitas adalah melalui eksplorasi. Menjelajah, menghadapi hal-hal baru, dapat menginspirasi. Saat menjelajah, mungkin menemukan cara baru dalam melakukan sesuatu, atau hal baru yang akan dilakukan, tentunya yang lebih bagus. Terkadang hanya menemukan sedikit informasi yang sesuai dengan hal-hal yang telah dipikirkan sebelumnya dan dapat melengkapi (atau membantu melengkapi) gambaran yang telah dikembangkan dalam pikiran. Di lain waktu, mungkin menemukan alat, proses, atau pendekatan yang digunakan orang lain yang tidak ada hubungannya, tetapi masih dapat menginspirasi. “Jika mereka bisa melakukan, berarti saya pasti bisa melakukan juga!”
Pergilah ke kota lain dan habiskan waktu dengan berjalan-jalan. Kunjungi toko lokal. Toko pakaian vintage dan bekas, toko barang antik, toko kerajinan, toko mainan, pasar loak, museum, dan galeri seni. Temukan taman, pantai, monumen, dan area pertemuan baru lainnya. Bicaralah dengan orang yang ditemui - mulailah percakapan dengan semua orang!
Kadang-kadang hal tersebut dapat membantu untuk serangkaian tujuan, guna memberikan beberapa struktur pada pengembaraan kreatif. Hal ini juga dapat dimulai untuk menemukan setidaknya 6 galeri seni baru (tanpa bantuan GPS atau peta), menjelajahi 2 museum baru, atau berbicara dengan setidaknya selusin pemilik toko yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Salah satu eksplorasi kreatif terstruktur adalah perburuan fotografi. Bentuknya bisa bermacam-macam, dapat membuat karya foto sepenuhnya sendiri, berkolaborasi, atau dapat berbagi foto dengan teman atau grup media sosial. Saat melibatkan orang lain, diharapkan semua anggota grup dapat bekerja sama atau menjadikannya sebuah kompetisi. Perburuan itu sendiri bisa ringan atau liar sesuai imajinasi. Bisa juga dipersiapkan daftar objek yang berbeda untuk difoto (daftar yang sangat spesifik dan daftar yang sangat samar keduanya memicu kreativitas dengan caranya sendiri) atau memotret sebagian besar gambar dari satu jenis (kelompok foto rambu lalu lintas, obyek foto rumah dengan tanaman, kelompok foto grafiti, potret sepeda, dll.). Ada banyak cara lain untuk memainkan jenis eksplorasi berburu obyek kreatif!
Cara hebat lainnya untuk melihat bagian baru kota adalah dengan naik bus atau kereta api secara acak. Naiklah bus atau kereta yang belum pernah dinaiki sebelumnya dan cari tahu kemana perginya. Jika melihat sesuatu yang menarik, berhenti dan lihatlah, bicaralah dengan beberapa orang, lalu naik bus / kereta lain dan lakukan perjalanan lagi.
Banyak kota memiliki biro perjalanan yang sering kali dapat menjadi cara hebat lain untuk menikmati kota dengan cara baru.
Tentu saja ini tidak harus di kota sendiri.Cobalah menjelajahi kota baru sesering mungkin. Hal ini sering kali meningkatkan jumlah informasi baru yang dapat diperoleh.
Bentuk eksplorasi fisik sederhana lainnya adalah menyelidiki pedesaan di luar kota atau pinggiran kota. Seringkali sepeda lebih efisien daripada berjalan kaki karena jarak yang ditempuh. Saat berjalan atau berkendara melintasi pedesaan, dapat menggunakan banyak alat yang sama yang digunakan untuk menjelajahi kota. Bicaralah dengan semua orang yang ditemui! Carilah persawahan atau perkebunan. Lihat beberapa peralatan pertanian. Temukan toko atau warung di pedesaan, dan tentu saja, ambil banyak foto! Berburu foto, rekreasi, dan perjalanan semuanya merupakan cara yang menyenangkan untuk menjelajahi daerah pedesaan.
Dunia tanpa batas tidak lagi dibatasi pada alam fisik untuk eksplorasi. Berkat Internet dan World Wide Web, ada banyak jalur yang bisa dijelajahi tanpa harus meninggalkan rumah. Hypertext Transfer Protocol (HTTP) memungkinkan penautan data dengan cara dan pada skala yang hanya bisa diimpikan oleh para ilmuwan sekitar 25 tahun yang lalu, dan web terus berkembang. Jadi manfaatkan itu! Berikut beberapa ide untuk memulai:
Ketik kata-kata acak ke dalam pencarian web, jelajahi tautannya
Ketik kata-kata acak ke dalam pencarian gambar, jelajahi situs yang menghosting gambar yang dihasilkan
"Mengikuti" profil media sosial teman (gambar, suka, pembaruan, dll.), Jelajahi hal-hal yang mereka sukai yang mungkin tidak disadari
Cari Twitter untuk hashtag acak atau bermakna, jelajahi orang-orang dan tautannya
Temukan aplikasi baru atau game baru untuk jelajahi web dengan cara baru, dengan alat baru
Jelas tulisan ini tidak bisa menampung segala kemungkinan untuk eksplorasi kreatif, karena eksplorasi adalah kategori tindakan seluas kreativitas itu sendiri. Harapannya di sini bukan untuk membuat catatan lengkap tentang cara-cara mengeksplorasi secara kreatif. Sebaliknya, usahakan menjadikan eksplorasi sebagai pemicu kreativitas, dan memberikan beberapa contoh dan titik awal untuk eksplorasi kreatif sendiri.
Dengan pemikiran tersebut, dapat diperoleh daftar beberapa area lagi untuk eksplorasi kreatif:
Eksplorasi Musik: Musik baru adalah informasi baru dan bisa sama menginspirasi seperti melihat lukisan baru atau bisnis baru. Menjelajahi musik baru cukup mudah dengan semua alat online untuk mencari dan mendengarkan musik baru.
Menjelajahi Pengetahuan Manusia: Kedengarannya sangat tidak mungkin, dan memang demikian adanya, namun tidak serumit yang diperkirakan. Belajar sesuatu yang baru. Belajar bahasa baru. Dengarkan pembicara berbicara tentang topik yang tidak diketahui sebelumnya. Ikuti kelas di prodi lain. Hadiri lokakarya. Belajar mengikat 10 simpul berbeda. Merupakan upaya penjelajahan pengetahuan manusia.
Jelajahi Pikiran: Ini adalah salah satu yang sering terdengar lebih sulit daripada yang sebenarnya. Mulailah dengan melamun. Cobalah meditasi. Pikirkan tentang berpikir. Apa yang membuat tergerak? Apa harapanmu, Mimpi? Ketakutan? Apa yang dilakukan dengan baik? Apa yang bisa dilakukan dengan lebih baik? Mulailah berlatih mengamati diri sendiri - akan belajar banyak, tentang diri sendiri.
Industrialisasi masa depan tidak bisa lagi mengabaikan pentingnya sinergi lingkungan karena sejatinya eksistensi lingkungan tidak sekedar di eksplorasi dan eksploitasi semata tapi juga perlu dijaga kelestariannya. Oleh karena itu tidak ada lagi industrialisasi yang hanya memaksa pemanfaatan alam semata tapi juga harus peduli dengan lingkungan di sekitarnya.
Argumen yang mendasari karena lingkungan sekitar adalah bagian dari nilai tambah dan menjadi modal dalam pembangunan, termasuk juga dalam proses produksi. Jadi, eksplorasi dan eksploitasi alam tanpa peduli dengan alam itu sendiri pada akhirnya justru akan memicu kehancuran sedari awal. Hal ini menjadi acuan dari pengembangan manajemen lingkungan atau pembangunan berwawasan lingkungan.
Pendekatan manajemen lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek mengacu prinsip keseimbangan hidup. Regulasi tersebut secara tidak langsung berimplikasi sangat luas, termasuk di bidang pemasaran. Hal ini mengindikasikan proses produksi harus ‘bersih’ mulai sumber bahan baku, di proses produksi dan ketika produk itu pasca dikonsumsi.
Mata rantai ini kemudian dikenal istilah green marketing dan produknya juga dikenal dengan green product. Sinergi antara green marketing dan green product menjadi acuan pemasaran global seiring kesadaran kolektif terkait lingkungan hidup. Pasar Eropa kini juga semakin selektif terhadap produk kerajinan yaitu pasar lebih menghendaki produk kerajinan yang ramah lingkungan dari proses bahan bakunya sampai dikonsumsi akhir yang bisa didaur ulang.
Persoalan tentang tata ruang dan lingkungan menjadi isu klasik karena lingkungan pada dasarnya dibedakan dua yaitu yang bisa diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Eksistensi lingkungan tidak terlepas dari ekonomi dan sebaliknya sehingga ada sinergi antara lingkungan - ekonomi. Hal ini dijabarkan dalam bentuk ketersediaan lingkungan sebagai sumber daya membantu pasokan bahan baku proses produksi industrialisasi. Lingkungan juga menjadi tempat pembuangan akhir dari hasil produksi industrialisasi itu sendiri. Problemnya saat kemampuan lingkungan kian dieksplorasi dan dieksploitasi sehingga tidak bisa menanggung beban maka ketidakseimbangan terjadi dan berdampak negatif terhadap kehidupan, termasuk juga kualitas air yang tercemar dan kacaunya tata ruang sehingga industrialisasi berbenturan dengan kepentingan manajemen lingkungan.
Fakta eksplorasi - eksploitasi lingkungan justru kian meningkat di era otda. Salah satu konsekuensi otda yaitu pesatnya industrialisasi akibat kemudahan investasi. Di sisi lain, otda juga memicu kerusakan ekosistem dan lingkungan akibat industrialisasi, termasuk akibat maraknya migrasi. Kegagalan sejumlah daerah meraih Adipura tidak terlepas dari persoalan manajemen lingkungan. Terkait ini maka komitmen menjadikan daerah sebagai Kota Kreatif harus juga melihat keseimbangan alam agar pembangunannya dapat selaras dengan tuntutan keseimbangan lingkungan dan tata ruang sesuai peruntukan.
Artinya, janganlah sampai komitmen menjadikan daerah sebagai Kota Kreatif berdampak negatif bagi penciptaan sampah, limbah industri dan kacaunya tata ruang, meskipun di sisi lain social cost industrialisasi tetap ada, tidak bisa diabaikan dan juga limbah industri adalah salah satunya. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika komitmen pembangunan ke depan adalah sinergi antara industrialisasi dan manajemen lingkungan. Jadi, tema HUT ke-76 RI yaitu Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh tidak bisa terlepas dari kepentingan dini untuk menciptakan keseimbangan dan keselarasan dalam manajemen lingkungan.
Seni lingkungan
melibatkan karya seni yang bertujuan untuk menjadi bagian dari atau
meningkatkan lingkungan, sekaligus membuat pernyataan tentang isu-isu ekologi
dan konservasi.
Seni lingkungan menjadi semakin populer di masyarakat Barat ketika isu seputar
lingkungan muncul pada 1950-an dan 1960-an . Saat
itulah seniman mulai membedakan hubungan yang berkembang antara manusia, alam,
dan masalah ekologis yang krusial, dan kesadaran yang tumbuh akan masalah ini
memengaruhi seniman untuk mengekspresikan keprihatinan ini dalam berbagai
bentuk seni konservasi.
Sementara seni lingkungan secara konvensional berfokus pada isu-isu ekologi dan
konteks politik, sejarah atau sosial di sekitar lingkungan, hari ini, kita
melihat gerakan beradaptasi ke dalam ekspresi artistik lebih lanjut, termasuk
Seni Tanah, Seni Konseptual, Seni Bumi. Khususnya, telah muncul seni
'keberlanjutan', juga dikenal sebagai 'Seni Hijau'.
Seni hijau adalah praktik menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, tidak
beracun dan alami. Menggabungkan bentuk-bentuk seni ini akan tergantung
pada maksud artistik. Misalnya, seniman permadani atau tekstil dapat
menggunakan serat alami dan memamerkan karya mereka dalam pengaturan alam
menggunakan tema ekologi, sementara pelukis yang berfokus pada seni lingkungan
dan hijau dapat menggunakan bahan yang berkelanjutan, organik, dan dapat didaur
ulang.
Di bawah ini, kami telah menjelajahi seniman lingkungan dan karya ekologis
mereka.
Aktivis dan pemerhati lingkungan John Sabraw adalah seniman yang
lukisan, gambar, dan instalasi kolaboratifnya semuanya diproduksi dengan cara
yang sadar lingkungan. Potongan 'lumpur'-nya dibuat menggunakan cat yang
dia buat sendiri. Mereka adalah gerakan untuk mengubah polusi menjadi
cat. Sabraw menggunakan ekstrak logam berat (lumpur teroksidasi) dari
tambang batu bara yang ditinggalkan untuk membuat pigmen yang menakjubkan
ini. Pada gilirannya, ia membantu mengurangi polusi yang sedang
berlangsung yang mempengaruhi planet kita.
Gabriel Dishaw 'Artis Sampah' mengubah bahan yang dibuang menjadi karya
seni, dengan fasih mempromosikan bahan yang dapat digunakan kembali yang telah
dibuang tanpa malu-malu. Melalui ini, ia menghasilkan patung yang
terdefinisi dengan indah. Seri Sepatu Dishaw menciptakan
kembali tren sepatu yang sangat populer, dari Nike hingga Adidas.
Naziha Mestaoui adalah pelopor dalam seni digital, dan merupakan seniman
sekaligus arsitek. Karya seni One Beat One Tree miliknya memproyeksikan hutan
virtual ke dalam ruang kota. Mengekspresikan kebenaran yang sangat nyata
di balik kehancuran alam kita, penonton dapat terhubung ke pohon digital ini
melalui smartphone mereka saat mereka tumbuh berirama dengan detak jantung
seseorang. Pohon-pohon tersebut telah mendorong pertumbuhan 13.000 anakan
baru.
'Gunung
Es' Olafur Eliasson
Olafur
Eliasson yang lahir di Islandia telah menghadapi perubahan iklim melalui
gerakan kristalnya, Ice Watch. Dia menempatkan blok peleburan raksasa di
luar markas Tate Modern dan Bloomberg dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran
akan masalah yang terus berkembang seputar perubahan iklim. Es diambil
dari fyord Nuup Kangerlua di Greenland, tempat es tersebut mencair ke
laut.
Olafur Eliasson yang lahir di Islandia telah menghadapi perubahan iklim
melalui gerakan kristalnya, Ice Watch. Dia menempatkan blok peleburan
raksasa di luar markas Tate Modern dan Bloomberg dalam upaya untuk meningkatkan
kesadaran akan masalah yang terus berkembang seputar perubahan iklim. Es
diambil dari fyord Nuup Kangerlua di Greenland, tempat es tersebut mencair ke
laut.
Lebih dari itu, gerakan ini menunjukkan kepada kita bahwa ada cara yang
lebih baik untuk menciptakan seni yang unik dan inovatif dengan menggunakan
bahan ramah lingkungan. Cat cerah John Sabraw yang dibuat menggunakan
ekstrak logam untuk mengurangi produksi polusi adalah contoh yang tak
terlupakan.
Pentingnya
Lingkungan dan Seni Hijau
Aktivis lingkungan berbicara untuk mendukung planet yang lebih hijau dan untuk
meningkatkan lingkungan alam Bumi kita melalui perlindungan dari aktivitas
manusia yang berbahaya.
Sementara beberapa memprotes dengan suara mereka, yang lain menunjukkan
semangat lingkungan mereka melalui seni.
Dr. Reiss menyatakan bahwa "Seni memiliki peran penting untuk dimainkan
dalam meningkatkan kesadaran kita akan masalah lingkungan, menawarkan peluang
untuk tindakan langsung dan membantu kita membayangkan dunia lain dan
kemungkinan masa depan."
Seni hijau dan lingkungan menampilkan keajaiban alam dan keindahannya yang
mempesona, dan mengingatkan kita akan sesuatu yang lebih dalam, ini adalah
pengingat akan dampak negatif lingkungan yang dimiliki manusia di dunia.
Lebih dari itu, gerakan ini menunjukkan kepada kita bahwa ada cara yang lebih
baik untuk menciptakan seni yang unik dan inovatif dengan menggunakan bahan
ramah lingkungan. Cat cerah John Sabraw yang dibuat menggunakan ekstrak
logam untuk mengurangi produksi polusi adalah contoh yang tak terlupakan.
Seni lingkungan tidak dapat disangkal sedang meningkat dan
diperkirakan akan berlanjut dengan meningkatnya masalah yang dihadapi iklim
dunia kita. Jenis karya seni ini memiliki tujuan, dan mengirimi kami pesan
yang jelas dan ringkas bahwa ada sesuatu yang harus diubah, dan sekarang, untuk
menyelamatkan planet kita dari kehancuran lebih lanjut yang tidak dapat
diperbaiki. Mungkin melalui karya seni seperti itu, kita dapat mengenali
kesalahan cara kita dan memperlakukan planet kita dengan cinta dan rasa hormat
yang layak.
Pada
11 Juni 2019, Christie's Education akan menghadirkan simposium tentang
tanggapan seniman terhadap krisis lingkungan. Diselenggarakan oleh Dr.
Julie Reiss, Direktur Program MA Modern and Contemporary Art and the Market
kami. Julie juga editor Art, Theory and Practice in the
Anthropocene. Simposium ini akan menarik bagi siapa saja yang ingin tahu
lebih banyak tentang cara-cara khusus seniman menanggapi perubahan iklim global
dan konsekuensinya.
The Vienna-born designer Victor Papanek was in his early 40s and bouncing from one U.S. teaching job to the next when, in the mid-1960s, he began writing Design for the Real World: Human Ecology and Social Change. The book would not only become the best-known product of his long career, but also help lay the foundation for the green architecture and humanitarian design movements that emerged over the course of the next generation. When it was finally published in 1971—with an introduction by Papanek’s friend and fellow iconoclast R. Buckminster Fuller—the book joined a groundswell of important critiques of modernism and postwar excess in architecture, design, industry, and corporate America. Indeed, the period between the early 1960s and the early 1970s produced a now-canonical group of reform-minded titles, including Jane Jacobs’s The Death and Life of Great American Cities, Rachel Carson’s Silent Spring, Richard G. Lillard’s Eden in Jeopardy, Bernard Rudofsky’s Architecture Without Architects, and Ralph Nader’s Unsafe at Any Speed.
Like most of those books, Design for the Real World was an impatient, jargon-free, and often passionate cri de coeur. Its main targets were examples of product design, architecture, and city planning that Papanek considered wasteful, dangerous, bad for the environment, or detached from the needs and lives of ordinary people. Early in the book, he savages the “Kleenex culture” of Western societies. (“That which we throw away, we fail to value.”) And he tears into the lemming-like qualities of designers who accept their roles as mere stylists, harshly calling them “the good Germans of the profession.” Superficiality, in people and design, is his consistent enemy, and he reserves special scorn for approaches that are both lacking in depth and form the basis of design school curricula.
“By designing criminally unsafe automobiles that kill or maim nearly one million people around the world each year, by creating whole new species of permanent garbage to clutter up the landscape, and by choosing materials and processes that pollute the air we breathe, designers have become a dangerous breed,” he writes. “And the skills needed in these activities are taught carefully to young people.” (Emphasis added.)
And at that point he’s just getting going. Still to come are attacks on “the lacy mantles and Gothic minarets” of the architects Edward Durell Stone and Minoru Yamasaki (not surprisingly, Papanek prefers the work of Paolo Soleri and the young Moshe Safdie); on the cozy alliance between designers and Madison Avenue; on the American “preoccupation with making things pretty”; and, in an especially memorable phrase, on “the glib, slicked-up Kitsch that characterizes most of the design work coming out of schools and offices.”
“So far the action of the profession,” he writes of designers, “has been comparable to what would happen if all medical doctors were to forsake general practice and surgery, and concentrate exclusively on dermatology and cosmetics.”
Zing!
Beyond the pummelingly entertaining rhetoric, Design for the Real World was remarkably prescient. Sure, there are a few stretches that seem dated today, and some of the design solutions Papanek holds up as models of a new approach—the clogs, the beanbag chairs, the “tricycle for adults with battery power-assist”—seem quaintly earnest. But much of the book could be published today and not seem at all out of place. The links between Papanek’s philosophy and the rising humanitarian-design movement are particularly strong, and in fact designers including Emily Pilloton, founder of Project H, and William McDonough have called the book an inspiration.
Papanek’s focus on ecological and social responsibility as the twin pillars of design practice seems particularly timely four decades later. So does his advice to designers about both the importance and the ethical pitfalls of working in poor parts of America or in the developing world.
“Ideally,” he writes, the designer would not only “move to the country” in question but also “train designers to train designers. In other words he would become a ‘seed project’ helping to form a corps of able designers out of the indigenous population of a country. Thus within one generation at most, five years at the least, he would be able to create a group of designers firmly committed to their own cultural heritage…and their own needs.”
Elsewhere, Papanek anticipates the universal-design debates of the 1980s as well as the contemporary interest in urban agriculture, the slow food and slow cities movements, and so-called maker culture. And his critique of design and architecture education seems especially relevant today. “The main trouble with design schools,” he writes, “seems to be that they teach too much design and not enough about the social and political environment in which design takes place.”
Given how unflinching many of the book’s critiques were, it’s not surprising that Papanek became persona non grata in certain design circles—though it seems clear in retrospect that to a certain extent he enjoyed his status as an outsider. When Papanek reported that thanks to the book he’d been “derided” and “savagely attacked,” he said it with some of the same pride that undergirded his generally accurate claim, in the 1985 edition of the book, that Design for the Real World had become “the most widely read book on design in the world.”
More interesting—and more pressing—is the question of what the continuing freshness of Papanek’s ideas says about the rising humanitarian design movement. It means, first of all, that the fissure in the profession that Papanek identifies between real engagement and salesmanship—between design with a conscience and design that has been, in his words, “sexed up” for the marketplace—is never going to go away. In both design and architecture this gap, this split personality, is fundamental. There will always be money and prestige to be found in the kind of design practice that answers primarily to the marketplace. And there will always be figures like Papanek to appeal to designers’ morality and the deeper, broader needs of human beings and the planet.
But there is also a good deal for younger readers to learn from the book, provided they use it more as a mirror than a primer. The book’s lessons for a new generation of socially engaged designers have less to do with the particulars of design practice—though there is plenty of strong practical advice in these pages—and more to do with the importance of careful, even ruthless, self-assessment. What does it mean, younger designers ought to ask, that the strategies of humanitarian design are so similar to the ideas Papanek laid out in 1971? Why, in other words, doesn’t the book seem more dated?
Certainly the answer in part is that the movement is concerned with timeless questions about access, morality and equity. Those ideals don’t—or shouldn’t—change over time, and in fact Papanek fills plenty of pages in the book railing against the idea of the merely fashionable. For him, trends and the distasteful notion of “planned obsolescence” were intertwined; objects go in and out of fashion, he argued, mostly as a pretext for getting the public to buy more stuff—usually stuff they and the environment don’t need.
But you could also make a case that there are certain elements of any movement that must evolve and mature. And in that sense there is some cause for concern among the emerging humanitarians. At the very least, the movement’s political tactics seem significantly underdeveloped. In post-Katrina New Orleans, in shrinking Detroit, in post-tsunami Japan, even in the declining standards of social housing and public architecture in relatively wealthy cities like Los Angeles—in each of these cases what has kept meaningful design from taking root at substantial scale isn’t a limited supply of ideas or projects but quite simply a lack of political savvy. In those locations and countless others, thoughtful, idealistic designers and architects have been outflanked by bureaucrats, engineers, or grandstanding politicians. And the same thing seems likely to happen wherever the next disaster strikes.
Then there is the question of technology. Design for the Real World is a message from a predigital age, from a world without smartphones, iPads, Skype, Twitter, Tumblr, and open-source design software. Again, in this sense the book sends a strong message about the importance of first principles, about the power of mud bricks, simple transistors, and face-to-face human contact. But the truth is that in more than a few ways leaders in humanitarian design have set up themselves up in clear opposition to both the bleeding-edge technology of Silicon Valley and architecture’s parametric camp, with its sleek digital fantasies. And while I can understand much of this impulse—and would kill to read a Papanek review of Patrik Schumacher’s Parametricist Manifesto—the fact remains that for us, in 2012, discovering too much kinship with Design for the Real World, particularly when it comes to its analog worldview, ought to be seen as a pretty big red flag. In technological terms, after all, 1971 was the Stone Age. Nostalgia for the simplicity of that period in the culture—and in the design world—is not so much unwarranted as simply irrelevant.
Tahap Perwujudan, yaitu mewujudkan rancangan terpilih atau final karya seni yang ramah lingkungan menjadi model prototype sampai ditemukan kesempurnaan karya sesuai dengan desain atau ide. Model ini bisa dalam bentuk miniatur atau ke dalam karya yang sebenarnya, jika hasil tersebut dianggap telah sempurna maka diteruskan dengan pembuatan karya yang sesungguhnya. Terdapat beberapa perbedaan antara penciptaan seni murni, desain dengan kriya, sebab penciptaan seni sebagai ekspresi sejak awal belum diketahui hasil akhir yang hendak dicapai secara pasti (masih terjadi eksplorasi, inovasi, dan improvisasi dalam proses perwujudan), sedangkan desain dan kriya, sejak awal telah diketahui hasil yang hendak dicapai berdasarkan sketsa, desain atau gambar teknik yang lengkap. Tahapannya dapat diuraikan menjadi enam langkah sebagai berikut :
a) Langkah pengamatan lapangan, dan penggalian sumber referensi dan informasi, untuk menemukan tema atau berbagai persoalan yang memerlukan pemecahan.
b) Penggalian landasan teori, sumber dan referensi serta data visual. Usaha ini untuk memperoleh data material, alat, teknik, bentuk, dan unsur estetis, aspek filosofi, dan fungsi sosial kultural serta estimasi keunggulan pemecahan masalah yang ditawarkan.
c) Perancangan untuk menuangkan ide atau gagasan dari deskripsi verbal serta hasil analisis ke dalam bentuk visual dalam batas rancangan dua dimensional. Hal ini yang menjadi pertimbangan dalam tahapan ini meliputi aspek material, teknik, proses, metode, keselarasan, keseimbangan, bentuk, unsur estetis, gaya, filosofi, dan pesan makna.
d) Realisasi rancangan atau desain terpilih menjadi model prototype. Model prototype dibangun berdasarkan gambar teknik yang telah disiapkan.
e) Perwujudan realisasi rancangan prototypekedalam karya nyata sampai finishing.
f) Melakukan evaluasi terhadap hasil dari perwujudan. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk pameran atau responedari masyarakat, dengan maksud untuk mengkritisi pencapaian kualitas karya, menyangkut seni fisik dan non fisik, untuk karya kriya sebagai ungkapan pribadi atau murni kekuatannya terletak pada kesuksesan mengemas segi spirit, ruh, dan jiwa keseniannya, termasuk penuangan wujud fisik, makna, dan pesan sosial kultural yang dikandungnya.
Uraikan langkah-langkah dalam mewujudkan karya seni yang ramah lingkungan sesuai pengalaman pribadi ! Pada uraian disertai konsep, desain, sketsa, dan bagan proses pewujudannya yang disertai dokumentasi foto dan video!
Buatlah desain / rancangan karya yang dilengkapi dengan data teknis, spesifikasi serta narasi / penjelasan karya yang akan dibuat mencakup latar belakang, tahapan visualisasi dan kebaruannya !
Selanjutnya lakukan otokritik karya dengan 5W + 1 H
Rumus 5W 1H identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Biasanya, pelajar akan ditugaskan untuk menelisik cerita atau berita menggunakan rumus 5W 1H. Sebab, cerita dan berita yang baik akan memuat unsur yang lengkap agar mudah dipahami dan informatif.
Rumus 5W 1H diperkenalkan pertama kali oleh seorang penulis dan penyair bernama Rudyard Kipling. Pada perkembangannya, 5W 1H banyak digunakan dalam dunia sastra, jurnalistik, penelitian ilmiah, dan aktivtas lain-lain.
Ini karena sifatnya yang sederhana, serbaguna, dan dapat memperoleh informasi secara menyeluruh. Oleh sebab itu, rumus 5W 1H perlu dipahami oleh banyak orang, tidak hanya mereka yang bergelut di dunia sastra.
5W 1H merupakan panduan yang memuat pertanyaan, berguna sebagai dasar pengumpulan informasi atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, suatu informasi dianggap baik dan lengkap jika mampu menjawab unsur 5W 1H tersebut.
Istilah ini diambil dari singkatan kata tanya dalam bahasa Inggris, yakni what (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), dan how (bagaimana). Untuk memudahkan penghafalan dalam bahasa Indonesia, 5W 1H dikenal dengan singkatan Adiksimba yang merupakan kependekan dari apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, bagaimana.
Penjelasan Lengkap Unsur 5W1H
What (apa)
Unsur what (apa) merupakan unsur pertama yang wajib ada dalam sebuah penulisan atau penelitian. Sebab, what digunakan untuk menanyakan kejadian/inti cerita yang ingin disampaikan. Unsur what akan mengantarkan penulis untuk mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya terkait peristiwa yang sedang terjadi.
Who (Siapa)
Unsur who (siapa) merupakan pertanyaan yang menjurus kepada pelaku yang terlibat dalam peristiwa yang diulas. Who di sini tidak hanya merujuk pada pelaku utama dalam cerita, tetapi juga orang-orang lain yang turut mendukung cerita tersebut bisa terbentuk.
When (Kapan)
Unsur when (kapan) merujuk pada keterangan waktu dari masalah atau peristiwa yang terjadi. Dengan adanya keterangan waktu, informasi lebih jelas dan akurat, sehingga kebenarannya juga dapat dibuktikan.
Where (Di Mana)
Unsur where (di mana) menjelaskan tentang tempat suatu peristiwa terjadi. Dengan adanya unsur where, pembaca dapat memahami alur cerita secara lebih baik. Unsur ini juga bisa memberikan bukti fisik terkait terjadinya suatu peristiwa.
Why (Mengapa)
Unsur why (mengapa) menitikberatkan pada alasan atau latar belakang terjadinya peristiwa atau masalah yang diulas. Dengan adanya unsur why, orang akan lebih mudah memahami situasi atau kondisi atas peristiwa yang terjadi.
How (Bagaimana)
Unsur how (bagaimana) menitik beratkan pada penjelasan dan deskripsi tentang suatu peristiwa. Jawaban atas pertanyaan unsur how dapat mendukung pernyataan unsur why.
Sumber : https://kumparan.com/berita-hari-ini/apa-pengertian-dari-5w-1h-simak-penjelasan-berikut-1trlKENy7GI/full
Sistematika dan ketentuan proposal eksplorasi kreatif sebagai berikut :
1. Ringkasan proposal eksplorasi kreatif tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penciptaan, tujuan dan tahapan metode penciptaan, luaran yang ditargetkan
2. Pendahuluan tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan yang akan diciptakan, tujuan khusus, dan urgensi penciptaan. Pada bagian ini perlu dijelaskan uraian tentang spesifikasi khusus terkait dengan disiplin dan minat kepada seni rupa dan desain.
3. Literature review dan literature visual tidak lebih dari 1000 kata dan 5 gambar dengan mengemukakan state of the art dan peta jalan (road map) dalam bidang yang diciptakan. Bagan dan road map dibuat dalam bentuk JPG/PNG yang kemudian disisipkan dalam isian ini. Sumber pustaka/referensi primer yang relevan dengan mengutamakan hasil penelitian/penciptaan pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang terkini.
4. Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata. Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penciptaan yang menggambarkan apa yang sudah dilaksanakan dan yang akan dikerjakan selama waktu yang diusulkan. Format diagram alir dapat berupa file JPG/PNG. Bagan penciptaan harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang jelas, mulai dari awal bagaimana proses dan luarannya, dan indikator capaian yang ditargetkan.
5. Referensi diusahakan 10 tahun terakhir dan yang terkait dengan usulan penciptaan